Di sebuah desa kecil yang damai, hiduplah dua orang sahabat, Ali dan Hasan. Mereka berdua dikenal sebagai pemuda yang rajin beribadah dan selalu hadir di masjid untuk sholat berjamaah. Namun, di balik ketaatan yang tampak, hati mereka menyimpan rahasia yang berbeda.
Ali, pemuda yang cerdas dan fasih berbicara tentang agama, sebenarnya adalah seorang yang munafik. Di depan teman-temannya, ia selalu mengumbar janji dan nasihat baik. Tetapi di belakang, ia sering melanggar janji dan berbicara buruk tentang orang lain. Ia beranggapan, "Ah, mereka tidak tahu apa yang saya lakukan. Yang penting saya terlihat baik di mata orang."
Sementara itu, Hasan, meskipun sering beribadah, memiliki hati yang keras. Ia sulit menerima nasihat, apalagi dari orang yang ia anggap lebih rendah darinya. Suatu hari, seorang kakek tua menasihati Hasan tentang pentingnya menolong orang miskin. "Hasan, Nak, janganlah kau kikir. Sedikit hartamu bisa sangat berarti bagi mereka." Hasan hanya mengangguk sopan, namun dalam hati ia berkata, "Kakek ini terlalu tua untuk mengerti. Hartaku adalah hasil kerja kerasku sendiri."
Suatu sore, Ali dan Hasan duduk di serambi masjid setelah sholat Ashar. Ali memulai percakapan, "Hasan, kau tahu, akhir-akhir ini aku merasa sangat damai. Selalu dekat dengan Allah, selalu berbuat baik."
Hasan menjawab, "Ya, Ali. Aku pun demikian. Tapi entah mengapa, kadang aku merasa hampa. Aku melakukan semua ibadah, tetapi tidak ada rasa yang mendalam di hatiku."
Ali tersenyum licik. "Itu karena hatimu belum sepenuhnya bersih, Hasan. Kau harus lebih banyak berzikir. Dan jangan terlalu memikirkan hal-hal duniawi."
Hasan merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak pernah melupakan Allah, Ali."
"Tentu," kata Ali, "tapi aku melihatmu kemarin, kau tidak menolong Pak Budi saat mobilnya mogok. Bukankah itu berarti hatimu kurang peka?"
Hasan terdiam. Kata-kata Ali menusuknya. Sebenarnya ia tahu Ali sering berkhianat, tetapi ia tidak pernah mengungkitnya. Hasan membalas dengan tegas, "Ali, kau selalu pandai berbicara. Tapi aku tahu kau sering tidak menepati janjimu. Bukankah itu juga tanda hati yang tidak jujur?"
Ali terkejut. Wajahnya memerah. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Hasan. Aku selalu jujur."
Di saat yang sama, Pak Budi, yang diceritakan oleh Ali, sedang berjalan melewati mereka. Pak Budi mendengar percakapan mereka dan tersenyum. "Nak-nak," katanya dengan suara lembut, "Allah tidak melihat apa yang kita tunjukkan di luar. Tapi Allah melihat apa yang ada di dalam hati."