Mohon tunggu...
Ahmad Budi Febriansyah
Ahmad Budi Febriansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Jika Sejarah tidak diruwat ya dirawat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejarah Resmi 2025: Ancaman Krisis Nalar Kritis Pelajar Indonesia

18 Juli 2025   01:30 Diperbarui: 19 Juli 2025   00:18 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Martha C. Nussbaum mengkhawatirkan tren global yang mereduksi pendidikan menjadi sekadar alat untuk pertumbuhan ekonomi dan kompetisi pasar. Ia berpendapat bahwa fokus sempit ini mengabaikan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendidik warga negara yang utuh. Ia menekankan vitalnya humaniora (seni, sastra, filsafat, sejarah) untuk mengembangkan pemikiran kritis, kemampuan untuk berargumen dan mempertanyakan otoritas, serta untuk menolak tradisi buta. Tujuan pendidikan adalah membentuk warga negara yang bertanggung jawab, mampu berempati terhadap sesama (termasuk yang berbeda budaya dan latar belakang), dan sanggup berkolaborasi lintas batas untuk memecahkan masalah global.

Nussbaum sangat menekankan pentingnya kemampuan mempertanyakan otoritas dan tradisi buta. Namun, konsep "sejarah resmi" yang didukung pemerintah berisiko menjadi otoritas tunggal yang sulit digugat. Jika narasi ini diglorifikasi, siswa tidak akan terdorong untuk mencari "berbagai perspektif" atau menguji "fakta keras" yang mungkin telah difilter. Ini melemahkan kemampuan esensial untuk berpikir kritis dan independen yang diperlukan untuk demokrasi yang sehat.

Nussbaum berpendapat bahwa demokrasi membutuhkan warga negara yang mampu berempati dan memahami orang lain, termasuk mereka yang berbeda. Jika penulisan ulang sejarah melakukan glorifikasi terhadap satu narasi nasional tertentu, seringkali dengan mengabaikan kontribusi atau penderitaan kelompok minoritas, atau dengan mengedepankan nasionalisme yang berlebihan (meskipun disebutkan "tanpa bersifat nasionalistik", namun berpotensi bias), ini dapat menghambat pengembangan empati dan pemahaman lintas batas. Warga negara yang hanya disuguhi narasi yang memuji diri sendiri mungkin kesulitan memahami kompleksitas dunia dan isu-isu global.

Mirip dengan kritik Nussbaum terhadap pendidikan berbasis profit, penulisan sejarah yang menghegemoni dan mengglorifikasi dapat menjadi alat untuk "keuntungan politik" bagi rezim yang berkuasa. Alih-alih mengembangkan kapasitas siswa untuk menjadi manusia yang utuh dan kritis, sejarah digunakan untuk membenarkan kekuasaan atau menanamkan ideologi tertentu, yang bertentangan dengan tujuan pendidikan humanistik Nussbaum. Nussbaum menekankan bahwa humaniora mengajarkan perenungan dan refleksi. Jika sejarah dihaluskan dari kontroversi dan kesalahan masa lalu, siswa tidak akan memiliki materi untuk merefleksikan dilema moral, konsekuensi tindakan, atau kompleksitas pengambilan keputusan dalam sejarah. Ini menghambat perkembangan kebijaksanaan dan kemampuan reflektif yang vital.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, jika indikasi hegemoni, kontrol narasi, dan glorifikasi dalam proyek penulisan ulang sejarah 2025 diterapkan secara dominan dalam buku-buku resmi dan kurikulum, hal itu akan sangat menghambat pencapaian Capaian Pembelajaran (CP) Mata Pelajaran Sejarah Fase E dan F. CP dirancang untuk membentuk peserta didik yang berpikiran kritis, analitis, reflektif, dan empatik, yang mampu memahami sejarah dari berbagai perspektif dan belajar dari masa lalu secara komprehensif. Upaya untuk menyeragamkan, mengontrol, dan mengglorifikasi narasi sejarah justru berlawanan dengan semangat ini, berisiko menciptakan generasi yang pasif secara historis, kurang kritis, dan memiliki pemahaman yang dangkal serta bias tentang identitas dan masa lalu bangsanya.

Penting bagi para pemangku kepentingan (sejarawan, pendidik, dan masyarakat) untuk terus mengawal proses penulisan ulang ini agar tetap berpegang pada prinsip-prinsip objektivitas ilmiah, inklusivitas, dan keberanian untuk menghadirkan sejarah dalam segala kompleksitasnya. Hanya dengan demikian, tujuan mulia dari Capaian Pembelajaran Sejarah dapat benar-benar terwujud.

Referensi

Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2024). Panduan Pengembangan Kurikulum Satuan Pendidikan Edisi Revisi Tahun 2024. Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan.

Freire, P. (1968). Pendidikan Kaum Tertindas. Narasi.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for Profit: Why Democracies Need the Humanities. Princeton University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun