Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Samarinda, Ibu Kota Pertambangan Dunia

25 Februari 2013   03:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:45 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1361761447348660127

[caption id="attachment_238472" align="aligncenter" width="320" caption="Sumber : Tribun Kaltim - Nevrianto Hardi Prasetyo"][/caption] Rasanya tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Kota Samarinda secara sengaja melakukan bunuh diri dengan mengobral ijin untuk melakukan pengupasan atau pembukaan lahan untuk perumahan dan pertambangan. Prihananta Giri Nugroho, Kepala Seksi Sungai Danau dan Waduk PU Kaltim (http://kaltim.tribunnews.com/2013/02/24/banjir-air-di-samarinda-bakal-berganti-lumpur)menyatakan bahwa kolam retensi yang ada di belakang Stadion Madya Sempaja setiap hari kemasukan 7 meter kubik atau setara 2 dump truck lumpur. Dengan demikian trend banjir ke depan terutama di sekitar kawasan perempatan Sempaja akan berganti dari air menjadi lumpur.

Samarinda sejak semula memang sudah akrab dengan banjir sebagaimana tercermin dalam namanya. Konon Samarinda berasal dari kata sama dan rendah artinya permukaan daratan Samarinda sejajar dengan permukaan air sungai Mahakam yang mengalir membelah kota ini. Tak heran jika rumah-rumah khas Samarinda tempo dulu adalah rumah panggung dengan yang dihubungkan dengan jalan seperti jembatan-jembatan kayu yang memanjang. Banjir atau genangan air secara alamiah dalam bentuk pasang surut menumbuhkan pula daerah rawa-rawa, kawasan penyimpan sementara air yang tidak mengalir ke anak-anak sungai di Samarinda yang berakhir di sungai Mahakam sebagai exit strategi.

Metamorfosa Kota Samarinda dari Kota Bandar menjadi Kota Daratan menumbuhkan persoalan yang pelik. Kawasan-kawasan yang merupakan daerah retensi air alamiah dengan cepat menghilang. Rawa-rawa ditimbun, berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman dan juga niaga. Munculah titik-titik banjir baru yang jumlahnya naik berlipat kali dari tahun ke tahun. Mutu atau kwalitas banjirpun semakin meningkat, jika awalnya banjir hanya berupa genangan tidak berarus, kini di beberapa tempat banjir semakin meninggi dan berarus sehingga membawa bahaya baru bagi warga di tempat itu. Banjir di sekitar jalan Antasari, sampai tahun lalu tinggi genangan airnya masih bisa diterobos oleh kendaraan bermotor. Tapi awal tahun ini sudah mencapai tinggi sepinggang orang dewasa. Motor-motor yang nekat menerobos akan berakhir di bengkel.

Samarinda adalah Kota Jasa, tumbuh sebagai penghubung (hub) untuk memasok kebutuhan bagi kota-kota di sekitarnya. Dan fungsi semacam ini diamini dalam visi kota Samarinda sampai dengan saat ini. Tak ada secuilpun kalimat yang menyebutkan kota Samarinda akan mendasarkan perkembangannya pada pertambangan. Namun dalam amatan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Kalimantan Timur, 71% wilayah Kota Samarinda telah diserahkan kepada industri keruk yang rakus lahan itu. Samarinda telah dikepung oleh pertambangan batubara yang meratakan bukit-bukit di sekeliling kota ini. Bukit yang diratakan semakin memperpendek waktu curahan hujan dari langit menjadi genangan air karena luasan daerah penyerapan air semakin menyempit.

Tambang bukan hanya meratakan bukit namun juga meninggalkan danau-danau baru yang muncul dari bekas galian yang dibiarkan tidak ditutup. Mungkin untuk sementara danau-danau ini bisa menjadi tempat menyimpan sementara limpasan air yang turun di kala hujan. Namun kontruksi dan kekuatan danau bekas galian ini tidak teruji sehingga rawan jebol. Banjir bandang akibat jebolnya waduk bekas galian tambang pernah terjadi di Simpang Paser Palaran. Air bercampur lumpur yang digelontorkan dalam sekejap menyapu kawasan pemukiman menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Beberapa tempat pendidikan tak bisa melaksanakan kegiatan belajar mengajar karena ruang kelas dan fasilitas (perpustakaan, peralatan praktek dan komputer) terendam lumpur dan rusak.

Aktivitas pertambangan di Kota Samarinda bukan hanya ‘menghadiahkan’ air bercampur lumpur yang membuat nestapa warganya. Pembongkaran lahan besar-besaran di kala panas akan memproduksi debu. Lapisan permukaan tanah yang dibongkar menghasilkan partikel-partikel lembut yang memenuhi udara Kota Samarinda. Alhasil penderita Infeksi Saluran Pernafasan Atas meningkat secara bermakna dari tahun ke tahun. Dalam daftar 10 penyakit utama yang diderita oleh warga kota Samarinda, ISPA dalam beberapa tahun terakhir ini menduduki peringkat atas.

Karena tidak direncanakan sebagai kota pertambangan maka fasilitas untuk mendukung pertambanganpun tidak tersedia. Mobil pengangkut hasil tambang dan pemasok logistiknya memakai jalanan umum, yang tidak saja merampok ruang warga namun juga merusak jalanan yang tidak dibuat untuk menahan beban peralatan dan hasil tambang. Jalanan kota Samarinda mirip wajah Samarinda dari atas, compang-camping karena banyak lubang dan gelombang disana-sini.

Samarinda yang menyatakan diri sebagai kota TEPIAN adalah Ibukota Propinsi Kalimantan Timur. Adakah ibukota propinsi lainnya yang menistakan diri, membiarkan badan kotanya ditambang, dikeruk habis-habisan?.TEPIAN selain berarti Tertib, Rapi, Indah dan Aman secara harafiah juga mau menyatakan diri bahwa Kota Samarinda adalah kota yang berada di tepi Sungai Mahakam, water front/side city. Sungai Mahakan yang mengalir sepanjang Kota Samarinda adalah wajah kota sekaligus penyangga kehidupannya. Namun dalam pertumbuhannya, Kota Samarinda justru menghianati dan membelakangi Sungai Mahakam, dibiarkannya sungai itu menjadi toilet terpanjang tempat membuang segala kebusukan yang dihasilkan oleh daratan Kota Samarinda.

Konon menurut para pengelana pencatat sejarah, di Samarinda, pada kampung-kampung yang tersembunyi pada kelokkan Sungai Mahakam berdiam para perompak yang merampas dan memalak kapal-kapal yang lewat melintasi sungai. Muncul pula kepala-kepala kampung yang tak lebih dari preman-preman berkelakuan sama, mengutip pajak tak resmi dari kapal-kapal yang lewat. Nampaknya waktak itu tak berubah, kini pelaku pemerintahan bahkan secara terang-terangan merampok kotanya sendiri, membagi-mbagikan lahan yang seharusnya dipakai menjadi benteng pertahanan untuk melindungi warga dari banjir menjadi lahan tambang dan juga perumahan. Mereka tega menjadikan Samarinda, Kota Bandar yang memungkinkan warga menikmati dan berinteraksi secara nyaman dengan sungai menjadi Ibu Kota Pertambangan Batubara.

Pondok Wiraguna, 25 Februari 2013

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun