Maya menarik napas panjang. "Tapi, rasanya tidak adil kalau kamu mendapat semua pujian, sedangkan aku tidak dihargai sama sekali."
Nathan mengangkat bahunya. "Kamu harus belajar ikhlas, Maya. Kita bekerja bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk kebaikan bersama."
Maya terdiam. Kata-kata itu terdengar manis, tapi hatinya merasakan ada sesuatu yang salah. Nathan menutupi kesalahannya dengan kalimat-kalimat bijak, padahal kenyataannya ia haus pengakuan.
---
Waktu terus berjalan. Reputasi Nathan semakin tinggi di mata atasan. Namun, semakin lama, topengnya mulai retak. Ia menjadi terlalu sering berbohong, terlalu sering mengambil keuntungan dari kerja keras orang lain.
Suatu sore, Maya bersama rekan lain bernama Kevin, menemukan bukti email bahwa Nathan memang mengambil konsep Maya tanpa izin dan mengeditnya sedikit sebelum mengirimkannya ke direktur.
Keesokan harinya, Maya dan Kevin memutuskan untuk menghadap direktur.
"Pak, kami perlu menunjukkan sesuatu," kata Kevin sambil menyerahkan dokumen bukti.
Direktur membaca dengan seksama, lalu wajahnya mengeras. Saat itu juga, Nathan dipanggil ke ruang rapat.
"Nathan, bisa jelaskan kenapa ada email ini? Bukankah kamu mengaku ide itu hasil pemikiranmu sendiri?" tanya direktur dengan nada tegas.
Nathan terdiam, wajahnya pucat. "Itu... itu hanya salah paham, Pak. Saya tidak bermaksud..."