Mohon tunggu...
Muhammad Lazuardi
Muhammad Lazuardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pariwisata UGM

Saya Mahasiswa S1 Pariwisata UGM yang suka berwisata, salam kenal teman teman

Selanjutnya

Tutup

Nature

Dilema Ekowisata

5 Desember 2022   16:39 Diperbarui: 5 Desember 2022   22:55 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menurut The International Ecotourism Society Ekowisata atau ecotourism didefinisikan sebagai "perjalanan yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, dan melibatkan interpretasi dan pendidikan". Ekowisata digadang gadang menjadi "senjata pusaka" dalam menghadapi model model pariwisata masal yang secara umum menjadi ancaman bagi aspek lingkungan dan sosial budaya pada pariwisata. 

Ekowisata dipromosikan sebagai sarana berwisata dengan mempromosikan peningkatan kesadaran lingkungan, masyarakat yang berkelanjutan, pengalaman budaya dan pelestarian lingkungan dan konservasi. Di satu sisi, wisatawan yang sadar akan perubahan negatif yang diakibatkan oleh kegiatan wisata dapat mempertimbangkan ekowisata sebagai bentuk pariwisata ideal bagi mereka. Di sisi lain, ekowisata tetap mengandung sifat inheren pariwisata yang selalu menuntut adanya perjalanan dan pembangunan seringkali tidak linear dengan konsep-konsep ekowisata.

Terdapat masalah yang terjadi pada kehidupan sosial manusia, masalah ini sering disebut selective emphaty. selective emphaty dapat diartikan sebagai kepedulian secara selektif tentang satu hal namun mereka tidak peduli dengan masalah yang lebih besar di bidang topik yang sama. 

Dalam konteks ekowisata, ekoturis, atau wisatawan yang "sadar" akan lingkungan seringkali tidak melihat isu-isu mengenai lingkungan dengan sudut pandang yang lebih luas, bahkan isu lingkungan yang mereka perbuat. Seorang ekoturis, dapat dengan mudah menempuh jarak ratusan bahkan ribuan kilometer untuk secara spesifik mengunjungi suatu destinasi ekowisata dengan motivasi mendukung ide konservasi alam. Secara sadar atau tidak sadar, wisatawan dalam menempuh perjalanannya dengan kendaraan bermesin (transportasi darat, laut, dan udara) juga menyumbangkan andil besar pada degradasi lingkungan.

Statistik dari The International Energy Agency (IEA) menyebutkan bahwa diestimasikan ransportasi menyumbang sekitar seperlima dari emisi karbon dioksida (CO2) global atau sekitar 24%. Emisi karbon dari transportasi ini terdiri dari 74,5% dari kendaraan darat seperti mobil berpenumpang dan bus, 11,6% dari dunia aviasi atau penerbangan, 10,6% dari pelayaran internasional dan hanya 1% dari transportasi rel. (The International Energy Society, 2022) Emisi gas karbon mengancam planet ini dengan menyebabkan perubahan iklim. 

Seiring meningkatnya suhu bumi akibat gas karbon yang terperangkap di udara, Perubahan iklim seperti terjadinya cuaca ekstrem dan kekeringan akan secara langsung mendegradasi kualitas lingkungan. Hal ini mencakup hancurnya habitat dan ekosistem flora dan fauna. Pengembangan ekowisata, secara konsep memiliki dependensi atau ketergantungan tinggi terhadap kondisi lingkungan, tetapi disisi lain terbukti bahwa perjalanan ekowisata menimbulkan masalah pada lingkungan. 

Hal ini menciptakan paradoks ekowisata. Paradoks mengenai ekowisata ini dibahas pada buku Critical Issues in Ectourism: Understanding a Complex Tourism Phenomenon (Higham (ed.) 2007) dimana dinyatakan bahwa ekowisata sering dicirikan oleh komponen transportasi yang substansial, yang menghasilkan konsumsi energi yang tinggi dan emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Paradoksnya, dalam banyak kasus, ekowisata menghasilkan 'jejak karbon' yang lebih besar daripada bentuk wisata lain yang lebih tradisional seperti pariwisata berbasis resort. (Higham, 2007).

Salah satu contoh kasusnya di Indonesia adalah pada penerapan ekowisata di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Raja Ampat dipasarkan sebagai surga wisata bahari dunia. Wiayah perairan raja ampat mendominasi luas daratannya dengan perbandingan luas 17:3. Hal ini mengakibatkan pusat daya tarik raja ampat berada di perairannya. Perairan Raja Ampat menyimpan 70% dari spesies terumbu karang dunia. Diestimasikan, lebih dari 1000 spesies ikan karang, dan 700 jenis moluska. 

Tempat yang dipamerkan menjadi surga wisata bahari menjadikannya magnet bagi wisatawan. Pada masa pra pandemi tahun 2019, Raja ampat mencatat 46.375 wisatawan masuk. Wisatawan yang datang didominasi oleh wisatawan mancanegara dengan 24.090 jiwa sedangkan wisatawan nusantara sekitar 22285 jiwa. 

Kondisi geografis raja ampat yang berupa kepulauan dan aksesnya eksklusif melalui kapal laut dan pesawat terbang mengakibatkan 100% dari wisatawan lokal maupun mancanegara menjangkau daerah ini dengan kendaraan berbahan bakar fosil yang meninggalkan emisi gas karbon tinggi seperti pesawat terbang dan kapal feri. ditambah wisatawan yang ingin datang ke raja ampat tidak bisa mengakses pulau ini secara langsung. 

Wisatawan harus terbang dari beberapa bandara yang menyediakan penerbangan ke kota Sorong, Papua Barat. dan melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan pesawat kecil, kapal feri cepat, maupun kapal feri lambat. Perjalanan-perjalanan ini saja sudah meninggalkan jejak karbon yang tinggi dan perjalanan ini belum termasuk penerbangan transit bagi wisatawan lokal. dan penerbangan internasional ke Indonesia bagi wisatawan mancanegara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun