Mohon tunggu...
pangi syarwi
pangi syarwi Mohon Tunggu... -

||=Penulis Buku Titik Balik Demokrasi=||=Peneliti Indonesian Progressive Institute=||=Direktur Eksekutif Indonesian Border Watch (IBW)=||=Menulis di Kompas, Media Indoneia, Jurnal Nasional, Suara Karya, Koran Jakarta,Singgalang, Padang Ekspres,=|| Haluan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengebiri Hak Politik Sultan

5 September 2012   12:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) menjadi undang-undang dalam sidang paripurna Kamis (30/8). Kini, rakyat Yogyakarta tinggal menunggu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken undang-undang tersebut untuk memperoleh hak-hak keistimewaannya setelah sembilan tahun terkatung-katung. Namun, UUK DIY masih dibayangi uji materi.

Pengisian jabatan Gubernur DIY bersumber dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono. Wakil Gubernur DIY bersumber dari Kadipaten Pakualam yang dipimpin Adipati Paku Alam. Ada beberapa pasal krusial, absurd, dan kontroversial dalam UUK DIY. Masyarakat Yogyakarta perlu menganalisis pasal per pasal, ayat per ayat, agar tidak sampai ada keapesan pemerintah dan Keraton Yogyakarta.

Pertama, penetapan kepala daerah harus mengikuti persyaratan. Ditambah kepala daerah di Yogyakarta dilarang bergabung ke partai politik. Bukan hanya itu, peraturan UUK DIY tak hanya melarang Sri Sultan Hamengku Buwono menjadi kader partai politik, tapi dia juga dilarang berprofesi sebagai advokat, menjadi komisioner BUMN maupun BUMD. Bahkan kepemilikan yayasan dalam bidang apa pun tidak boleh. Larangan gubernur dan wakil gubernur tercantum dalam Pasal 16 dan tentang Pemerintah Daerah DIY, Bab V tentang Bentuk dan Susunan Pemerintahan.

Sri Sultan tak boleh berparpol karena milik masyarakat DIY dan agar tak tersekat kelompok politik tertentu sehingga sepenuhnya mengabdi bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat DIY. Bagi sebagian orang, alasan itu tentu masuk akal dan bisa diterima. Namun, sebagian melihat aturan itu sebagai bentuk "penggerogotan" hak politis Sri Sultan Hemengku Bowono dari panggung hasrat trayek politik walaupun Sri Sultan masih diberi selebrasi dusta politik yang mengatakan "peluang politik Sultan jika ingin maju sebagai calon wakil presiden terbuka."

Masuk akal dan tak jadi soal kalau persyaratan Sri Sultan Hemengku Bowono dilarang berprofesi sebagai advokat, menjadi komisioner BUMN maupun BUMD, bahkan kepemilikan yayasan dalam bidang apa pun karena persyaratan tersebut penyehat demokratisasi.

Menelisik Sejarah

Berbagai persoalan dalam pasal UUK DIY yang mensyaratkan Sultan dan Paku Alam tak boleh menjadi anggota partai tentu merupakan kesesatan demokrasi karena melupakan nilai-nilai historis. Kalau menelisik sejarah atau rekam jejak Sri Sultan Hemengku Buwono IX, misalnya, tak lepas dari politik. Partai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas politik pada waktu itu. Dia menjadi lakon politik "wakil presiden" sekaligus Sultan Yogyakarta dan pada akhir hidupnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional, namun tetap dicintai rakyatnya dan mampu berdiri di atas semua golongan.

Kedua, UUK DIY bisa diujimaterikan kembali ke MK selama yang sudah-sudah relatif tak jadi persoalan dan tak mengganggu kinerja Sri Sultan dalam mengayomi dan mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat Yogyakarta meski menjadi anggota partai politik. Jadi, ini adalah selebrasi partai politik untuk memasukkan pasal tersebut.

Tentu ini melanggar HAM dan diskriminatif karena jabatan presiden/gubernur/bupati adalah jabatan politik. Hampir seluruh gubernur dan bupati maupun presiden adalah anggota, pengurus, dewan pembina, dan ketua umum partai politik. Semua warga negara berhak memilih dan dipilih dan berhak berpartisipasi dalam politik. Itu dijamin undang-undang. Jelas, ini melanggar konstitusi.

Pendapat tersebut diperkuat Robert Dahl (1999). Menurut dia, demokrasi baru bisa dikatakan berjalan baik jika dalam negara tersebut terdapat institusi-institusi politik yang dibutuhkan demokrasi, seperti (1) para pejabat publik yang dipilih maupun ditetapkan lewat konsensus (permusyawaratan), (2) kebebasan berpendapat, (3) sumber informasi alternatif (informasi tidak dimonopoli negara), (4) otonomi asosiasional, dan (5) hak kewarganegaraan yang inklusif berpartisipasi dalam politik, termasuk hak dipilih dan memilih.

Dengan kata lain, pada poin enam, mempertautkan dan menganulir bahwa UUK DIY tentu tak demokratis dan melanggar konstitusi dan pilar demokrasi sebagai warga negara bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun