Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kidu

16 Juli 2017   22:07 Diperbarui: 16 Juli 2017   23:10 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : http://mediabnr.com

Saya orang desa. Ini bukan pencitraan agar dianggap rendah hati. Tersebab tempat saya dilahirkan, masa kecil, hingga berumah tangga memang di sebuah desa. Desa Klajan, namanya, terletak di Selatan kota Banjarmasin. Nama desa ini diambil dari nama sungai yang melewatinya, Soengai Klajan. Pada kiri-kanan sungai inilah masyarakat Klajan hidup. Belakangan, penulisan Klajan berubah menjadi Kelayan untuk menyesuaikan ejaan.

Dalam catatan pemerintahan Kerajaan Banjar dan Pemerintahan Kota Banjarmasin, pulau Kelayan disebut sebagai desa, yang -- saat itu - meliputi hampir semua wilayah Kecamatan Banjarmasin Selatan. Keseharian masyarakatnya pun menggambarkan kehidupan pedesaan. Sejak dulu, sungai dimanfaatkan untuk segala aktivitas. Tidak sekadar prasana transportasi, tetapi juga untuk mandi, cuci pakaian, bahkan buang air besar (BAB).

Seiring waktu, kehidupan modern juga memengaruhi kehidupan Kelayan setelah masuknya teknologi informasi dan komunikasi, serta hadirnya sebuah plaza awal 90-an, tetapi sifat kedesaan sebagian masyarakatnya masih lekat. Sampai hari ini, masih ada yang mandi dan buang air besar (BAB) di sungai sekalipun kondisi airnya sudah kotor. Suasana gotong royong, seperti saat perkawinan dan keagamaan, masih terasa. Apalagi budaya mawarung, tetap ramai.

Kebiasaan hidup gaya desa itu membawa 'masalah' ketika bersenyawa dengan gaya hidup modern. Saya menemukan itu ketika menjadi guru di awal operasionalnya SMA 10, di Tembus Mantuil, 1993. Toilet sekolah saat itu menggunakan kloset jongkok porselen. Tidak sampai seminggu, kloset buntu karena banyak siswa tidak menyiram sehabis BAB. Pasalnya, mereka terbiasa BAB di jamban sungai yang kotorannya sudah larut dibawa arus tanpa harus disiram.

Ada banyak lagi contoh bagaimana proses 'penyesuaian diri' itu berlangsung. Ada yang bisa langsung ganti kulit, ada yang masih pakai topeng, dan masih ada yang cuek karena apa adanya dan tetap ingin dikenal 'asal'nya. Pemandangan semacam ini bisa kita saksikan di mal dan pusat perbelanjaan di Banjarmasin dan kota lainnya bagaimana gaya tampilan dan komunikasi saudara-saudara kita dari daerah yang masih disebut desa, hulu sungai, bahkan dari pinggiran kota.

Sesekali kita bisa saksikan, misalnya, seseorang yang matanya takberkedip mengikuti arah orang di depannya yang berpenampilan seksi. Sikap ini muncul karena yang bersangkutan merasa belum pernah menyaksikan itu sebelumnya di kampungnya. Orang Banjar punya sebutan untuk sikap semacam ini, yaitu 'kidu', sebutan yang disampaikan kepada seseorang untuk mengomentari sikap orang tersebut yang terlihat gagap dalam menyikapi suatu keadaan.

Istilah 'kidu' berasal dari kata 'udik' dalam Bahasa Indonesia yang pelafalannya dibalik. Maknanya serupa, dianggap kurang tahu sopan santun, canggung (kaku) tingkah lakunya, atau bodoh (konteks sosial dan budaya). Namun, penggunaannya berbeda. Kidu menjadi semacam makian, umpatan, sindiran, atau candaaan, tergantung konteksnya. Dalam kasus di atas, kidu adalah ledekan. Orang yang diledek biasanya merasa malu sendiri.

Kidu sebagai umpatan bisa saja membuat orang marah. Sekalipun gaya kedesaan itu  tampak terlihat, tetapi karena sebutan itu dianggap merendahkan, misalnya, latar kesukuan, keyakinan, strata sosial, bahkan pendidikan, yang bersangkutan punya alasan untuk tersinggung. Sebagai contoh ke-kidu-an dalam soal tatacara dan etika makan saat ada jamuan: menyuap menggunakan tangan padahal tersedia sendok atau sendok menimbulkan bunyi ketika bersentuh piring.

Sebutan kidu semakna dengan istilah 'ndeso' dalam bahasa Jawa. Setelah sempat dipopulerkan Tukul Arwana sepuluh tahun lalu, Ndeso kembali mencuat seminggu terakhir ini gegara Kaesang, anak Pak Jokowi, Presiden, menyebut istilah itu dalam Vlog-nya untuk menyindir sekelompok orang yang pemikirannya masih dianggap kedesaan. Dan ucapan ini menjadi viral setelah ada yang mempermasalahkan dan melaporkan itu karena merasa tersinggung.

Kidu atau Ndeso hanyalah sebuah istilah dalam menyikapi sesuatu. Tentu harus ada kearifan dalam menggunakannya. Takada yang salah juga dengan sikap kedesaan yang melekat pada seseorang. Bagaimana pun kita harus tetap memelihara nilai-nilai kedesaan sebagai sebuah kearifan lokal. Yang menjadi masalah apabila pemikiran dan sikap kidu itu merugikan orang lain. Silakan kiduatau ndeso  asal tetap bersahaja dan beretika. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun