Kemajuan menghadirkan dehumanisasi. Kehilangan sentuhan kemanusiaan. Fokus pembangunan adalah pertumbuhan dengan segala aspek turunan yang ditimbulkan.
Kesejahteraan adalah tujuan yang ingin dicapai, dan dinyatakan dalam berbagai mimbar kampanye politik. Praktik yang dihasilkan, kenyataannya tidaklah linier dengan kumandang retorika.
Pada buku Joseph E Stiglitz, Amartya Sen dan Jean Paul Fitoussi, Mengukur Kesejahteraan, 2011, kita dapat memahami bagaimana gembar-gembor pembangunan membawa ilusi dan mimpi dalam cita-cita kesejahteraan. Alih-alih kemakmuran, kita justru terjatuh pada arus dehumanisasi.
Angka-angka disembah layaknya penentu keberhasilan. Padahal, angka-angka kerap dimanipulasi untuk berbagai kepentingan tertentu. Bagi peminat studi ekonomi pembangunan, buku ini jelas sangat penting. Kajian kesejahteraan mengambil porsi terbesar dalam pembahasan pembangunan.
Apakah pembangunan, mampu menjawab kebutuhan substansial bagi manusia? Tantangan yang dimajukan melalui buku ini, adalah ajuan tesis tentang miskonsepsi perhitungan kesejahteraan.
Format tradisional atas ukuran kemakmuran, dilakukan dengan menggunakan indikator tunggal. Nilai Produk Domestik Bruto -PDB sebagai akumulasi dari seluruh total produksi barang dan jasa, menjadi acuan yang kerap disitir.
Rumusan yang dimajukan melalui buku ini, mempergunakan adopsi Indeks Pembangunan Manusia -IPM. Kombinasi kedua orientasi ini memang tidak mudah, PDB berfokus pada aspek produksi, sedangkan IPM terkonsentrasi di sisi individu secara subjektif.
Dengan begitu, format ukuran menjadi meluas, termasuk: pendidikan, kesehatan, aktivitas pribadi, keterlibatan sosial politik, hingga ukuran mikro di level rumah tangga. Angka-angka makro kerap berbohong.
Sejatinya angka numerik, adalah sarana hitung pengukuran. Mewakili aspek kuantitatif yang bebas kepentingan. Hal itu menjadi berbeda, ketika angka-angka mulai dibaca, dipersepsi, dijadikan dasar kebijakan. Terdapat kepentingan disana.
Ukuran kesejahteraan, menurut para penulis ditempatkan pada kerangka makna individu. Diberi sentuhan kualitatif secara subjektif. Indikatornya atas apa yang dirasakan dalam kebutuhan keseharian.
Perdebatan ini, nampaknya sudah lama terjadi. Sejak jaman dulu, Phytagoras sudah berbicara, tentang Universal Matesis, bahwa apa-apa yang tidak terukur tidaklah eksis. Tidaklah sepenuhnya benar.