Mohon tunggu...
Diahningtias Windayani
Diahningtias Windayani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Yogyakarta kota kenangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seuntai Cinta Diandra

24 Mei 2013   00:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:07 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Diandra.......,apa kabar, aku kangen hmm....” seru Heny girang saat dia datang ke rumahku, maklum sudah setahun kami tidak pernah bertemu. Kemarin aku baru datang dari Yogya. Sedangkan Heny dan Irma sahabatku tetap di Surabaya dan keduanya kuliah di tempat yang sama. Tak lama Irma pun juga datang. Wah...seru! kami bertiga bernostalgia sambil bercanda. Kami mengenang saat masih memakai putih abu-abu.

“Diandra, kamu masih ingat Susi?” seru Heny

“Susi yang pendiam itu, ya?” kataku

“ya, dia sudah punya anak lo, nggak nyangka to? Dia kecelakaan” kata Irma seraya mencomot pisang goreng yang kusuguhkan di atas meja.

“Kecelakaan? Memangnya dia bisa pacaran?” kataku sekenanya. Karena bagiku jelas aku tak pernah menyangka bila Susi yang dulu terkenal pendiam, kalem, dan pandai itu menikah karena hamil duluan.

“Kau kira cuma kamu aja yang bisa pacaran? Omong-omong si Bima mana, ya? Rasanya tidak lengkap kalau tidak ada Bima” tanya Irma.

Seketika terlintas kenangan pada seseorang, Bima. Tetanggaku dan juga teman sekelasku saat SMA. Dia tampan, senyumnya menawan , kulitnya kuning, badannya tinggi tegap, kesannya cuek pada setiap cewek. Hampir dia tidak pernah bergaul dengan teman-teman cewek. Tapi karena dia dari kecil teman mainku di kampung, maka Bima akrab denganku dan otomatis Heny dan Irma pun juga dekat dengannya.

Sebenarnya Bima orang yang ramah dan suka humor. Sewaktu aku masih SD hobinya menggodaku, kalau aku belum nangis, Bima tak akan berhenti menggodaku. Namun, meski dia suka menggodaku, kami masih saja tetap berteman akrab sampai kami lulus dari SMA. Kami berpisah karena aku diterima di Yogya sedangkan Bima di ITS.

Diam-diam aku menyukai Bima, dia idola bagiku, menurutku dia cowok paling sempurna yang pernah kukenal. Bima menjadi penghiburku di kala aku membutuhkan teman untuk curhat, dia juga menjadi pelindungku. Akhir-akhir ini hubunganku dengan Bima agak renggang. Bima jarang telpon atau sms padaku. Aku tak tahu apa penyebabnya. Bima tidak seperti biasanya selalu memperhatikanku meski hanya lewat handphone, dia selalu mengingatkanku makan, karena dia tahu aku punya penyakit maag. Sejak kemarin aku tiba di rumah, aku belum melihat Bima.

Ada rasa rindu yang terpendam di dada, saat mengingat namanya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Bima terhadapku.Mungkin Bima hanya menganggapku sebagai sahabat. Namun, aku diam-diam mencintainya. Seolah ada sesuatu yang hilang bila tak ada dirinya. Awal-awal aku di Yogya, setengah mati aku menahan rindu untuknya, untung ada hp atau facebook sehingga meski jarak yang terbentang diantara kami tak menjadi penghalang, kami tetap saling kontak.

“Diandra, kamu kok malah melamun sih!” tegur Heny. Aku tergagap dari lamunanku kemudian aku tersenyum

“Eh....Diandra, kamu tahu nggak, Heny sudah jadian lo ma Bima” Kata Irma bagaikan petir di siang hari bolong bagiku. Aku terkesima menatap Heny dan Irma tak percaya seolah-olah minta penjelasan.

“Heny belum kasih tahu kamu? Wah, Hen, kamu memang kebangeten kok, berita bahagia kok gak cerita sama Diandra, kamu minta pajak jadiansama Heny!” seru Irma.

Heny tampak tersipu malu, wajahnya merona merah. Aku masih terpaku diam menatap mereka. Apakah aku tidak salah dengar, Heny jadian sama Bima? Kedua sahabatku memang tidak pernah tahu isi hatiku kalau aku sebenarnya mencintai Bima, aku memang merahasiakannya, aku memang agak tertutup kalau cerita tentang masalah cinta meski kepada kedua sahabatku.

“Beres deh, kau minta kutraktir apa, Diandra?” tanya Heny semangat.Ada rasa bangga yang terselip di dada Heny ketika mengucapkan kalimat itu.

“Apa ya?” ujarku pilu.

Pintu rumahku terbuka. Aku bisa merasakan darahku menyusut saat Bima datang dan menyalamiku dengan senyumnya yang menawan kemudian dia duduk di samping Heny. Aku menatap Bima tanpa ekspresi. Kurasakan ada yang berbeda dari Bima, sikapnya kepadaku tidak sehangat dulu. Bima menanyakan keadaanku hanya sekedar basa-basi saja, itu yang kurasakan saat ini. Aku berpura-pura sibuk melayani mereka dengan menyodorkan bakpia khas Yogya oleh-olehku.

Aku terpaksa membuang muka saat melihat betapa demonstratifnya Heny. Tubuhnya menempel disebelah Bima. Hal yang paling menyebalkan adalah sikap Bima yang membiarkan semua itu terjadi. Padahal aku merasakan sakit yang teramat sangat di dada melihat kemesraan mereka. Aku bertatapan dengan Bima. Mata lelaki itu berbinar-binar oleh senyuman kebahagiaan.

Aku akhirnya membulatkan tekad dan berusaha bersikap ramah kepada mereka, melayani mereka berbincang-bincang mengikuti alur pembicaraan yang mengalir. Begitulah. Mereka akhirnya berpamitan pulang dengan meninggalkan hati yang remuk. Rasa cemburu menghujam jantungku.

****

Aku merasa hancur berkeping-keping. Kepulangankusaat ini hanya menyisakan sebuah kepiluan di hati. Liburanku serasa menyiksa bagiku. Sahabatku menjadi kekasih Bima, orang yang diam-diam kucintai. Aku berusaha melupakan Bima, aku ingin menghapus rasa cintaku pada Bima. Bima dan Heny tidak salah, aku bukan kekasih Bima. Mengapa aku harus sesakit ini melihat mereka begitu dekat dan mesra?

Ketika aku joging pagi hari, tiba-tiba Bima ada di sampingku. Bima mengiringi langkah kakiku. Kami joging bersama menyusuri kompleks perumahan. Aku bertekad akan bersikap dingin. Aku ingin menutup mulutku rapat-rapat. Namun, ternyata tidak mudah. Aku menyadari hal itu, setengah menit kemudian dan akhirnya tidak pernah terjadi “dingin dan diam”

“Kamu ada acara, Diandra?” tanya Bima sambil tetap berlari kecil mengikuti langkahku.

“ Ada apa?” jawabku hambar.

“Aku ingin ngajak kamu jalan-jalan, sudah lama kita tidak pernah jalan bersama semenjak kamuke Yogya”

“Heny ikut nggak?” tanyaku pilu.

“Aku ingin kita pergi berdua saja, katanya kamu belum pernah ke Suramadu” ujar Bima

“Kalau Heny marah?”

Bima tertawa. Aku mendesah perlahan. Aku sangat bahagia saat ini, berada di sisi Bima. Namun, aku juga realistis. Bima tidak menyintai aku, dia menyintai Heny.

“Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa kamu menghindari aku?” tanya Bima terus terang.

“Aku tidak menghindari kamu kok!” kataku

“Yuk, berhenti sebentar di warung pecel itu ya, kita sarapan dulu!” ujar Bima seraya menarik tanganku untuk berhenti dan duduk pada sebuah bangku dan di situ ada penjual pecel yang enak, kebetulan aku sudah lama tidak makan pecel yang ada ubo rampenya telur bumbu bali, terik tahu, serundeng, dan peyek kacang. Di Yogya pecel campur seperti ini tidak ada. Rasanya hhmmm.....nikmat.

“Kalau kamu tidak menghindari aku, mengapa kamu tidak mau bertemu aku? Kemarin aku mencari kamu, katanya kamu pergi, tak telpon gak pernah diangkat, di sms gak pernah dibalas” protes Bima.

“Aku sibuk!” kataku seraya menikmati pecel campur. Aku makan dengan lahapnya karena aku memang kangen makanan Surabaya.

“Oh...ya? Meskipun ituliburan ?” sindir Bima. Tidak ada senyum manisnya sama sekali. Aku mendadak ingin menangis.

“Kamu belum menjawab, nanti siang mau kan ku ajak ke Suramadu?”

Aku menatapnya dan akhirnya aku mengangguk. Aku tak ingin Bima tahu, aku menghindarinya karena kerapuhan hatiku. Aku tak ingin berdekat-dekatan dengan Bima lagi seperti dulu. Aku merasakan ada yang berbeda dari Bima. Dia memang tidak seperti dulu, seolah ada jarak diantara kita. Aku merasa, Bima sudah mengambil jarak menjauh. Tidak seakrab dulu lagi. Bima hanya menganggap aku sebagai sahabat. Tidak lebih! Bima memang ingin mengajakku ke Suramadu, tapi itu tak lebih dari sekedar menyenangkan seorang sahabat yang sudah lama tidak pulang kampung, apalagi belum pernah ke Suramadu.

****

Aku sudah siap di depan rumah menunggu Bima, siang ini kami akan ke Suramadu. Meski aku orang Surabaya, tapi aku belum pernah ke sana. Aku ingin tahu seperti apa jembatan yang menghubungkan antara pulau Madura dan kota Surabaya itu. Rencana pembangunannya saja sudah pernah kudengar saat aku maih SD. Namun, baru terealisir sekarang. Kulihat Bima sudah mengeluarkan mobilnya, kulihat pula Heny datang menghampiri Bima. Bima keluar dari mobil dan merekatampak berbincang-bincang. Dari kejauhan kulihat Heny menggelayut manja pada lengan Bima.

Aku merasa hancur untuk kali kesekian. Selama ini aku sudah berusaha menjaga jarak dengan Bima, tetapi aku tidak konsisten. Aku menyalahkan diriku sendiri yang terpesona pada Bima. Aku menahan tumpahan air mataku melihat kemesraan Heny dan Bima. Aku merasa sudah tidak ada manfaatnya lagi jika terus menahan air mata. Dadaku kian sakit. Aku tak sanggup untuk ke Suramadu lagi, moodku sudah hilang. Bima membohongiku, ternyata dia mengajak Heny.

Aku masuk ke dalam dan meminta izin Ayahku untuk memakai mobilnya. Aku menyalakan mesin mobil dan mulai menyetir. Aku berusaha berkonsentrasi mengemudi, tetapi air mataku mengalir deras membasahi pipiku. Membuat pandangan mataku kabur dan mobil tidak stabil. Aku tersentak kagetketika sebuah motor nyaris menghantam mobilku dari arah depan. Aku mendengar sumpah serapah pengendara motor itu. Akhirnya aku menepikan mobilku di tempat yang aman dan aku mulai menangis lagi. Kali ini kutumpahkan segala kesesakan yang membuncah dalam dadaku. Aku meletakkan kepalaku di atas setir. Aku mulai sesengukan.

Sayup-sayup lagu judika ‘Aku yang Tersakiti’ mengalun lembut dari compact disk. Aku semakin menangis saat sampai pada kata-kata

Tak pernahkah kau sadari

Akulah yang tersakiti

Engkau pergi dengan janjimu yang pernah kau ingkari

Oh..Tuhan tolonglah aku

Hapuskan rasa cintaku

Aku pun ingin bahagia walau tak bersama dia

Sebuah suara ketukan padakaca mobil mengagetkanku. Aku berusaha menghapus air mataku. Kulihat Bima dan Heny panik menatapku. Aku menurunkan kaca cendela sedikit. Bima melongokkan kepalanya melihat keadaanku.

“Buka pintunya!” serunya tampak panik. Aku membuka pintu mobil, segera Heny dan Bima masuk ke dalam mobil untuk memastikan kondisiku. Bima duduk di sampingku, sedangkan Heny di belakang.

“Diandra, kau baik-baik saja, kan?” tanya Heny panik, “Aku melihat kau mengendarai mobil ngebut seperti orang mabuk, aku hampir mati rasanya melihat kau akan menabrak motor” kata Heny lagi seraya membelai bahuku dari belakang.

“Ada masalah apa, Diandra? Aku cemas melihatmu seperti tadi, mengapa tiba-tiba kau pergi sendiri? Kalau ada masalah sebaiknya dibicarakan” kata Bima lembut.

Aku sudah tidak punya energi lagi untuk mendebatnya. Dadaku semakin sakit melihat mereka berdua. Bima sudah membuat hidupku kacau.

“Mengapa kalian mengikutiku? Tinggalkan aku, biarkan aku sendiri!” ujarku

“Kamu membuatku cemas, Diandra! Kamu tidak boleh pergi begitu saja tanpa bilang kepadaku, padahal kau sudah janji kan mau ke Suramadu bersamaku?” ujar Bima lagi. Suaranya begitu lembut, menggetarkan perasaanku. Aku menangis lagi. Oh...Bima, tahukah kau, aku seperti ini karena aku tak sanggup melihat kedekatan kalian, bisikku dalam hati.

“Jangan pedulikan aku, Heny! Pergilah kau bersama Bima, aku ingin sendiri!”

“Aku tak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini, Diandra!” seru Bima tegas. “Aku mencemaskanmu, kau sahabatku, aku akan mendampingimu saat kau kesusahan, berbagilah dengan kami, Diandra!” Ujar Bima lagi seraya membelai rambutku. Aku menelungkupkan muka di atas setir dan semakin menangis sesengukan, aku merasakan belaian tangan Bima pada rambutku, membuatku hatiku semakin pedih dan teriris. Begitu pula Heny, dia berusaha menghiburku.

“Aku tidak bisa tidak mempedulikanmu, Diandra. Ada apa sebabnya? Bicaralah pada kami, Diandra! Kalau kamu hanya nangis, mana kami mengerti?” Kata Heny.

Aku tetap tidak bergeming, aku tidak mau memandang Bima dan Heny. Kesedihan dan sakit hati berkecamuk di dalam dada. Bima keluar dari mobil dan membuka pintu mobil tempatku duduk.

“Geser!” seru Bima tegas. Bima mengambil alih kemudi. Mau tak mau aku berganti posisi.

“Hen, kamu bawa mobilku pulang, ya! Aku akan mengikutimu dari belakang. Aku akan membawa Diandra pergi!” ujar Bima seraya menyerahkan kunci mobil pada Heny.

“Aku gak usah ikut, Bim! Biar kamu berdua dengan Diandra saja!” ujar Heny bijak.

“Benar? Ya sudah, terima kasih!”

Aku masih menangis ketika Bima membawaku pergi, Bima dengan tenang mengemudi mobil. Aku tadi tidak sempat mengucapkan sepatah kata pada Heny, dia begitu pengertian. Heny tidak egois, dia merelakan kekasihnya pergi berduaan denganku hanya untuk menghibur hati sahabatnya yang sedang sedih, padahal kesedihanku berasal dari kekasihnya, orang yang juga aku cintai. Bima, percuma kau menghibur hatiku, sampai kapan pun kesedihan ini tak akan bisa kau hapuskan karena aku kehilangan dirimu, sedangkan kau tak tahu bahwa kau sebenarnya sumber kesedihanku.

Selesai

Minomartani, 23 Mei 2013.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun