Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Agama Berselingkuh dengan Politik

11 Mei 2017   17:46 Diperbarui: 11 Mei 2017   20:27 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus Ahok dalam penistaan agama yang berbuntut putusan penjara 2 tahun telah menarik perhatian dunia. Rasionalitas dan emosi saling menarik dan meremas satu sama lain. Berbagai orang dengan latar belakang sibuk membuat anasir dan memposisikan diri pada anasir tertentu. Fenomena tersebut akhirnya menggiring saya pada satu fakta, bahwa di balik kasus ini ada hubungan yang sangat erat antara agama dan politik. Ada apa dengan hubungan keduanya?

Salah satu acara televisi yang menarik pasca vonis Ahok adalah Mata Najwa. Seperti biasa, di akhir acara Najwa merajut sebuah simpul. Pada bagian akhir dikatakannya, “Bisakah kita berpolitik dan beragama, tanpa memusuhi perbedaan dan mengorbankan persatuan?” dalam Mata Najwa bertajuk “Setelah Vonis Ahok”di Metro TV, Rabu, 10 Mei 2017.

Kalimat dengan nada bertanya tersebut melempar saya pada pengalaman Gereja Katolik bagaimana rasanya, dampaknya, dan konsekuensinya jika agama berselingkuh dengan (sistem) politik. Gereja Katolik yang berikutnya saya tulis Gereja (dengan huruf G besar), mewajibkan semua Umat Katolik untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan sosial politik kemasyarakatan, di manapun mereka berada. Umat di sini adalah semuanya, mulai dari awam, kaum religius (mereka yang hidup membiara atau memilih jalan hidup bakti seperti suster, bruder, frater) sampai kaum klerus (diakon, pastor, dan uskup). Namun demikian, ada batasan bagi kaum religius dan klerus. Mereka dilarang terjun ke politik praktis. Artinya, jangan menjadi presiden atau masuk ke partai politik, untuk jadi ketua RT saja tidak boleh. Kenapa?

Keputusan Gereja itu dilandasakan dari pembelajaran hidup menggereja, khususnya pada masa abad pertengahan. Abad pertengahan bermula dari runtuhnya imperium Romawi pada 395, sampai jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki pada 1453. Dalam sejarah Gereja dan Eropa, masa ini dikenal dengan Zaman Kelam (Dark Ages). Ironisnya, pada masa ini Gereja sangat mendominasi dalam seluruh kehidupan masyarakat.

Selama Abad Pertengahan, Gereja yang dipimpin oleh Paus memegang kekuasaan penuh. Semua masyarakat Eropa termasuk para rajanya tunduk pada Paus. Seorang raja (sebutlah Raja Jerman atau Raja Inggris, atau lainnya) hanya akan diakui kekuasaannya jika dia mendapat restu dari Paus. Gereja memegang kekuasaan mutlak. Dia dipandang sebagai lembaga yang menjamin seseorang bisa masuk surga atau tidak, bisa berkuasa atau tidak, benar atau salah, bahkan menjadi lembaga yang paling benar.

Wajah Gereja tampak sangat angkuh dan arogan. Berkat genggamannya yang sangat kuat di segala sendi kehidupan, Kitab Suci tidak menjadi jalan menuju keselamatan tetapi menjadi landasan pembenaran bagi pemimpin Gereja untuk berbagai praktik korupsi, membunuh banyak orang karena dianggap sesat atau menodai ajaran Gereja, bahkan menghukum ilmuwan hanya karena ia menyampaikan sebuah teori yang tidak sesuai dengan Kitab Suci.

Saya kasih contoh sedikit soal ilmuwan yang disingkirkan oleh Gereja karena memegang prinsip kebenaran ilmu pasti. Pernah dengar Galileo Galilei (1564-1642)? Ia harus berurusan dengan Gereja karena meyakini kebenaran prinsip heliosentris pada astronomi, yakni matahari sebagai pusat yang statis, sedangkan bumi, bulan dan planet-planet berputar mengelilingi matahari. Prinsip ini bertentangan dengan Kitab Suci yang menyatakan bahwa bumi-lah yang menjadi pusatnya (geosentris). Hal tersebut didasarkan pada Mzm 93:1, 96:10 dan 1 Taw 16:30 yang mengatakan, “Sungguh tegak dunia (bumi), tidak bergoyang” (lihat juga ayat Mzm 104:5, Pkh 1:5). Ada banyak kasus seperti Galileo karena Gereja juga memegang kebenaran mutlak atas ilmu pengetahuan, yang sayangnya bukan berdasarkan scientia tapi berlandas Kitab Suci.

Para pemimpin Gereja yang berselingkuh dengan politik pada akhirnya mencatatkan sejarah kelam penuh darah dan warisan kebencian berkat perang salib. Dari tahun 1095 sampai 1204 para Paus mendukung serangkaian perang salib yang berdarah dan mahal dalam usaha untuk mengusir kaum kaum Muslimin dan membebaskan Yerusalem.

Catatan sejarah kelam Gereja yang sebenarnya sudah amat sangat lama terjadi, senyatanya bukanlah pengalaman yang sangat jauh dari kehidupan kita. Seolah tidak belajar dari pengalaman, di negara kita tercinta ini, jamak kita temui beragam praktik kekerasan dan pembungkaman orang lain yang berbeda dengan landasan ayat-ayat suci dari tukilan Kitab Suci. Beragam praktik korupsi di negara ini dengan kerugian total sampai triliunan dimaklumi karena yang melakukan adalah “kaum suci.” Dan yang terbaru, melalui kasus Ahok kita pun bisa melihat dengan terang benderang, agama dipakai menjadi alat politik untuk mendepak orang benar yang menjadi lawan politiknya. Inilah wajah nyata di mana politik berselingkuh dengan agama, di mana para politisi bermain mata dengan kaum agamawan.

Apakah hubungan keduanya memang wajar seperti itu? Berkaca pada sejarah Gereja, praktik ini menjadi wajah memalukan bagi Gereja! Gejolah ketidakpuasan dengan sistem Gereja disuarakan berbagai tokoh seperti Martin Luther, Yohanes Calvin sampai John Knox mulai dari periode 1517 sampai 1600. Inilah awal mula terjadi Reformasi Gereja. Ada banyak gejolak agama, politik dan sosial budaya yang terjadi. Kita tidak usah sampai jauh ke sana, intinya ujung dari gerakan ini adalah kaum reformis menjadi tonggak berdirinya agama Gereja Protestan yang lepas dari Gereja Katolik Roma. Sedangkan bagi Gereja, peristiwa ini menjadi awal untuk mereformasi diri. Gereja mengkaji lagi hubungan Agama dengan Politik.

Melalui Konsili Vatikan II (1962-1965) Gereja Katolik dengan tegas memisahkan praktik Agama dengan Politik. Kaum awam didorong untuk terlibat dalam Politik dengan membawa nilai dan norma kristiani. Sedangkan kaum religius dan klerus dengan tegas dilarang masuk ke dunia politik praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun