Perjalan panjang tim kecil ekspedisi Pongka Padang dari Ulu Sa’dang ke barat, ternyata betul-betul sangat melelahkan. Lembah, sungai, gunung dan ngarai semua dilewati dengan tujuan mencari daerah tempat yang damai untuk menetap. Karena lelahnya saat tiba di sebuah gunung yang tinggi, bersuhu dingin dibawah nol derajat celcius, salah seorang pengawal Pongka Padang, bernama Mambulillin, mengalami letih yang amat sangat. Pengawal itu kemudian pamit pada Pongka Padang untuk pergi selama-lamanya.
Pada gunung tinggi dan bersuhu dingin tersebut Pongka Padang, bersedih atas kepergian pengiringnya yang setia. Dan menguburkan Mambulillin di tempat itu juga. Atas pengabdian yang setia hingga akhir, Pongka Padang mengabadikan nama gunung tersebut denganMambulillin. Hingga sekarang, Gunung Mambulilling yang bisa dilihat dengan jelas dari Dusun Rante Pongko, Kec. Mamasa, menjadi legendaris dan merupakah salah satu obyek wisata alam yang sangat prospek di Kabupaten Mamasa.
Tentang nama Mambulillin, penulis melihatnya sebagai nama yang telah menjadi milik masyarakat Mamasa secara meluas, bahkan tempat mobil angkutan umum dari Polewali ke Mamasa, diberi nama Mambulillin, juga ada beberapa nama perusahaan menggunanakan Mambulillin. Mungkin karena Mambulillin ini melekat pada nama sebuah gunung.
Lebih uniknya, meskipun telah dikisahceritakan secara meluas bahwa Mambulillin itu adalah pengiring dari Nene’ Pongka Padang, moyang dan pemimpinnya orangMamasa, Mambulillin ini melewati ketenaran dari tuannya di masa sekarang ini. Perlu diberi catatan, untuk mengenang kebesaran moyangnya, beberapa daerah memberi nama jalan di kotanya sesuai nama orang tersebut, termasuk nama gedung, ruang pertemuan atau tempat umum yang mudah diingat oleh masyarakat. Misalnya dikenal Baruga Batara Guru, ruang pertemuan La Galigo dan lain-lainnya. Bisa jadi tidak terabadikannya nama Nene’ Pongka Padang di Mamasa, karena moyang orang Mamasa ini, tidak menginginkannya. Karena dalam beberapa kisah cerita disebutkan bahwa Pongka Padang adalah orang yang tidak butuh ketenaran, anti kekerasan hingga mewarsikan “ada tuo” serta sangat mencintai kehidupan yang damai.
Meringkasceritakan perjalanan panjangNene’ Pongka Padang, moyangnya orang Mamasa, disebutkan pertemuannya dengan seorang perempuan yang bernama To Rije’ne. Keduanya lalumenjadi suami istri dan menetap di sebuah tempat yang bernamaBuntuBulo, To Rije’ne kemudian melahirkan anak-anak Pongka Padang yangberjumlah tujuh orang. Dari tujuh orang putra-putri Pongkapadang, kemudian lahir sebelas orang cucu Pongka Padang. Inilah yang kemudian menurunkan orang-orang Mamasa secara khusus dan Sulawesi Barat secara umum, masing-masing Dettumanan di Tabulahan, Ampu Tengnge’(tammi’) di Bambang, Daeng Matana di Mambi, Ta Ajoang di Matangnga, Daeng Malulung di Balanipa(Tinambung), Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’), Makke Daeng di Mamuju, Tambuli Bassi di Tappalang, Sahalima di Koa (Tabang), Daeng Kamahu, (Ta Kayyang Pudung) di Sumahu’ (Sondoang), Ta La’binna di Lohe Galumpang (Mangki tua).
Tentang pertemuan antara Pongka Padang dan To Rije’ne tersebut, selain perpaduan asmara dua manusia, satu dari laut dan satu dari gunung. Secara tersirat menyimpulkan adanya pertemua dua dunia budaya yang berbeda. To Rije’ne, bila dieja secara semantis,To, berarti manusia atau orang, Rije’ne artinya dari air. Kosa kata ini adalah bahasaMakassar, bahasa yang dipakai pada salah satu pusat kerajaan dan budaya di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Gowa. Dan disebutkan juga dalam berbagai literatur bahwadari Gowa adalah salah pusat penyebaran manusia-manusia pertama di Sulawesi Selatan. Juga bila melihat nama-nama dari sebelas cucu Pongka Padang – To Rije’ne, ada Daeng Matana di Mambi, Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’), Daeng Kamahu di Sumahu, Daeng Maroe di Taramanu, memiliki kemiripan dengan nama-nama orang Makassar.
Penulis juga menjumpai beberapa kosa kata dalam bahasa Mamasa yang sangat identik dengan Bahasa Makassar, misalnya “pira,” dan “allo.” Proses geminasi (penebalan) untuk mengatakan “berapa hari” bahasa Mamasa menyebutnya “piranggallo,” identik denganBahasa Makassar padaarti yang sama. Namun begitu untuk menarik satu kesimpulan, empirik seperti ini butuh yang riset yang mendalam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI