Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Fenomena "Panic Buying" pada Kisruh "Great Sale Nike"

28 Agustus 2017   08:58 Diperbarui: 28 Agustus 2017   18:32 6323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: grid.id

Setidaknya video viral yang beredar dipemberitaan dan sosial media tentang kerusuhan di saat penjualan alas kaki merek Nike dengan diskon besar-besaran sempat memenuhi timeline publik. Tentu kondisi tersebut sekali lagi membuktikan secara empirik, bahwa perlambatan ekonomi terjadi karena masyarakat menahan pembelian.

Konsumsi yang ditahan tersebut, hanya membutuhkan momentum yang spesifik untuk dibangkitkan sebagai potensi penjualan. Stimulasi harga menjadi salah satu metode yang menarik memancing terjadinya transaksi. Menciptakan image tentang kebutuhan sesaat yang tidak dapat diperoleh pada kesempatan lain.

Panic buying adalah bentuk dari respon customer secara psikologis yang mendorong kebutuhan konsumsi segera meski produk yang ditawarkan bukanlah prioritas pokok dan utama. Penawaran harga bombastis pada sebuah merek yang kredibel menyebabkan konsumen berpikir kinilah saatnya golden moment transaksi pembelian dilakukan, meski produk yang dibeli tidak langsung dinikmati secara bersamaan, bahkan mungkin dilakukan konsumsi tunda.

Titik kesetimbangan ekonomi terjadi, produsen mendorong penjualan dan konsumen tertarik melakukan pembelian. Problemnya, kalkulasi dalam metode pemasaran yang tidak terukur kerapkali membuat dampaknya tidak terkendali, termasuk keriuhan yang berujung pada kekisruhan. Tanpa melihat apakah skema yang ditawarkan merupakan bagian semata dari upaya cuci gudang, tetapi situasi tersebut berhasil menciptakan kehebohan penjualan.

Produk dengan brand yang kuat memang menarik perhatian, menyedot keinginan akan kepemilikan dari merek yang masuk dalam kategori premium. Pada hakikatnya brand mendorong konsumsi akan wants sebagai keinginan melebihi kebutuhannya (needs). Sehingga fungsi estetik lebih menonjol dari sekadar fungsi atas manfaat dasar. Semisal sepatu lari menjadi nice to have untuk bisa di-upload di Instagram meski pada kesempatan CFD hanya dipergunakan sekadar jalan kaki dan jajan semata.

Rasionalitas konsumen
Karena kehidupan terdiri atas periode produksi dan konsumsi, maka produsen sepanjang waktu akan menggoda rasionalitas konsumen. Pembeli yang bijak melakukan pemilahan kebutuhan atas prioritas pemenuhan, karena hakikat ekonomi adalah terbatasnya sumber daya yang dimiliki dalam memenuhi seluruh kebutuhan serta keinginan sekaligus.

Seringnya rasionalitas pembeli diganggu secara psikologis oleh produsen dengan berbagai pendekatan. Pola dasar yang efektif bermain kebimbangan pembeli adalah tawaran potongan harga.

Harga yang dikategorikan murah menimbulkan penjualan, tapi pastikan terlebih dulu kualitas merek yang ditawarkan, karena First Travel juga menawarkan format penawaran serupa.

Pendekatan lain yang bisa dipergunakan adalah menawarkan konsep pre order atas produk baru. Hal ini terbukti dengan produk Mitshubisi Xpander yang menjadi produk laris di ajang GIIAS 2017 dengan pesanan mencapai 5.281 unit.

Bagaimana menegakkan rasionalitas sebagai pembeli? Tidak ada cara lain selain mengukur diri dan mengelola emosi pembelian.Pengendalian diri adalah berlatih memilah rangsangan pembelian bersandarkan nilai kebutuhan diatas keinginan. Teknis praktisnya, kalkulasi kebutuhan prioritas Anda dan sesuaikan budget yang diperlukan. 

Jadi, konsumsi berlebihan menjurus konsumerisme bahkan bisa jadi jatuh pada perangkap hedonisme, sementara di sisi lain, menahan kebutuhan berlama-lama menciptakan perlambatan dalam jangka panjang yang dampaknya sama berbahaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun