Pembangunan infrastruktur di Indonesia selalu menjadi bahasan yang menarik. Setiap kali pemerintah mengumumkan proyek jalan baru, jembatan penghubung antarwilayah, atau perbaikan jaringan irigasi, publik biasanya menyambut dengan optimisme. Wajar saja, karena di banyak daerah kondisi jalan yang rusak atau saluran irigasi yang tidak lagi berfungsi membuat aktivitas masyarakat sehari-hari terhambat. Bagi sebagian warga, pembangunan infrastruktur bukan sekadar proyek fisik, melainkan simbol dari perubahan dan harapan akan kehidupan yang lebih layak. Ketika jalan dibangun, biasanya harapan pun ikut tumbuh harapan untuk ekonomi yang bergerak, anak-anak yang bisa sekolah lebih mudah, dan hasil panen yang bisa dijual lebih cepat.
Kalau kita melihat langsung ke lapangan, manfaat infrastruktur memang benar-benar nyata. Jalan yang mulus mempersingkat waktu tempuh petani menuju pasar. Jembatan yang kokoh memudahkan anak-anak sekolah menyeberangi sungai tanpa harus menunggu perahu lewat. Sistem irigasi yang terawat menjaga lahan sawah tetap subur bahkan di musim kemarau panjang. Banyak desa yang dulunya sepi kini mulai tumbuh menjadi sentra ekonomi kecil karena akses transportasi membaik. Cerita-cerita seperti ini sering muncul di banyak wilayah Indonesia. Di sinilah infrastruktur tidak hanya dilihat sebagai deretan angka dalam laporan pemerintah, tetapi sebagai penggerak ekonomi rakyat dan peningkat kualitas hidup masyarakat.
Namun di balik keberhasilan itu, masalah klasik masih sering muncul. Persoalan pembebasan lahan, misalnya, hampir selalu menjadi sumber keterlambatan proyek. Tidak jarang warga menolak karena khawatir kehilangan lahan pertanian tanpa kompensasi yang memadai. Ada pula kasus di mana proyek sempat berhenti di tengah jalan akibat salah paham antara kontraktor dan masyarakat sekitar. Situasi seperti ini menunjukkan bahwa membangun infrastruktur tidak bisa hanya mengandalkan rencana teknis dan anggaran, tetapi juga membutuhkan komunikasi yang baik dan pendekatan sosial yang bijak. Masyarakat perlu dilibatkan sejak awal agar tidak merasa diabaikan dalam proyek yang sejatinya ditujukan untuk kepentingan mereka juga.
Dari sisi pembiayaan, tantangannya juga tidak kecil. Pemerintah memang telah mengalokasikan dana besar untuk sektor infrastruktur---sekitar Rp400,3 triliun pada RAPBN 2025 (Kementerian Keuangan RI, 2024). Meski begitu, jumlah itu masih jauh dari cukup untuk menutup seluruh kebutuhan investasi nasional yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp10 ribu triliun dalam lima tahun ke depan. Akibat keterbatasan anggaran, pemerintah berupaya menggandeng sektor swasta melalui kerja sama dengan badan usaha. Hal ini dianggap efektif untuk mempercepat pembangunan, tetapi tetap menyimpan tantangan tersendiri seperti risiko politik, ketidakpastian proyeksi keuntungan, dan persoalan lahan yang belum terselesaikan (Kementerian PUPR, 2022). Di beberapa daerah, proyek berbasis KPBU juga terkendala pada tahap implementasi karena perbedaan kepentingan antarinstansi atau kurangnya transparansi data.
Selain persoalan pembiayaan, masalah mutu konstruksi juga sering terdengar di berita. Tidak sedikit jembatan yang rusak hanya beberapa bulan setelah diresmikan atau jalan yang cepat berlubang meski baru diperbaiki. Hal-hal seperti ini umumnya disebabkan oleh lemahnya pengawasan atau pemilihan material yang tidak sesuai spesifikasi teknis. Ketika hal seperti itu terjadi, masyarakatlah yang paling dirugikan karena infrastruktur yang diharapkan membantu justru menimbulkan bahaya baru. Padahal, mutu infrastruktur semestinya menjadi cerminan keseriusan pemerintah dalam melayani publik. Kualitas yang buruk hanya akan menambah beban, baik bagi pengguna maupun bagi anggaran negara yang harus kembali mengeluarkan biaya perbaikan.
Dampak terhadap lingkungan juga menjadi aspek penting yang tidak bisa diabaikan. Pembangunan besar-besaran tanpa kajian memadai dapat memicu deforestasi, mengubah pola tata air, dan meningkatkan risiko longsor di daerah perbukitan. Di sejumlah wilayah pertanian, pembangunan waduk atau saluran irigasi baru kadang mengubah aliran sungai hingga lahan di sekitarnya menjadi kering. Di era perubahan iklim seperti sekarang, hal ini menjadi tantangan yang serius. Setiap proyek semestinya dilengkapi dengan analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang benar-benar diterapkan, bukan sekadar formalitas administratif (UGM, 2023). Pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam justru akan menimbulkan masalah baru di masa depan.
Ketimpangan manfaat juga masih menjadi pekerjaan rumah. Proyek besar di wilayah perkotaan sering kali mendapat prioritas tinggi, sementara daerah pedesaan harus menunggu giliran. Padahal masyarakat di desa-desa terpencil justru sangat bergantung pada infrastruktur sederhana seperti jalan rabat beton, jembatan kecil di atas sungai irigasi, atau saluran air yang layak. Jika kesenjangan semacam ini terus dibiarkan, pemerataan pembangunan hanya akan menjadi slogan. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam setiap tahap pembangunan menjadi hal yang penting. Ketika warga ikut dilibatkan dalam proses perencanaan, rasa memiliki akan tumbuh, dan mereka cenderung menjaga hasil pembangunan dengan lebih baik (Wibowo, 2019). Pembangunan yang berangkat dari kebutuhan lokal biasanya lebih tahan lama karena benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Secara keseluruhan, pembangunan infrastruktur memang memberikan dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial. Namun keberhasilan sejati tidak bisa diukur hanya dari panjang jalan yang dibangun atau banyaknya jembatan yang diresmikan. Yang jauh lebih penting adalah sejauh mana pembangunan itu benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat, memperpendek jarak antarwilayah, serta memperkecil kesenjangan sosial. Pembangunan yang hanya menonjolkan angka-angka tanpa memperhatikan kualitas dan keberlanjutan pada akhirnya tidak akan memberikan hasil yang berarti.
Karena itu, keberhasilan pembangunan infrastruktur di Indonesia sangat bergantung pada tiga hal utama: koordinasi kebijakan antarinstansi, transparansi dalam pengelolaan anggaran, dan keterlibatan masyarakat di setiap tahap proyek. Ketiganya harus berjalan seimbang agar pembangunan tidak hanya berorientasi pada kecepatan, tetapi juga pada keberlanjutan dan keadilan sosial. Pembangunan yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan akan melahirkan hasil bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga bermakna bagi kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, infrastruktur yang baik bukan sekadar tumpukan beton dan baja, melainkan simbol kerja keras dan harapan baru bagi seluruh rakyat Indonesia.
.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI