Mohon tunggu...
David Edison
David Edison Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Public Speaker

Alumnus STF Driyarkara Jakarta, Graduate 2014. Tertarik dengan masalah humanitas karena manusia pada kenyataan asalinya merupakan Subjek pada dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Upacara Penti dalam Budaya Manggarai

1 April 2012   08:48 Diperbarui: 4 April 2017   16:20 11626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1333421383683901722

PENUTUP

4.1 Kesimpulan Upacara penti adalah upacara masyarakat Manggarai yang bertujuan untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan para leluhur atas hasil pertanian selama setahun atau beberapa tahun. Susunan upacara ini adalah: upacara Podo Tenggeng, Barong Wae Teku, Barong Compang, Libur Kilo, Wae Owak Dan Tudak Penti. Saat ini, upacara penti tidak lagi dijalankan oleh semua orang Manggarai. Alasan-alasan yang mungkin adalah modernisasi, perkembangan agama katolik, dan sosialisasi budaya penti yang kurang berhasil.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bagul Dagur, A. Kebudayaan Manggarai: Sebuah Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhaya Press, 1997 Arif, Junaidi "Upacara Pemberkatan Sumber Mata Air dalam Kegiatan Penti". http://www.floresecotourism.com/artikel/5/55/upacara_penti_-_ritual_syukur,_kekeluargaan,_dan_pelestarian_alam.html . diunduh 18 November 2010, pukul 14. 05 Bustan, Fransiskus . "Makna Lagu Ara dalam Ritual Penti Pada Guyup Tutur Etnik Manggarai di Flores". http://74.6.117.48/search/srpcache?ei=UTF-8&p=budaya+penti&fr=slv1 &u=http://cc.bingj.com/cache.aspx?q=budaya+penti&d=4792015410627354&mkt=en-US&setlang=en-US&w=a746f25e,e178c9b9&icp=1&.intl=us&sig=Qz6gyvuGcMBF98zswOVR9g--. diunduh pada tanggal 18 November 2010, pukul 14.05.

Antoni Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai : Sebuah Khasanah Kebudayaan Nasional ( Surabaya: Ubhaya Press, 1997), hal. 81 Ibid., hlm 78-93. Dagur adalah seorang tokoh masyarakat Manggarai. Buku ini ditulisnya pada saat ia menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayan Kabupaten Manggarai. Jabatan berikutnya adalah Bupati Manggarai (1999-2004).

Fransiskus Bustan . "Makna Lagu Ara dalam Ritual Penti Pada Guyup Tutur Etnik Manggarai di Flores" (http://74.6.117.48/search/srpcache?ei=UTF-8&p=budaya+penti&fr=slv1 &u=http://cc.bingj.com/cache.aspx?q=budaya+penti&d=4792015410627354&mkt=en-US&setlang=en-US&w=a746f25e,e178c9b9&icp=1&.intl=us&sig=Qz6gyvuGcMBF98zswOVR9g--), diunduh pada tanggal 18 November 2010, pukul 14.05. Fransiskus Bustan mengadakan penelitian tentang makna lagu ara dalam Guyup Tutur Etnik Manggarai (GTEM). Dia menulis (ada beberapa editan): Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh sebuah gambaran umum bahwa, lagu Ara merupakan salah satu produk dan praktek budaya Manggarai tetesan masa lalu yang bersifat multidimensional dan sarat makna. Dikatakan demikian karena, selain menyandang makna religius sebagai dimensi makna paling utama, dalam satuan bahasa yang dipakai dalam lagu Ara tergurat pula makna sosiologis dan makna estetis yang terajut dalam satu kesatuan dengan konteks ritual penti dan konteks budaya Manggarai secara keseluruhan. Dalam makna tersebut tersurat dan tersirat seperangkat gagasan dan cara pandang warga Manggarai tentang dunia, baik dunia yang secara faktual terjadi maupun dunia simbolik atau dunia imaginatif yang keberadaan objek yang menjadi rujukannya hanya berada dalam tataran ideasional atau mewujud dalam bentuk peta pengetahuan, sesuai realitas sosial-budaya yang dihadapi dan dialaminya. Makna religius lagu Ara berkaitan dengan persepsi etnik manggarai tentang eksistensi Tuhan ( Morin agu Ngaran), roh leluhur ( ende agu ema), dan roh alam ( ata pele sina ). Ketiga kekuatan supranatural atau adimanusiawi tersebut diyakini sebagai sumber kekuatan moral utama yang sangat menentukan kesejahteraan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat dalam ziarah kehidupannya di dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Suratan dan siratan makna religius lagu Ara dapat disimak dalam satuan bahasa yang dipakai dalam beberapa kalimat atau klausa berikut. (1) celung cekeng (ganti   musim)   'pergantian musim keja' (2)  wali  ntaung (balik tahun)    'peralihan tahun musim' (3)  kaing  dani ( minta  panen berlimpah) 'mohon hasil panen yang melimpah' (4)  tegi    becur (minta  kenyang)   'mohon hasil panen yang melimpah' (5)  uwa  gula (tumbuh pagi) 'tumbuh pagi' (6)  bok  leso (tunas  siang)    'tunas siang' Sesuai kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik, kalimat (1) dan (2) bersifat saling menunjang dan menegaskan secara maknawi yang diwahanai dengan pemakaian kosakata yang berbeda, namun kosakata tersebut masih berhubungan secara sinonimis. Kata celung 'ganti' dalam kalimat (1) yang merupakan bentuk reduplikasi semantis dari kata caling 'ganti' berpadanan makna dengan kata wali 'balik' dalam kalimat (2). Demikian pula kata cekeng 'musim' dalam kalimat (1) berpadanan makna dengan kata ntaung 'tahun' dalam kalimat (2). Secara kontekstual, kedua kalimat tersebut menyingkap permohonan warga GTEM kepada Tuhan sebagai Pemilik dan Penguasa Alam Semesta agar peristiwa peralihan tahun musim dari tahun musim yang lama ke tahun musim yang baru berjalan lancar, dan mereka terbebas dari serangan berbagai jenis penyakit dan bencana alam yang dapat membawa kesengsaraan dalam realitas kehidupannya.

Junaidi Arif, "Upacara Pemberkatan Sumber Mata Air dalam Kegiatan Penti" (http://www.floresecotourism.com/artikel/5/55/upacara_penti_-_ritual_syukur,_kekeluargaan,_dan_pelestarian_alam.html ) , diunduh 18 November 2010, pukul 14. 05 Acara ini misalnya dilaksanakan pada 14-15 november 2009 sebagaimana yang laporkan oleh Junaidi Arif dari Burung Indonesia. ia menulis: "Bagi penulis, Upacara Penti tidak hanya sekedar ritual berkumpulnya masyarakat Wae Rebo. Namun, ada hal yang lebih subtantif di sini, yakni sebuah kekuatan budaya untuk melestarikan leluhur nenek moyang, dengan kuatnya arus budaya barat yang masuk ke negeri ini. Hal yang lain adalah rasa kecintaan masyarakat Wae Rebo terhadap alam dan isinya, terutama air sebagai sumber kehidupan. Bagi masyarakat Wae Rebo, menjaga sumber mata air sebagai sumber kehidupan, menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya seperti burung serta habitat lainnya, merupakan warisan nenek moyang yang harus tetap dijaga. Hal ini terlihat dari masih terjaganya kondisi hutan di sekitar perkampungan Wae Rebo. Sungguh cantik negeri ini.....Apabila masyarakatnya punya rasa cinta seperti masyarakat Wae Rebo. Hutan lestari, air sudah dekat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun