Mohon tunggu...
Shabrina Luthfiyah Ahmad
Shabrina Luthfiyah Ahmad Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya adalah seorang Pelajar/mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mahasiswi dari pogram studi PGMI dan Merupakan Anggota dari Organisasi Kesenia. Memiliki Keahlian dalam Menari, Membuat Konten, serta manajemen media sosial. Saya dikenal sebagai pribadi yang aktif, mampu berkreasi dan berfikir inovatif, serta swlalu bersemangat untuk belajar hal baru guna mendukung pertumbuhan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Book

laut Tengah Dan Keheningan Yang Menyembuhkan, Membaca Trauma, Iman Retak, Dan Kritik Sosial Dalam Karya Berliana Kimberly

20 Mei 2025   15:31 Diperbarui: 20 Mei 2025   15:29 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : Gramedia.com)

Berliana Kimberly bukan nama baru dalam lanskap sastra Indonesia kontemporer, namun pendekatannya dalam Laut Tengah menandai pergeseran estetika sekaligus keberanian tematik. Ia dikenal dengan karya-karya yang memadukan refleksi personal dan sosial dengan bahasa yang lirih namun tajam. Berliana bukan hanya pengarang yang menulis dari ruang privat, tetapi juga pengamat spiritualitas modern, seorang penulis yang tidak serta merta menawarkan jawaban, melainkan mempertanyakan ulang lanskap keimanan, luka, dan harapan dengan bahasa sastra yang subtil.

Laut sebagai Ruang Simbolik Trauma Kolektif.

Dalam konstruksi simboliknya, laut dalam Laut Tengah tidak sekadar menjadi latar visual atau elemen atmosferik. Ia adalah metafora yang menghidupi seluruh perjalanan batin tokoh-tokohnya. Berliana menjadikan laut sebagai lambang trauma kolektif ruang tempat luka-luka personal dan sosial ditenggelamkan sekaligus dikabarkan. Karakter Haia, misalnya, tidak sendirian dalam penderitaannya. Orang-orang di sekelilingnya juga mengarungi kesedihan dan keterputusan, seolah-olah mereka semua hanyalah perahu kecil yang tersesat di perairan luas. Dengan demikian, novel ini mengaburkan batas antara duka individu dan penderitaan bersama; laut menjadi ruang eksistensial yang menyatukan mereka dalam diam.

Iman yang Tidak Lurus Fragmented Faith.

Berbeda dari kecenderungan narasi religius konvensional yang menekankan transformasi spiritual sebagai proses yang lurus dan terang, Laut Tengah menghadirkan konsep "fragmented faith" keimanan yang muncul dari retakan, bukan dari kepastian. Haia tidak tiba-tiba tercerahkan pasca mengalami tragedi. Ia memberontak, mempertanyakan Tuhan, dan menolak untuk langsung "sembuh" secara instan. Inilah salah satu kekuatan esensial novel ini, kejujuran dalam menggambarkan perjalanan batin manusia yang berliku, lambat, dan kadang bertolak belakang dengan ajaran yang ia yakini.

Berliana menolak menyederhanakan pengalaman spiritual sebagai produk akhir dari tragedi. Sebaliknya, ia memperlihatkan bahwa krisis iman bisa menjadi bagian utuh dari religiositas itu sendiri. Dalam konteks ini, novel Laut Tengah memiliki posisi penting dalam wacana sastra Islam kontemporer karena memberi ruang bagi keraguan dan luka tanpa langsung menutupnya dengan kepastian atau dogma.

Absennya Tokoh Penolong Dekonstruksi Narasi Maskulin Religius. 

Yang juga menarik, novel ini secara sadar meniadakan figur laki-laki ideal yang biasanya hadir sebagai "penyelamat" perempuan dalam banyak karya sejenis. Dalam Laut Tengah, tokoh pria bukanlah pusat solusi. Justru sebaliknya, mereka kerap menjadi katalis luka dan kebimbangan. Ini menjadi bentuk dekonstruksi terhadap trop "prince charming religius" sebuah figur yang kerap hadir dalam literatur populer untuk memberikan rasa aman atau arah moral. Dengan menjadikan perempuan sebagai aktor utama dari penyembuhan dirinya sendiri, Berliana menghadirkan narasi yang lebih memberdayakan. Haia tidak menemukan jawaban dari pria religius yang datang menuntunnya, tapi dari pertemuan-pertemuan kecil yang sunyi, dari waktu yang bergulir, dan dari suara hatinya sendiri.

Bahasa Sunyi dan Narasi yang Mengendap. 

Dari segi estetik, kekuatan prosa Berliana terletak pada keheningan. Ia tidak berusaha mendramatisasi dialog, melainkan membiarkan suasana berbicara melalui kalimat-kalimat pendek yang reflektif. Banyak bagian novel ini terasa seperti fragmen puisi atau bisikan batin yang lirih namun mengiris. Gaya ini membuat pembaca bukan hanya menyimak cerita, melainkan ikut hanyut dalam lanskap emosi yang tak sepenuhnya bisa didefinisikan. Dengan pilihan diksi yang minim namun padat makna, novel ini berhasil menciptakan semacam atmosfer "ruang dalam" di mana kata-kata tidak dipakai untuk menjelaskan, tapi untuk merasakan. Ini adalah kekuatan khas sastra yang mengandalkan resonansi ketimbang informasi.

Kritik Terselubung terhadap Spiritualitas Konsumtif. 

Tanpa menyampaikan kritik secara eksplisit, Laut Tengah menyuguhkan resistensi halus terhadap spiritualitas yang instan dan konsumtif. Fenomena "branding religius" di media sosial sering kali menampilkan agama sebagai citra yang diraih, bukan sebagai proses batin yang dijalani. Haia, dengan segala kerumitannya, justru menunjukkan bahwa proses religius tidak selalu tampak indah, tidak selalu terformulasi rapi, dan tidak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Novel ini, dalam kesunyiannya, seperti ingin mengingatkan bahwa pencarian makna spiritual tidak bisa dikemas dalam format inspiratif yang mudah dijual. Ia harus dihidupi secara personal, lambat, dan penuh luka. Dalam hal ini, Laut Tengah adalah antitesis dari spiritualitas yang instan sebuah pengingat bahwa kejujuran emosional lebih penting daripada citra keimanan.

Laut Tengah bukan sekadar kisah perempuan yang bertahan dalam badai. Ia adalah peta batin, laut simbolik, dan ruang kritis bagi pembaca yang ingin memahami bahwa kehidupan dan keimanan tidak bisa dirangkum dalam kutipan-kutipan indah semata. Dengan novel ini, Berliana Kimberly telah menulis bukan hanya sebuah cerita, tetapi juga sebuah proses perenungan bersama. Novel ini layak dibaca bukan hanya untuk menikmati alur, tapi untuk direnungkan perlahan seperti laut yang tidak pernah diam, meskipun tampak tenang dari permukaan.

KELEBIHAN NOVEL

Salah satu kekuatan utama Laut Tengah adalah keberaniannya untuk tidak "menyenangkan". Ia tidak memberikan penyelesaian cepat, tidak menawarkan solusi yang bisa dikutip sebagai inspirasi media sosial. Ini adalah bentuk sastra yang percaya pada perenungan lambat. Bahasa yang digunakan lirikal, padat, dan kadang hampir seperti prosa puisi membentuk atmosfer yang membuat pembaca tidak sekadar mengamati, tapi turut larut dalam ruang batin tokoh. Di samping itu, absennya tokoh laki-laki sebagai penyelamat membuat narasi ini terasa lebih jujur dan mendekonstruksi banyak tropes dalam fiksi religi populer. Dalam novel ini, penyembuhan bukan datang dari luar, melainkan dari percakapan-percakapan yang bersifat imanen, relasi manusiawi yang tidak didramatisasi, dan waktu yang berjalan tanpa pamrih.

KEKURANGAN NOVEL

Bagi sebagian pembaca, Laut Tengah bisa terasa "terlalu sunyi" minim aksi, nyaris tanpa konflik yang eksplisit, dan tidak memberikan "climax" dalam pengertian konvensional. Struktur naratifnya yang fragmentaris mungkin membingungkan bagi mereka yang terbiasa dengan plot yang linear dan jelas. Selain itu, beberapa simbolisme laut, gelombang, dan kehampaan bisa dianggap repetitif jika tidak dibaca dengan kesadaran estetis yang mendalam. Namun justru di sinilah letak kompleksitasnya Laut Tengah menuntut pembaca untuk tidak sekadar membaca, tetapi mengalami.

PESAN MORAL

Novel ini secara implisit menolak spiritualitas instan dan "branding keimanan" yang kini marak dijual di ruang publik. Ia mengajarkan bahwa proses menemukan makna tidak selalu indah, rapi, atau bisa dipamerkan. Kejujuran dalam mengalami luka dan mempertanyakan iman adalah bagian penting dari kehidupan spiritual itu sendiri. Lebih dari itu, Laut Tengah menyampaikan bahwa perempuan memiliki ruang otoritatif dalam mengelola batin, menyusun ulang keyakinan, dan menegosiasikan relasi sosial serta religius tanpa bergantung pada otoritas laki-laki. Ini bukan sekadar pesan feminis, melainkan afirmasi eksistensial bahwa penyembuhan adalah hak pribadi yang tidak bisa dipaksa oleh narasi besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun