Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sumiati Tak Akan Berbaju Merah Lagi

24 Desember 2017   15:30 Diperbarui: 24 Desember 2017   17:14 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Dok. pribadi)

Kamis tengah malam, di Bulan Januari 1986, gerimis membuat peluh Kota Makassar. Jalan-jalan sudah mulai lengang, Ridwan kendarai motornya dengan badan sudah mulai basah kuyup. Pemuda sederhana ini  ingin pulanh ke rumahnya di Kabupaten Maros, setelah seharian bekerja di sebuah kompleks perumahan mewah di Kota Daeng.

"Begini nasih jadi tukang batu. Menunggu hujan redah, malam semakin larut. Mana perut sudah keroncongan."

Lelaki  drop out dari sebuah perguruan tinggi swasta ternama di Makassar ini membatin. Karena lapar, ia  juga bayangkan semangkok "palubasa," masakan khas Makassar, ditambah lagi dua piring nasi putih masih ngepul. Eh ada juga telur bebek rebus yang warnanya hijau muda.

"Hemm, nyamanna."

Ridwan mendesis dari atas motor matic tuanya, ia katakan enaknya makan pallubasa di hujan gerimis. Mulutnya mulai mengunyah daging sapi ditambah cungkilan telur bebek rebus dari kulit.

Benar  saja, tiba-tiba matanya temukan warung kecil di pinggir jalan. Meskipun samar, dinding kain penutup warung sederhana itu, ia baca. Warung Pallubasa Sumiati.

//

"Tambahki."

Pemilik warung tawarkan tambah melihat Ridwan dah hamper meludeskan semangkok pallubasa. Tanpa menoleh, lelaki yang ahli menprofil pilar tiang rumah itu mengiyakan.

"Sumi, semangkopi nak pallubasana."

Mendengar pemilik warung memanggil  Sumi, Ridwan mengangkat wajah dari mangkok pallubasa-nya. Seorang gadis dari dapur membawa nampang, di atasnya ada mangkok. Tapi bukan pallubasa semangkok itu yang ditunggu Ridwan, kapan  gadis itu tiba di mejanya. Karena hukan lagi perutnya yang bernyanyi keroncong, tetapi dadanya berdebur keras kayak ombak Selat Makassar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun