Mohon tunggu...
Willian Paradise
Willian Paradise Mohon Tunggu... Pelajar

-

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Fenomena Hustle Culture: Apakah Kita Benar-Benar Harus Sibuk untuk Sukses?

12 April 2025   14:54 Diperbarui: 14 April 2025   13:42 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Hustle Culture (Sumber: Shutterstock)

Apakah kalian pernah ngerasa bersalah karena lagi rebahan ngga ngapa-ngapain? Kalian cuman lagi scroll tiktok, buka instagram, atau sekedar nonton youtube. Atau jadi kepikiran pas lihat orang lain posting video kegiatan produktif mereka dari pagi sampe malam, sementara kita cuman bangun, makan, tidur? Semakin saya bertambah umur, saya semakin merasa bahwa bisa merasa bahagia merupakan suatu privilege dan hal itu juga termasuk suatu kesuksesan, lho. Bahagia itu sangat susah untuk didapatkan apabila kita sudah kehilangannya.

Memiliki rutinitas setiap hari memang ngga ada salahnya. Tapi, apa jadinya kalo hidup kamu cuman berputar di sekitar kerjaan-kerjaan itu? Bangun tidur, langsung siap-siap ke sekolah. Di sekolah, belajar seharian sampe sore dan pulangnya masih ada les, bantu ibu ngerjain pekerjaan rumah, bahkan ada yang masih belajar sampe subuh. Fenomena itu disebut hustle culture yang sering kali ditemui di lingkungan kerja maupun pelajar sekarang, dimana seseorang tidak pernah berhenti bekerja. Menurut Impact Plus, hustle culture adalah standar masyarakat yang menganggap kamu hanya bisa sukses kalau benar-benar mendedikasikan hidupmu untuk bekerja keras, sekeras-kerasnya.

Saya sendiri pernah menerapkan budaya hustle ini. Saya pernah belajar sampai tengah malam, bahkan sampai jam dua malam hanya untuk mendapat nilai ujian yang bagus. Alhasil, memang itu bermanfaat bagi nilai saya, nilai saya menjadi lebih bagus. Tetapi waktu mengerjakan ujian itu, saya merasa mengantuk, saya ingin tidur di saat itu juga. Rasa ngantuk itu masih ada sampai setelah pulang sekolah sehingga saya tidak memiliki semangat untuk belajar ujian untuk hari esoknya. Jam tidur saya juga menjadi berantakan, waktu bangun tidur saya merasa sangat lemas, parahnya saya pernah sampai sakit. Wajah saya jadi tumbuh banyak jerawat karena sering bergadang. Jadi, hustle culture memang bermanfaat untuk mencapai tujuan kita namun hanya sesaat, untuk jangka panjang hustle culture akan berdampak buruk bagi kesehatan kita. Sehingga, hustle culture bukan suatu solusi yang baik apabila kita mau mencapai suatu tujuan. Bekerja itu harus ada batasnya.

Zaman sekarang, jadi pelajar tuh ngga cukup cuman sekolah dan ngerjain PR. Rasanya kalo belum ikut organisasi, lomba, bahkan buka bisnis kecil-kecilan, belum dianggap "keren". Biasanya pelajar ngerasa kaya gini karena dorongan dari orang sekitar dan tekanan dari dalam diri sendiri. Saya pernah menemui ada orang yang ikut tiga organisasi sekaligus, jadi panitia di acara sekolah dan di luar, tetap kejar ranking, dan masih ikut berbagai macam les. Kalo dari pandangan kita memang mereka produktif, tapi di balik itu semua, ada rasa luar biasa capek yang ngga mereka tunjukin. Kita cuman ngelihat apa yang mereka capai, bukan apa yang mereka lakukan untuk mecapai pencapaian itu. Padahal, masa remaja itu juga butuh waktu buat bersenang-senang. Tapi hustle culture buat semua itu jadi “ngga penting”.

Saya pernah buka tiktok terus ngelihat ada content creator SMA yang buat video “Study With Me” yang isinya mereka belajar setiap hari ngerjain tugas. Mereka rela belajar sampe subuh jam 3, jam 4, atau parahnya ada yang sampe ngga tidur cuman buat ngejar “nilai”. Video itu membuat saya merasa “Kok saya ngga kaya gitu ya?” Saya merasa hidup saya ngga ada apa-apanya dibandingin sama mereka, merasa diri belum cukup baik. Yang bahayanya, hal itu dianggap wajar oleh remaja zaman sekarang. Sering kali mereka bilang “Wajar aja capek, namanya juga pejuang masa depan.”, padahal ngga semua capek itu sehat.

Makin padat jadwal, makin keren. Makin sedikit tidur, makin dianggap pejuang. Istirahat? Nanti aja, katanya. Padahal, tubuh kita punya batas. Standar masyarakat ini bikin banyak orang ngerasa harus selalu produktif. Kalo ngga, bakal dianggap malas atau kurang serius mengejar mimpi. Tapi, bener ngga sih kita harus sesibuk itu buat bisa sukses? Ngga salah sih kerja keras. Tapi masalahnya hustle culture ini sering banget bikin orang lupa cara berhenti. Sampai-sampai Istirahat dan waktu santai dianggap sebagai kelemahan. Kita jadi kayak mesin robot yang terus dipaksa jalan tanpa rem, padahal energi kita juga ada batasnya. Kalau terus dipaksa, ya bisa meledak juga. Salah satu efeknya? Burnout. Burnout bukan cuman capek secara fisik, tapi juga mental dan emosional. Burnout ini nyata, lho. Banyak orang yang merasa kehilangan semangat, ngga punya motivasi, bahkan mulai benci sama hal-hal yang dulu mereka sukai. Tapi tetap memaksakan diri karena takut terlihat “kalah”. Tidak sedikit orang yang mengalami stress, gangguan tidur, depresi akibat terus-menerus menerapkan gaya hidup ini.

Illustrasi Pelajar Stress Akibat Tugas (Sumber: Kompas.id)
Illustrasi Pelajar Stress Akibat Tugas (Sumber: Kompas.id)

Tanpa kita sadari, sekolah justru mendorong hustle culture secara tidak langsung. Guru-guru kasih banyak tugas tanpa mikirin beban yang ditanggung muridnya. Belum lagi, ekspetasi orang tua yang pengen anaknya “serba bisa” buat kita ngerasa dituntut gaada habisnya dan berpikir “Kita ngelakuin semua ini sebenarnya demi apa sih?” Padahal Pendidikan itu ngga cuma soal prestasi, tapi juga tentang pembentukan karakter dan kesehatan mental. Slow progress juga proses. Ngga semua orang harus jadi luar biasa di usia muda.

Di sekolah, banyak teman saya yang bermain game mobile legend dan biasanya ketika season mereka akan mulai bermain game gila-gilaan sampai subuh hanya untuk mengejar "Mythic Glory", pangkat tertinggi di game itu. Biasanya mereka bermain party-an atau bermain bersama teman mereka untuk ngepush rank nonstop. Mereka ngga akan berhenti bermain kalau belum mencapai mythic. Mereka juga bisa bermain sampai ngga kenal tidur, sampai ngga tau waktu, sampai ngga makan hanya untuk menjadi "top global" di game itu. Ketika mereka kalah, mereka akan merasa kesal, bahkan membanting banting hp mereka sendiri. Mereka akan berkata kasar dan kesehatan mata mereka ikut terganggu. Jadwal tidur mereka menjadi berantakan bahkan mereka bisa sakit atau terkena penyakit hanya karena kekurangan tidur.

Pernah denger kalimat ini? “kamu capek, semua orang juga capek. Kalo kamu ngeluh terus kapan suksesnya? Mereka bisa, kamu juga harus bisa dong!”. Saya pernah mendengar kalimat itu dan ini merupakan salah satu contoh dari toxic positivity dimana seseorang terus dipaksa untuk semangat. Pas denger kalimat itu saya merasa down tapi di sisi lain itu juga membuat saya merasa lebih semangat untuk berusaha. Tapi, alangkah baiknya jika kita juga belajar menerima emosi negatif itu agar lebih kuat dan mudah mengatasinya di masa depan. Kadang yang kita butuhin cuma didengar dan dipahami, bukan disuruh “tetap bertahan”. Di sisi lain, hustle culture juga ngerampas waktu buat hal-hal penting. Kayak waktu sama keluarga, teman, atau sekadar me-time. Waktu istirahat jadi barang mewah, padahal itu kebutuhan dasar. Banyak masyarakat, terutama di kalangan milenial dan Gen Z menganggap hustle culture sebagai simbol ambisi dan semangat pantang menyerah. Mereka biasanya merasa bangga ketika mereka sibuk, bahkan menjadikan kelelahan sebagai bentuk pencapaian. Apalagi di zaman teknologi ini, pekerjaan bisa diakses dimana saja dan kapan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun