Malam itu, Zio gelisah. Ia teringat pelajaran ustadz dan tatapan kecewa Nafil. Ia pun mendekati ibunya yang sedang membaca Al-Qur'an.
"Bu," kata Zio pelan, "apa benar munafik itu dosa besar?"
Ibunya menutup mushaf. "Iya, Nak. Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 145, bahwa orang munafik ditempatkan pada tingkat paling bawah di neraka. Sangat berat hukumannya."
"Kalau aku pernah berbohong atau mengingkari janji, apakah aku termasuk munafik, Bu?" tanya Zio dengan suara bergetar.
Ibunya tersenyum lembut. "Kalau itu terjadi sesekali karena khilaf lalu kamu menyesal dan bertaubat, insyaAllah Allah mengampuni. Tapi kalau dijadikan kebiasaan, itu yang berbahaya."
Zio menunduk. Ia sadar selama ini terlalu sering meremehkan kebohongan.
Keesokan harinya di sekolah, Zio menghampiri Nafil.
"Fill, maaf banget ya. Aku sudah bohong sama kamu. Sebenarnya aku main ke warnet, bukan ada urusan keluarga."
Nafil tersenyum tipis. "Akhirnya jujur juga. Aku maafin. Tapi janji, jangan ulangi lagi. Kalau kita terus terbiasa bohong, lama-lama kita bisa jadi munafik sejati."
Zio mengangguk mantap. "Iya, mulai sekarang aku akan belajar jujur."
Saat pelajaran agama kembali dimulai, Ustadz Ahmad menutup dengan pesan, "Anak-anak, sifat munafik itu seperti racun yang perlahan merusak diri. Mari kita biasakan jujur, menepati janji, dan amanah. Karena kejujuran adalah ciri utama orang beriman."