Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Full Day School, Gerbang Sekularisme?

13 Agustus 2017   07:23 Diperbarui: 13 Agustus 2017   11:05 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedua FDS dalam konsep Lima Hari Sekolah (LSH) adalah sebuah pesan dari nawacita presiden Jokowi. Sebagaimana janji kampanyenya, Jokowi memiliki pandangan khusus tentang LHS ini. Di awal penolakan masyarakat, Jokowi sempat menunda kebijakan ini dan mengungkapkan akan mengganti permendikbud dengan perpres. Namun, sampai saat ini belum juga lahir perpres tentang LHS ini. Tarik ulur dari lahirnya perpres dimungkinkan sebagai "morphin" yang membuat para penolak tenang, toh, kenyataanya permendikbud itu terus diimplementasikan mulai tahun ini. Banyak Madin di daerah seluruh Indonesia, seperti yang dilaporkan kepada Rabithah Islamiah, bangkrut dan mengalami penurunan jumlah santri.

Ketiga mungkinkah ini awal dari degradasi prilaku keagamaan yang sistemik. Dengan dimulainya sekolah 8 Jam dan mata pelajaran pengetahuan umum berdesakan di lima hari akan membuat anak lelah untuk belajar Agama di malam hari. Mereka akan fokus kepada pendidikan umum yang menjadi core persekolahan selama ini. Tidak bisa sekolah disulap secara cepat untuk menjadi lembaga pengetahuan umum sekaligus mengganti Madin yang berpengetahuan Agama. Semakin anak fokus ke persekolahan, maka semakin lupa juga mereka akan pengetahuan agama. Bila saja semua orang tua mampu mengajarkan agama kepada anak-anaknya, itu tidak masalah, namun dengan globalisasi yang menuntut semua orang bekerja di luar rumah, maka orang tua mengajar agama merupakan ketidak niscayaan.

Dilihat dari tiga analisis tadi, akhir dari FDS yang membunuh Madin akan berdampak kepada sekularisasi kehidupan. Alasan jam kerja dalam LHS tidak melihat secara jernih dimensi kebutuhan pendidikan jasamani dan rohani anak. Secara jelas, ini hanya fokus pada dimensi struktur pekerjaan guru. Mendidik di arahkan sebagai bagian pekerjaan yang harus dituntaskan. Pendidikan bukan sebagai proses yang membutuhkan waktu yang lama dan konsistensi pendidiknya namun pekerjaan pendidik. Bila hanya guru yang dibela atas jam kejanya, maka itulah sekularisasi pendidik dalam dunianya. Egoisme guru dalam bekerja akan  membunuh proses pendidikan anak.

Nawacita yang digaungkan oleh presiden Jokowi dari jargon-jargon yang dipublikasikan terlihat meminggirkan Islam sebagai agama mayoritas. Dimulai dengan pembelaan kepada satu pihak dan menyudutkan penganut muslim kebanyakan, keluarnya perpu tentang ormas Islam anti pancasila, Saya Pancasila, Parade Kebhinekaan, Terorisme, dan isu-isu Komunisme dan Cinaisasi. Dalam beberapa pandangan, ada yang sengaja memainkan isu ini, namun bila itu benar, bisa jadi Nawacita Jokowi akan meminggirkan Islam sebagai agama yang berpengaruh. Madin sebagai panji masyarakat dalam mendidik generasi islami harus dipinggirkan perannya dan akan terbunuh dengan sendirinya. Madin bisa jadi korban dari nawacita yang diinginkan oleh presiden. Benar atau tidak, saya pun tidak tahu.

Cara yang paling ampuh dalam mendegradasikan Islam di masyarakat adalah membenturkan agama dengan kepentingan negara. Simbol negara seperti Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dapat dengan mudah menjadi alat sentimen untuk meminggirkan agama sebagai kebutuhan individu. Membenturkan kaum nasionalis dan Islam akan membuat agama terpinggirkan. Membenturkan ormas agama-nasionalis dengan agama-militan akan membuat masyarakat bingung. Pada akhirnya, agama secara sistematis akan ditinggalkan.

Tahapan "pembunuhan" agama dalam kerangka sekularisasi Indonesia telah sempurna dilaksanakan. Tahap pertama adalah isu miring tentang Islam. Isu-isu itu digoreng sehingga memunculkan berbagai aksi. Tahap kedua adalah menghancurkan dan mengadu dombakan ormas-ormas keagamaan islam melaui berbagi instrumen. Keberpihakan pemerintah terhadap ormas satu dan penindasan terhdap ormas lain telah berkonstribusi terhadap jelasnya kaum nasionalis menuduh Islam sebagai agama yang intoleran. Tahap Ketiga adalah membunuh lembaga-lembaga Islam. Karena Islam kuat melalui pendidikannya, maka lembaga yang paling mungkin dibunuh adalah Madin.  Sekolah dengan FDS hanya sebagai alat saja.

Bila analisis itu benar, maka tunggulah sekularisme Indoneisa akan lahir dengan cepat. Orang tua kita akan menangis manakala melihat anak-cucunya jauh dari pendidian agama. Waktu mereka habis untuk sekolah dan meninggalkan pengajian. Indonesia akan segera tinggal landas ke era modern seperti abad 19 nya Eropa. Indonesia akan maju secara fisik, namun mundur dalam psikis. Bila Eropa yang menjadi standar, ketahuilah mereka sekarang akan kembali lagi ke dunia spiritual melalu Era Post Modernisme. Mereka sadar, meninggalkan agama bukan solusi untuk kehidupan. Agama adalah kebutuhan dan perlu dilembagakan secara baik dan kontinyu. Wallohu a'lam.

Bumisyafikri, 13/08/17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun