Perkembangan teknologi digital telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk dalam cara umat Islam mengakses dan mempelajari Al-Qur’an. Jika dahulu penelaahan tafsir Al-Qur’an identik dengan kitab-kitab berjilid tebal di rak perpustakaan, kini semua dapat diakses dalam genggaman tangan melalui gawai. Fenomena ini dikenal sebagai digitalisasi tafsir, yaitu penyajian dan penyebaran penafsiran Al-Qur’an melalui berbagai platform digital seperti aplikasi, situs web, hingga media sosial.
Peluang Digitalisasi Tafsir
Digitalisasi membawa dampak positif yang signifikan dalam studi tafsir. Pertama, akses terhadap berbagai kitab tafsir klasik maupun kontemporer menjadi jauh lebih mudah. Aplikasi seperti Qur’an Kemenag atau situs seperti TafsirWeb, misalnya, memungkinkan pengguna untuk membaca tafsir Ibnu Katsir, Al-Misbah, hingga Tafsir al-Maraghi tanpa harus mencari kitab fisiknya. Hal ini sangat membantu pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat umum yang ingin memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara lebih dalam.
Kedua, media digital membuka ruang kreatif dalam menyampaikan isi Al-Qur’an. Beragam format seperti podcast, video singkat, infografis, hingga thread edukatif di media sosial memberikan pendekatan baru dalam menyampaikan pesan-pesan tafsir. Seperti yang disampaikan oleh Nurrohim (2025a), digitalisasi tafsir menjawab kebutuhan zaman: lebih fleksibel, kontekstual, dan dekat dengan budaya generasi muda.
Lebih lanjut, menurut Nurrohim dan Hasbiatullah (2024), pendekatan digital berpotensi menumbuhkan kembali semangat tadabbur Al-Qur’an, terutama di kalangan generasi milenial yang cenderung lebih responsif terhadap media yang ringan, interaktif, dan visual.
Tantangan yang Mesti Diperhatikan
Namun, digitalisasi tafsir juga menghadirkan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah munculnya penafsiran yang tidak didasarkan pada metodologi ilmiah yang tepat. Tidak jarang kita temui akun media sosial yang memotong ayat-ayat Al-Qur’an dan menafsirkannya secara lepas konteks, tanpa latar belakang keilmuan yang memadai. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman bahkan penyalahgunaan makna Al-Qur’an dalam ruang publik (Rohman, 2021).
Ahmad Nurrohim (2025b) mengingatkan bahwa meskipun teknologi memudahkan, tafsir tetap harus berpijak pada metodologi yang sahih. Ruang digital seharusnya tidak menjadi tempat yang bebas nilai, di mana siapa pun merasa berhak menafsirkan Al-Qur’an tanpa dasar keilmuan yang kuat.
Tantangan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah terkait sakralitas mushaf digital. Meski dalam bentuk aplikasi atau website, Al-Qur’an tetap merupakan wahyu ilahi yang harus diperlakukan dengan penuh adab. Syamsuddin (2023) menekankan pentingnya menjaga etika dalam mengakses mushaf digital, sebagaimana kita memperlakukan mushaf cetak.
Peran Mahasiswa IQT dalam Era Digital
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir memiliki posisi strategis dalam menjawab tantangan sekaligus memaksimalkan peluang digitalisasi ini. Kita tidak hanya berperan sebagai pengguna atau penikmat konten digital, tetapi juga dapat menjadi produsen dan penyebar informasi keislaman yang ilmiah dan relevan. Pembuatan konten dakwah seperti video, podcast, atau tulisan populer bertema tafsir tematik adalah salah satu bentuk kontribusi nyata yang bisa dilakukan.