Pengaruh pada Kemampuan Reflektif dan Empati
CP menargetkan peserta didik untuk "bersikap reflektif terhadap berbagai peristiwa sejarah" dan "membangun empati". Kemampuan reflektif adalah kapasitas untuk merenungkan makna dan implikasi peristiwa masa lalu terhadap masa kini dan masa depan, sedangkan empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain di masa lalu.
Jika sejarah yang diajarkan adalah narasi yang bersih dari kontroversi dan penuh glorifikasi, peserta didik tidak akan memiliki materi untuk melakukan refleksi kritis. Refleksi seringkali timbul dari perenungan terhadap dilema moral, keputusan sulit, atau konsekuensi yang tidak diinginkan dari peristiwa sejarah. Jika semua ini dihilangkan, proses refleksi menjadi dangkal atau tidak ada sama sekali.
Empati seringkali terbangun dari pemahaman mendalam tentang penderitaan, perjuangan, dan pengalaman manusia yang kompleks di masa lalu. Jika narasi sejarah cenderung menghilangkan atau mereduksi penderitaan kelompok tertentu (misalnya, korban konflik, masyarakat yang tertindas), atau hanya berfokus pada "kesuksesan" dan "kemenangan", peserta didik akan kesulitan untuk mengembangkan empati yang tulus. Mereka tidak akan belajar dari kesalahan masa lalu atau memahami dampak traumatis dari kebijakan atau peristiwa tertentu terhadap individu dan komunitas.
Keadilan sejarah seringkali memerlukan pengakuan atas kesalahan, penindasan, atau ketidakadilan di masa lalu. Jika sejarah hanya menunjukkan sisi positif dan menghindari "fakta keras" yang bisa "menyulitkan", peserta didik tidak akan mengembangkan pemahaman yang kuat tentang konsep keadilan sejarah. Mereka mungkin tidak akan terdorong untuk mempertanyakan ketidakadilan di masa lalu atau bagaimana hal itu terus berlanjut hingga kini.
Refleksi dan empati juga memungkinkan peserta didik untuk menemukan relevansi personal dalam sejarah. Dengan melihat bagaimana individu atau kelompok lain menghadapi tantangan dan membuat pilihan di masa lalu, peserta didik dapat belajar tentang kondisi manusia dan menemukan pelajaran untuk hidup mereka sendiri. Jika sejarah terlalu disensor, relevansi personal ini bisa hilang.
Pemikiran Paulo Freire dan Martha C. Nussbaum
Pemikiran menurut Paulo Freire dan Martha C. Nussbaum sangat relevan dalam menganalisis potensi dampak negatif dari proyek penulisan ulang sejarah ini.
Paulo Freire mengkritik model pendidikan yang menempatkan siswa sebagai wadah pasif yang diisi pengetahuan oleh guru. Model ini dianggap menindas, tidak memanusiakan, dan menghasilkan kepatuhan. Ia mengusulkan pendidikan dialogis di mana guru dan siswa berinteraksi sebagai subjek, bersama-sama menyelidiki realitas dan masalah. Tujuannya adalah membangkitkan "kesadaran kritis" (conscientization) agar individu mampu memahami akar penindasan dan bertindak untuk mengubah dunia mereka. Bagi Freire, pendidikan adalah praktik kebebasan, bukan domestikasi.
Ketika pemerintah menetapkan "buku resmi (official history)" dan menekankan "standar ilmiah" yang mungkin mengecilkan narasi alternatif, ini berisiko menjadi bentuk "pendidikan gaya bank" dalam skala makro. Alih-alih mengajak siswa berdialog dengan berbagai interpretasi sejarah, buku resmi ini bisa "menyetorkan" satu narasi tunggal yang harus diterima tanpa pertanyaan. Ini menciptakan siswa sebagai objek pasif, bukan subjek yang aktif menyelidiki sejarah.
Paulo Freire menekankan kesadaran kritis untuk memahami struktur penindasan. Jika penulisan sejarah menghindari hal-hal yang bersifat kontroversial pada periode kontemporer dan melakukan glorifikasi, ini berarti sisi-sisi kelam sejarah, konflik, atau ketidakadilan masa lalu cenderung disamarkan atau dihilangkan. Akibatnya, siswa tidak akan mendapatkan gambaran utuh tentang kompleksitas masyarakat, akar masalah sosial-politik, atau bagaimana penindasan (baik masa lalu maupun kini) beroperasi. Ini menghambat pembentukan kesadaran kritis yang dibutuhkan untuk memahami dan mengubah realitas. Bagi Freire, pembebasan datang dari pemahaman kritis dan tindakan transformatif. Jika sejarah yang diajarkan adalah narasi yang dikontrol untuk melayani kepentingan penguasa (hegemoni) dan hanya menonjolkan aspek positif (glorifikasi), maka pendidikan sejarah justru dapat menjadi alat penindasan yang halus. Ini mencegah siswa untuk bebas berpikir, bebas mempertanyakan, dan bebas bertindak untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil.