Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mutasi Pati Polri Jalan Pulang Rizieq Shihab

21 Juli 2017   15:51 Diperbarui: 21 Juli 2017   19:45 5016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolri Jenderal Tito Karnavian bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Foto: vivanews.com

Mutasi di tubuh angkat bersenjata, termasuk kepolisian, tidak pernah berdiri sendiri. Selain untuk penyegaran, kesempatan kenaikan pangkat dan jabatan, mutasi juga dilakukan untuk mendukung kebijakan pimpinan. Namun tidak jarang, mutasi dilakukan karena adanya tekanan eksternal.

Sulit untuk mengatakan pencopotan Kapolda Metro Jaya Komjen M. Iriawan tidak dipengaruhi faktor eksternal. Apalagi jabatan baru yang disandangnya sebagai Asisten Operasi (Asops) Kapolri, tidak lagi strategis meski bintang di pundaknya bertambah satu. Janji Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian akan memberikan jabatan yang lebih strategis setelah mutasi besar-besaran di level jenderal bintang tiga yang akan dilakukan akhir tahun ini, mungkin benar. Tetapi bisa saja hal itu hanya untuk mengalihkan opini publik.

JIka ditarik ke belakang, mungkin ini teka-teki di balik keinginan Jenderal Tito mengundurkan diri alias pensiun dini, bukan saja dari jabatan Kapolri namun juga anggota Bhayangkara. Sangat mungkin saat itu ada tekanan luar biasa agar Jenderal Tito membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Sebab Iriawan masih memiliki tugas besar yang belum diselesaikan. Kedua kasus yang mendapat perhatian publik secara luas adalah kasus teror kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan serta kasus chat mesum yang diduga dilakukan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shibab dan Firza Husein.

Harus diakui upaya Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bachtiar Nasir mendekati Presiden Joko Widodo cukup efekif. Tekanan terhadap Rizieq Shihab dan ulama lainnya berkurang dratis. Penangguhan penahanan Sekjen Forum Umat Islam Muhammad Al-Khaththath yang sebelumnya dituduh merencanakan makar, adalah bukti sahih keberhasilan diplomasi "lebaran" di Istana Negara.

Bukan berarti Jokowi kalah. Justru Jokowi tengah menikmati buah karyanya yang sudah dirancang sejak lama untuk melumpuhkan kekuatan Islam "garis keras" yang selama ini cenderung memusuhinya. Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi GNPF MUI sebelum berhasil menemui Presiden, termasuk jaminan tidak akan melakukan gerakan politik, apalagi memobilisasi umat Islam untuk makar. Ingat, Presiden Jokowi menemui pentolan GNPF MUI setelah paginya Bachtiar Nasir memberikan jaminan umat Islam tidak akan makar atau tindakan inkonstitusional lainnya, yang disampaikan saat menjadi khatib sholat Idul Fitri di Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan, 25 Juni 2017 lalu.

Bagi Jokowi, konstelasi politik saat ini sudah sangat kondusif di mana semua kekuatan sudah berhasil "dilumpuhkan". Jokowi sudah mulai memfokuskan perhatiannya pada gelaran Pilres 2019. Upaya untuk menjadi calon tunggal semakin mendekati kenyataan setelah paripuna DPR yang diwarna aksi walk out Partai Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN, mengesahkan RUU Pemilu. Presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sebesar 20 persen merupakan kemenangan telak Jokowi.

Namun untuk mengamankan ambisinya, Presiden Jokowi membutuhkan dukungan suara dari umat Islam "garis keras". Jika pun mereka tetap tidak mau memilih, minimal tidak menciptakan front menjelang gelaran pilpres. Hal itu bisa dipenuhi jika Jokowi membubarkan ormas Islam yang tetap berseberangan sambil merangkul kelompok yang lebih moderat seperti Bachtiar Nasir cs. Jika Rizieq Shihab pulang dan kemudian berdiri di belakang pemerintah, maka PIlpres 2019 hanya formalitas untuk mengukuhkan periode kedua Presiden Jokowi.

Di sinilah  Jenderal Tito "dipaksa" untuk menyesuaikan kebijakannya dengan keinginan Presiden. Tentu bukan perkara yang sulit karena kepolisian pun ingin agar situasi di tengah masyarakat kondusif. Tetapi sayangnya harga yang harus dibayar terlalu menyakitkan karena harus memberi jalan bagi kepulangan Rizieq Shihab yang selama ini sudah dipersepsikan publik sebagai "musuh" kepolisian. Agar tidak ada yang kehilangan muka, langkah terbaik tentu dengan menggeser Kapalda Metro Jaya yang kerap menyudutkan Rizieq Shihab.

Tentu kemungkinan lain terkait mutasi di tubuh kepolisian, tetap terbuka, termasuk untuk peningkatan karir M. iriawan dan penyegaran organisasi. Kita berharap pemerintah (baca: Jokowi) tidak "memperalat" kepolisian demi ambisi pribadi.

Salam @yb      

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun