Mundurnya peran media massa, ditambah dengan pragmatisme institusi politik, menciptakan ruang yang luas bagi timbulnya apatisme politik. Partisipasi publik menuju emansipasi dalam bidang politik, tidak terbentuk. Sebaliknya, kepentingan kelompok semakin menguat. Demokrasi hidup dalam himpitan serta tekanan.
Sejalan dengan Averin Davis, 2019 pada Political Communication, A New Introduction for Crisis Time, maka era post truth bersanding dengan post public sphere yang berujung pada situasi post democracy.
Kosongnya ruang kebenaran, disebabkan ruang publik tidak sepenuhnya steril dari dominasi kepentingan kekuasaan. Ruang publik yang seharusnya bersifat setara, justru ada dalam hegemoni kekuasaan. Sejurus kemudian, demokrasi berhadapan dengan kepunahan.
Alternatif langkah yang dapat dikembangkan untuk mengatasi lapuknya demokrasi adalah peran gerakan masyarakat sipil, untuk melakukan koreksi dan pencerahan politik bagi publik, mengoreksi jalur politik prosedural agar tidak justru menghadirkan pilihan anti demokrasi.
Pertanyaan besarnya yang belum bisa dipastikan adalah, sampai kapan situasi krisis demokrasi akan berlangsung? dan bilamana situasi krisis demokrasi akan mampu menghasilkan kualitas baru bagi demokrasi itu sendiri? Kekuasaan otoritarian menghasilkan kontradiksi dan negasi pada dirinya. Hanya waktu dan situasi sosial, yang akan menciptakan kematangan proses sosial tersebut!