Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak negatif dari globalisasi, terutama dalam konteks kebijakan ekonomi yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.  Indonesia mengalami secara langsung dampak dari kebijakan ekonomi neoliberal yang diterapkan selama krisis ekonomi Asia pada tahun 1997-1998. Krisis ini tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga negara-negara Asia Tenggara lainnya, tetapi Indonesia adalah salah satu yang paling terpukul. Pilger menunjukkan bagaimana kebijakan-kebijakan yang diatur oleh IMF dan Bank Dunia, seperti pemotongan subsidi sektor publik, privatisasi aset-aset strategis negara, dan liberalisasi pasar, telah memperburuk kondisi ekonomi dan sosial di Indonesia.
 Contohnya seperti Pemotongan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti listrik dan bahan bakar minyak, sehingga membebani kehidupan masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah, privatisasi aset negara seperti Perusahaan milik negara di sektor energi dan infrastruktur, menyebabkan hilangnya kontrol pemerintah atas sumber daya strategis dan sebaliknya memberikan keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan asing; dan liberalisasi pasar untuk memungkinkan masuknya barang-barang impor yang lebih murah, yang mematikan industri lokal yang tidak mampu bersaing.
Alih-alih membantu pemulihan ekonomi kebijakan-kebijakan tersebut justru memperdalam krisis. Pengangguran massal terjadi karena banyak perusahaan yang bangkrut dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Kemiskinan yang meluas pun terjadi, dengan jutaan orang terjerumus ke dalam kondisi kehidupan yang sangat sulit. Ketidakstabilan politik juga muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap tidak mampu melindungi kepentingan rakyat. Demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan sosial pun terjadi, yang berpuncak pada tahun 1998 dengan jatuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Eksploitasi Tenaga Kerja oleh Perusahaan Multinasional
Salah satu subjek utama kritik  John Pilger adalah praktik eksploitasi tenaga kerja perusahaan multinasional seperti Nike yang disorot dalam film tersebut.  Pilger mendemonstrasikan melalui penelitian mendalam bagaimana bisnis besar ini memanfaatkan kelemahan dalam sistem ekonomi global untuk mengeksploitasi pekerja di negara berkembang.  Mereka memanfaatkan gaji yang murah, perlindungan hukum yang minim, dan kondisi kerja yang buruk di negara-negara seperti Indonesia untuk memaksimalkan keuntungan mereka.
Karena tekanan ekonomi dan kurangnya pekerjaan yang lebih baik banyak pekerja di Indonesia terutama  dari kalangan Perempuan dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah yang jauh di bawah standar hidup yang layak, seringkali tanpa jaminan kesehatan atau keselamatan yang memadai. Sementara itu, perusahaan multinasional seperti Nike menghasilkan keuntungan miliaran dolar setiap tahun, sebagian besar disebabkan oleh biaya produksi yang sangat rendah yang disebabkan oleh upah yang rendah dan kondisi kerja yang eksploitatif.
Selain mengkritik ketidakadilan ekonomi yang berlaku, Pilger mendemonstrasikan bagaimana teknik eksploitasi ini menghasilkan siklus ketergantungan yang tidak dapat dipatahkan. Â Negara-negara berkembang yang menghadapi masalah pengangguran dan kemiskinan bergantung pada investasi asing dan pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan multinasional. Â Namun pada kenyataannya, ketergantungan ini memperburuk ketidakadilan struktural karena pemerintah di negara berkembang ni sering ragu untuk memberlakukan undang-undang yang lebih ketat atau menaikkan upah minimum karena khawatir bahwa investasi perusahaan ini akan pindah ke negara-negara dengan biaya produksi yang lebih rendah.
Kesimpulan
Film The New Rulers of the World karya John Pilger mengingatkan kita bahwa globalisasi, meskipun sering dianggap sebagai fenomena yang tak terelakkan, tidak boleh dimanfaatkan sebagai alat untuk memperkuat dominasi ekonomi negara-negara maju dan korporasi multinasional atas negara-negara berkembang. Globalisasi sering digambarkan sebagai jalan menuju kemajuan dan integrasi ekonomi dunia, tetapi dalam praktiknya, ia justru sering kali memperlebar ketimpangan antara negara kaya dan miskin. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, kerap menjadi korban dari eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja murah oleh korporasi global. Sementara itu, manfaat ekonomi yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat lokal justru mengalir ke negara-negara maju dan segelintir elit global. Oleh karena itu, globalisasi harus dikelola dengan cara yang lebih adil dan inklusif, di mana semua pihak, termasuk negara-negara berkembang, dapat menikmati manfaatnya secara merata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI