Berliana Kimberly bukan nama baru dalam lanskap sastra Indonesia kontemporer, namun pendekatannya dalam Laut Tengah menandai pergeseran estetika sekaligus keberanian tematik. Ia dikenal dengan karya-karya yang memadukan refleksi personal dan sosial dengan bahasa yang lirih namun tajam. Berliana bukan hanya pengarang yang menulis dari ruang privat, tetapi juga pengamat spiritualitas modern, seorang penulis yang tidak serta merta menawarkan jawaban, melainkan mempertanyakan ulang lanskap keimanan, luka, dan harapan dengan bahasa sastra yang subtil.
Laut sebagai Ruang Simbolik Trauma Kolektif.
Dalam konstruksi simboliknya, laut dalam Laut Tengah tidak sekadar menjadi latar visual atau elemen atmosferik. Ia adalah metafora yang menghidupi seluruh perjalanan batin tokoh-tokohnya. Berliana menjadikan laut sebagai lambang trauma kolektif ruang tempat luka-luka personal dan sosial ditenggelamkan sekaligus dikabarkan. Karakter Haia, misalnya, tidak sendirian dalam penderitaannya. Orang-orang di sekelilingnya juga mengarungi kesedihan dan keterputusan, seolah-olah mereka semua hanyalah perahu kecil yang tersesat di perairan luas. Dengan demikian, novel ini mengaburkan batas antara duka individu dan penderitaan bersama; laut menjadi ruang eksistensial yang menyatukan mereka dalam diam.
Iman yang Tidak Lurus Fragmented Faith.
Berbeda dari kecenderungan narasi religius konvensional yang menekankan transformasi spiritual sebagai proses yang lurus dan terang, Laut Tengah menghadirkan konsep "fragmented faith" keimanan yang muncul dari retakan, bukan dari kepastian. Haia tidak tiba-tiba tercerahkan pasca mengalami tragedi. Ia memberontak, mempertanyakan Tuhan, dan menolak untuk langsung "sembuh" secara instan. Inilah salah satu kekuatan esensial novel ini, kejujuran dalam menggambarkan perjalanan batin manusia yang berliku, lambat, dan kadang bertolak belakang dengan ajaran yang ia yakini.
Berliana menolak menyederhanakan pengalaman spiritual sebagai produk akhir dari tragedi. Sebaliknya, ia memperlihatkan bahwa krisis iman bisa menjadi bagian utuh dari religiositas itu sendiri. Dalam konteks ini, novel Laut Tengah memiliki posisi penting dalam wacana sastra Islam kontemporer karena memberi ruang bagi keraguan dan luka tanpa langsung menutupnya dengan kepastian atau dogma.
Absennya Tokoh Penolong Dekonstruksi Narasi Maskulin Religius.Â
Yang juga menarik, novel ini secara sadar meniadakan figur laki-laki ideal yang biasanya hadir sebagai "penyelamat" perempuan dalam banyak karya sejenis. Dalam Laut Tengah, tokoh pria bukanlah pusat solusi. Justru sebaliknya, mereka kerap menjadi katalis luka dan kebimbangan. Ini menjadi bentuk dekonstruksi terhadap trop "prince charming religius" sebuah figur yang kerap hadir dalam literatur populer untuk memberikan rasa aman atau arah moral. Dengan menjadikan perempuan sebagai aktor utama dari penyembuhan dirinya sendiri, Berliana menghadirkan narasi yang lebih memberdayakan. Haia tidak menemukan jawaban dari pria religius yang datang menuntunnya, tapi dari pertemuan-pertemuan kecil yang sunyi, dari waktu yang bergulir, dan dari suara hatinya sendiri.
Bahasa Sunyi dan Narasi yang Mengendap.Â
Dari segi estetik, kekuatan prosa Berliana terletak pada keheningan. Ia tidak berusaha mendramatisasi dialog, melainkan membiarkan suasana berbicara melalui kalimat-kalimat pendek yang reflektif. Banyak bagian novel ini terasa seperti fragmen puisi atau bisikan batin yang lirih namun mengiris. Gaya ini membuat pembaca bukan hanya menyimak cerita, melainkan ikut hanyut dalam lanskap emosi yang tak sepenuhnya bisa didefinisikan. Dengan pilihan diksi yang minim namun padat makna, novel ini berhasil menciptakan semacam atmosfer "ruang dalam" di mana kata-kata tidak dipakai untuk menjelaskan, tapi untuk merasakan. Ini adalah kekuatan khas sastra yang mengandalkan resonansi ketimbang informasi.