Mohon tunggu...
03alaika bima aditya
03alaika bima aditya Mohon Tunggu... Pelajar

Olahraga, otomotif, teknologi, militer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hikmah dalam Kehilangan

29 September 2025   11:11 Diperbarui: 29 September 2025   10:48 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

    Namaku Fikri. Aku lahir dari keluarga sederhana di sebuah kota kecil. Sejak lulus kuliah, aku bekerja di sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang ekspedisi. Gajinya memang tidak seberapa, tapi cukup untuk membantu orang tua dan membiayai adik yang masih sekolah. Hidupku terasa cukup tenang dan teratur.

    Namun, ketenangan itu berubah ketika tiba-tiba perusahaan tempatku bekerja dinyatakan bangkrut. Semua karyawan, termasuk aku, harus menerima kenyataan pahit: di-PHK tanpa pesangon. Saat itu aku merasa dunia runtuh.

    Hari-hari setelah kehilangan pekerjaan terasa begitu berat. Aku bangun pagi tanpa tujuan, duduk termenung memikirkan masa depan. Tabungan makin menipis, sementara kebutuhan keluarga tidak pernah berhenti. Aku merasa gagal sebagai anak laki-laki yang seharusnya bisa diandalkan.

    Dalam doa, aku sering berkata, “Ya Allah, mengapa harus aku? Bukankah aku selalu berusaha jujur dan bekerja keras?” Namun semakin aku bertanya, hatiku justru semakin gelisah. Aku bahkan sempat iri melihat teman-temanku yang masih bekerja, sementara aku terjebak dalam kekosongan.

   Suatu sore, aku pergi ke masjid hanya untuk menenangkan diri. Setelah salat, aku duduk lama di pojok, hingga seorang ustaz menghampiri. Ia tersenyum lalu berkata lembut, “Fikri, jangan terus bertanya ‘kenapa Allah beri ujian ini padamu’. Cobalah bertanya ‘untuk apa Allah memberiku ujian ini’. Ikhlaslah, karena Allah tidak pernah salah menuliskan takdir.”

      Kalimat sederhana itu seperti mengetuk pintu hatiku yang lama tertutup. Aku sadar selama ini aku terlalu sibuk menyalahkan keadaan, padahal mungkin Allah ingin mengajarkan sesuatu.

      Sejak hari itu, aku mulai belajar menerima dengan ikhlas. Aku tetap berusaha mencari pekerjaan, tetapi aku juga mengisi waktu dengan hal bermanfaat: membantu orang tua di rumah, dan mengajar anak-anak mengaji di mushola dekat rumah. Tidak ada bayaran, hanya senyum tulus dari anak-anak kecil. Anehnya, hatiku terasa lebih damai daripada ketika dulu sibuk bekerja.

     Beberapa bulan kemudian, Allah menunjukkan jalan. Aku mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang lebih besar. Tidak hanya gajinya lebih baik, tetapi juga suasananya lebih sehat dan menantang. Saat itulah aku menangis dalam doa: bukan karena sedih, tapi karena syukur.

     Pengalaman itu mengajarkanku arti ikhlas. Ikhlas bukan berarti menyerah tanpa usaha, tetapi tetap berjuang sambil menyerahkan hasil sepenuhnya pada Allah. Kadang, kehilangan adalah jalan Allah untuk menyiapkan sesuatu yang lebih baik. Kini, setiap kali ditimpa masalah, aku mencoba mengingat: “Allah tidak pernah salah memberi takdir, yang salah hanya cara kita menyikapinya.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun