Kebiasaan berdakwah dengan pola pengajian tersebut, dilakukan secara konsisten oleh Abah. Tidak hanya di Pontianak, Kalimantan Barat, tapi juga di beberapa wilayah Kabupaten Malang, seperti Kalipare.
Satu hal yang menarik perhatian banyak kalangan dari Abah, ialah cara berpakaiannya. "Serban yang melilit di kepalanya, hampir tak pernah lepas selama bepergian, apalagi saat mengaji." Begitu kata KH. Abdul Hakim Fudlali saat itu. "Bahkan, saya belajar memakai serban dari Beliau." lanjutnya.
Pada tahun 85-an, Abah Achmad menambah pola dakwahnya dengan mendirikan Pesantren di Blega, kemudian di Panyiburan, Sampang, tahun 89-an. Kedua pesantren tersebut didirikannya setelah Beliau mengurangi bepergian ke Pontianak.
Pesantren di Blega selanjutnya diasuh oleh menantu yang juga sepupunya, KH. Qusyairiy Juwaini, Pelanggaran, Blega. Pesantren yang kemudian diberi nama al-Zayyadiy, di Blega, tersebut selanjutnya diasuh oleh puteranya yang keenam, KH. Sa'd al-Azfa.
Sekalipun Beliau sudah mendirikan pesantren, tetapi dakwah dalam bentuk pengajian di mushalla atau masjid tetap dilakukannya. Beberapa mushalla atau masjid selanjutnya Beliau serahkan kepada Kyai Kampung yang berada di sekitarnya. Salah satu mushalla adalah Mushalla Waqaf al-Nur, Lao' Songai, Blega. Saat ini, mushalla waqaf tersebut sudah berubah fungsi sebagai masjid dan diberi nama Masjid al-Nur Abu Bakar al-Shadiq. Pengajian Ahad pagi di masjid ini masih terus berjalan dan dipertahankan.
Dalam kondisinya yang sangat terbatas, Abah tetap menjaga tradisi silatur rahim. Dalam hal ini beberapa saudara yanh sering dijadikan tempat menginap Beliau sudah didirikan pesantren atau masjid, seperti di rumah KH. Abdul Hakim, Bulupitu, sekarang diasuh oleh iparnya, KH. Dimyathiy, dan di rumah KH. Husni, di Krebet, Bululawang, sekarang diasih oleh puteranya, KH. Nasurllah.
Selain dari tradisi silatur rahim, Abah juga sangat senang memberikan makan pada setiap tamunya. Bahkan, Abah lebih memilih diri dan keluarganya makan sederhana asalkan tamunya bisa disuguhi secara lebih layak.Â
Pernah suatu ketika saya tinggal di rumah Beliau, Panyeppen. Selama saya di rumah Beliau, saya tak melihat keluarganya makan dengan layak. Hingga suatu hari, ada seseorang yang mengantarkan ikan segar yang sudah matang.Â