Mohon tunggu...
M Ishak Iskandar
M Ishak Iskandar Mohon Tunggu... -

Name: M ishak iskandar pendidikan Spd web site: wwww.genaktifasiotak.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

APA SEBENARNYA SHOLAT ITU

27 Desember 2010   20:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:19 6823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KATA PENGANTAR

Kalau saya perhatikan, maka dari 4 macam peribadatan Islam yaitu : Sholat, zakat, puasa Ramadhan dan haji, kalau orang membicarakan soal sholat ritual 5 kali sehari semalam, tampaknya sangat sensitive. Lagi-lagi bukan Cuma orang awam, bahkan yang tergolong pemuka agama atau ulama pun beranggapan, bahwa sholat itu adalah satu-satunya peribadatan Islam yang paling pokok. Sampai-sampai saya pernah mendengar ucapan seseorang yang bisa digolongkan kyai atau pemuka agama sebagai berikut : Kalau ada yang mengaku muslim tapi jarang sholat ritual 5 kali sehari semalam, atau agak meremehkan sholat ritual ini, sama saja bohong. Rupanya dia tidak pernah membaca ayat 68 Surat Al Maidah, dimana Allah menganggap sudah murtad terhadap seorang muslim yang menolak diberlakukannya syariat Islam di muka bumi ini. Bukankah ini lebih fatal sangsinya disbanding dengan yang belang bentong sholatnya ? Ya Allah, sampai dimana sih pemahaman dan pengkajian kita tentang Din Islam yang kita anut ini ? Sejauh mana kita memperlakukan hokum Allah ( Al Quran ) dan Sunnah Rasul yang merupakan wasiat Rasulullah sebelum wafatnya sebagai berikut : Taroktu fikumus nataini lantadiru ma’in tamasaktum bihima kitaballahi wa sunnnati, artinya : Saya tinggalkan 2 faktor. Tidak akan sesat kamu selama berpegang teguh dengannya, yaitu Quran dan SunnahKu ( perkataan, perbuatan, dan pengakuanKu ). Hadits riwayat Al Hakim.

Kok disini Rasulullah tidak mewasiatkan : Harus menjaga betul dari perilaku “melalaikan sholat ritual ?”

Kalau memang sholat merupakan puncak peribadatan Islam, ya mestinya sholatlah yang beliau tekankan dalam wasiatnya.

Di sini memang memerlukan penggunaan akal sehat. Maka sangat tepatlah apa yang disabdakan sahabat Umar bin Khaththab ra. : Orang berakal itu bukan orang yang bisa membedakan yang baik dari yang buruk, tapi yang bisa mengetahui mana yang lebih baik dari 2 keburukan.

Penulis,

APA SEBENARNYA SHOLAT ITU

Berangkat dari sebuah hadis Rasul yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Hurairah yang berbunyi : Inna awala mayuhasabun nasu bihi yaumal qiyamati min’amalihimus sholat. Ya qullu robbana lil malaikati : wahuwa ‘alamu unduru fis sholati abdi atamaha am naqosoha ? fainkanat tamata kutiba lahu tamattu. Wain kanan taqoso minha sayin qola : Unduru hal li abdi min tatawu ? fain kanna lahu tatawu qola : atimu li abdi faridotahu min tatawu ihi. Summa tuhodul amalu ‘ala dalika dst, artinya : Sesungguhnya yang pertama-tama akan dihisab dari amal pebuatan manusia pada hari qiamat itu ialah ibadah sholat fardu. Tuhan berfirman kepada malaikat, sedangkan Dia adalah majha lebih mengetahui : Periksalah sholat hambaku, cukupkah atau kurangkah ? maka jika terdapat cukup, dicatatlah cukup. Tetapi jika terdapat kekurangan, Tuhan berfirman pula : Periksalah lagi, apakah hambaKu itu ,mempunyai amaln sholat sunnat ? Jika terdapat pula amalan sholat sunatnya, lalu Tuhan berfirman lagi : Cukupkanlah kekurangan sholat fardu hambaKu itu dengan sholat sunatnya. Selanjutnya perhitungkanlah amal perbuatan itu menurut cara demikian, dan “jika ibadah sholatnya beres, maka ibadah-ibadah yang lainnya tidak masalah”.

Secara sepintas, baik saya maupun saudara-saudara menyimak hadits ini sangat senang. Apa sebabnya ? karena kata Rasul, “kalau ibadah sholatnya beres, ibadah-ibadah yang lainnya ( zakat/infak, puasa ramadhan, dan ibadah haji ) tidak menjadi masalah, walaupun melaksanakannya tidak setaat melakukan sholat ritual 5 kali sehari semalam”.

Tapi apakah benar, “IBADAH SHOLAT” yang dimaksud oleh Rasul dalam haditsnya ini, “ hanya sholat ritual 5 kali sehari semalam”. Dan kalau benar itu yang dimaksud, maka ibadah zakat/infak, puasa ramadhan dan haji statusnya bukan wajib lagi, tapi sunat. Padahal kenyataannya, ibadah-ibadah itupun wajib. Maka kesimpulan kita terakhir tidak boleh tidak, bahwa yang dimaksud “IBADAH SHOLAT” dalam hadits beliau ini, bukan Cuma ibadah sholat ritual, tapi juga zakat/infak, puasa ramadhan dan ibadah haji.

Sekarang, kalau memang betul ke 4 ibadah itulah yang dimaksud ibadah sholat, kita harus bisa membuktikan, bahwa tujuan akhir ke 4 ibadah tersebut harus mempunyai “SATU TUJUAN YANG SAMA”.

Menurut hemat saya, memang betul ke 4 ibadah ini mempunyai tujuan yangsama kalau dilihat dari arti kata “SHOLAT” itu sendiri yang berarti “SEJAHTERA”. Dengan kata lain, tujuan akhir ke 4 ibadah tersebut adalh untuk mewujudkan “KESEJAHTERAAN UMAT”.

Dari mana saya bisa menarik kesimpulan ini ? Kan ada ayatnya/dalilnya dalam Surat Al Ahzab ayat 56 ( 33/56 ), yang berbunyi : Innallaha wa malaikatahu “YUSHOLUNA” ala Nabi ….dst, artinya : Sesungguhnya Allah dan para malaikat saja “yusholu, sholawat, sholat, sholu, mensejahterakan” Nabi….Kalau begitu, apalagi kita manusia biasa dong, tentu lebih wajib “mensejahterakan” Nabi, harus malu tuh oleh Allah dan para malaikat !

Akibat yang sangat merugikan dan menjerumuskan umat muslim kalau kata sholat tadi hanya diartikan sholat ritual 5 kali sehari semalam. Kita akan menyepelekan ibadah wajib yang lainnya yaitu mengeluarkan zakat/infak, puasa ramadhan dan ibadah haji, kita akan berfikir : Ah….., aku sih asal sholat ritual yang 5 kali sehari semalam saja jangan sampai keteledoran, kan kata Rasul juga ibadah yang 3 macam lagi tidak jadi masalah kalau ibadah sholatnya beres.

Bahwa sholat atau sholawat berarti sejahtera, tidak perlu diragukan lagi, karena sering kita dengar di awal-awal seseorang akan berpidato sering berucap : Kita panjatkan salam dan shalawat kepada Nabi besar kita Muhammad SAW kita panjatkan selamat dan sejahtera kepada Nabi besar Muhammad SAW.

Jangan lupa saudara-saudara, hadits ini dengan terjemahan seperti diatas, pernah saya dengar diceramahkan oleh pemuka agama yang tergolong popular. Kalau pemahaman pendengar ceramah tersebutpun sama seperti dugaan kita tadi, yaitu mengartikan sholat itu hanya sholat ritual 5 kali sehari semalam saja, maka sedikit banyak ini akan meninabobokan pendengar dalam arti menyepelekan 3 macam ibadah yang lainnya itu.

Karena itu di sini saya memilih jalan pemikiran yang lebih selektif dan kritis dengan memutuskan mengartikan sholat disini bukan Cuma sholat ritual saja, tapi juga 3 ibadah Islam yang lainnya, zakat, puasa dan haji. Inipun ditarik dari kesimpulan arti kata tadi diatas itu.

Setelah kita berkesimpulan bahwa yang dimaksud kata sholat dalam hadits Rasul ini ialah 4 macam peribadatan Islam tadi, maka tersimpulkan pula bahwa Allah mewajibkan muslim melakukan ibadah sholat itu ialah : “mewajibkan muslim untuk mensejahterakan umat”.

Mungkin saudara-saudara saya kaum muslimin bertanya dalam hati : Kok tujuan akhir Allah mewajibkan muslim melakukan ibadah sholat ritual 5 kali sehari semalam itu harus bisa mewujudkan kesejahteraan umat ? Bagaimana caranya dengan ruku/sujud dalam sholat ritual harus mewujudkan kesejahteraan umat ? Saya bingung!

Begini saudara-saudara ! Tentu di tiap Rt ada mesjid tempat sholat berjamaah. Maghrib dan Isya tiap malam untuk warga satu Rt tersebut. Nah, pemuka agama yang biasa jadi Imam di Masjid ke-Rt an ini, setelah salam ke kanan dan ke kiri, jangan lantas membaca we read ( bahasa Inggris = kita membaca ) : Astaghfirullah alladi lailaha ilahuwal hayul qoyumu wa atubu ilaih ( 3 X ). La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, lahulmulku walahulhamdu yuhuyi wayumitu wahuwa ‘ala kulli syain qodir ( 3 x ). Allahuma antassalam waminkasalam, wa ilaika yaudus salam, fahayina robbana bissalam, wa ADHILNAL JANNATA Darus Salam……dst ( adhilna dari kata adhola = masukan ), jadi di sini kata Imam : Ya Allah, masukkan saya ke dalam Jannah ( syurga ) Darus salam, Darul Islam, Dar Islam, Dar itu arinya rumah, Dar Islam = Rumah Islam, maksudnya Din Islam.

Imam sendiri minta-minta kepada Allah agar dimasukkan ke dalm syurga darus salam, sedangkan umatnya (ma’mum) dibelakangin saja, tidak diajak-ajak ke syurga. Seharusnya bukan begitu, sebelum membaca wirid tadi ia membalikkan badannya 180 derajat mengahadap ke uamat (ma’mum) seperti pendeta di gereja. Absen dulu itu ma’mum yang biasa ikut sholat berjamaah tiap malam di situ. Amir ! ada ! Bakri ! Ada ! Hasa ! Ada ! Soleh ! Ada ! Umar ! Ada ! Rosid ! Ada ! Karim ! Ada ! Yunus ! Ada ! Pak Yusuf ! Tidak ada, Pak , kata yang lain.

Imam : Kemana ini pak Yusuf, kok tidak hadir malam ini ?, Jangan-jangan …., jangan-jangan…. Mari kita tengok ke rumahnya, wiridnya sebentar saja.

Waktu Imam beserta para jamaah tiba di Rumah Pak Yusuf, ternyata dia sedang berdendang lagu sedih, sampai suaranya terdengar ke rumah tetangganya yang berjarak 30 meter.

Imam : Eh, Pak Yusuf, pantesan tidak hadir malam ini, sakit ya ? Sudah ke dokter Pak ?

Pak Yusuf : Ya…. Pak Imam ! boro-boro buat ke dokter, untuk beli beras saja tidak punya.

Diboyong itu Pak Yusuf di bawa ke dokter ! Diobati ! biayanya dari kas masjid. “Disejahterakan ! Disholatkan ! Disholawatkan ! Disholukan ! Tadi katanya boro-boro buat ke dokter, untuk beli beras saja tidak punya ! Dibeliin beras, sekalian dengan lauk pauknya. Suruh Istrinya masak ! Kalau perlu dimasakkin, biar dia ngurus suaminya yang sakit. Suruh anak istrinya makan. Jangan-jangan dari pagi sampai saat itu, belum ada sabutir nasipun yang lewat kerongkongannya. Disejahterakan ! Disholatkan ! Disholawatkan ! Disholukan ! Makanya dalam satu hadits Rasul bersabda : Sholat berjamaah itu pahalanya 27 derajat. Nah ! yang begitu itu saudara-saudara yang 27 derajat itu ! Kalau ini bagaimana ? Kita bingung kita mencari pahala 27 derajat itu ! Akhirnya salah kaprah !

Kesimpulannya, “sholat berjamaah di masjid ke-Rt an tiap malam itu, ialah cara untuk memantau kesejahteraan umat secara harian dan dalam skoup umat paling kecil, Cuma satu Rt, paling banyak 40 kepala rumah tangga

Sekarang bagaimana “memantau kesejahteraan umat secara mingguan dan dalam skoup umat yang lebih banyak dari satu Rt, misalnya satu Rw

Satu Rw itu kan kira-kira 4 atau 6 Rt. Maka Allah mewajibkan sholat berjamaah tiap hari Jum’at sekali seminggu. Kalau orang Nasrani tiap hari Minggu, sekali seminngu juga ke Gereja. Yang biasa menjadi Khotib tiap hari Jum’at di suatu Masjid, sebelum sholat dan Khotbah, harus mengabsen dulu umatnya yang menjadi tanggung jawab dia untuk dipantau kesejahteraannya tiap hari Jum’at dikala umatnya itu sholat Jum’at di Masjidnya itu, karena tentu Khotib tersebut sudah punya daftar nama umat dari tiap Rt di Rw tersebut. Persis seperti seorang Pendeta suatu Gereja punya daftar umatnya yang menjadi tanggung jawab dia. Karenanya, seorang umat Gereja A, tidak akan diterima ikut acara kebaktian di Gereja B sebab dia bukan umat yang menjadi tanggung jawab Gereja B. Jadi kalau dilihat dari cara-cara ibadahnya umat Nasrani di Gereja, malah lebih benar cara-cara mereka dong ! Karena sebenarnya begitu pulalah seharusnya umat muslim melakukan sholat Jum’at tiap hari Jum’at di Masjid milik yang menjadi Khotib. Kenyataannya sekarang, seorang Khotib tidak punya tanggung jawab harus mensejahterakan umatnya. Kesimpulannya, seorang Khotib punya tugas memantau kesejahteraan umat yang menjadi tanggung jawabnya kepada Allha tiap hari Jum’at. Sehingga kalau terjadi seperti Pak Yusuf tadi, ( ada umatnya yang tidak bisa hadir pada kesempatan sholat Jum’at hari itu), sebenarnya harus ditengok pula oleh Khotib ke rumahnya minimal diikuti oleh pengurus masjid. Bahkan bisa jadi bukan Cuma seorang yang tidak bisa hadir pada kesempatan sholat Jum’at ini. Kalau terjadi demikian semua yang tidak bisa hadir harus dicek ke rumahnya, kalau keterangan yang diberikan oleh Ketua Rt nya belum jelas. Khotib harus tahu persis penyebab ketidakhadiran umat yang jadi tanggung jawabnya.

Eh…. Karena Khotib tersebut tidak tahu maksud diwajibkannya sholat Jum’at, begitu juga umatnya tidak mengerti maksud tujuannya, maka umat Islam sesenaknya saja sholat Jum’at di Masjid dimana saja, sholat di Masjid bukan milik Khotib atasannya dia. Kalau orang Kebayoran Baru sedang ada di Tanjung Priok, ikut saja sholat Jum’at di Masjid milik Khotib orang Tanjung Priok. Ngapain ? memangnya umat Kebayoran Baru punya hak dipantau kesejahteraaanya oleh Khotib Tanjung Priok? Tahu juga barangkali nggak, bahwa ada umat Kebayoran Baru ikut sholat Jum’at di Masjidnya.

Selain syarat wajib dan pemahaman para ulama dulu, kalau pada suatu hari Jum’at seorang muslim berada diluar domisilinya, dia kena wajib sholat Jum’at di tempat itu, “hanya apabila dia mukim dulu”, artinya malam hari nya itu dia menginap di tempat itu, dengan catatan, malam harinya itu “dia sudah lapor kepada Khotib setempat” begini : “ Pak Khotib, sebenarnya saya ini disini tamu dari Kebayoran Baru. Di Depok ini sedang berkunjung kepada saudara saya di Jalan Irianjaya no.15, tapi karena besok hari Jum’at, saya akan tentu akan ikut sholat Jum’at di sini, di Masjid Bapak. Agar kesejahteraan saya terpantau oleh Bapak, tolong besok saya diabsen juga oleh Bapak, nama saya Abdul.

Kalau besoknya diabsen oleh Pak Khotib Abdul tidak ada, harus ditengok oleh Pak Khotib ke Jalan Irian Jaya no.15.

Eh…, malah peratuarn seperti ini dijiplak oleh Bapak Suharto dengan menempel plakat di Pos Kamling : “1 x 24 jam, tamu wajib lapor kepada Ketua Rt/Rw setempat” . Cuma…., barangkali maksud Pak Harto membuat peraturan seperti itu beliau takut kalau tamu tersebut tergolong antek-antek NII dan sejenisnya yang melawan pemerintah NKRI. Kita tahu sendiri jaman pemerintahan Suharto sangat anti muslim yang bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia. Basmi sampaiu akar-akarnya tuh muslim golongan kanan yang akan mendirikan NII itu!!! Padahal perintah Allah dalam Al Quran kepada muslim itu “harus mendirikan Negara Allah, Negara Islam”, bunyi ayatnya “An Aqimudin”. Jadi kalau begitu, muslimnya muslim apa, orang yang tidak tahu perintah Allah dalam Al Quran itu ? Jika ingin tahu ayat berapa, surat apa, bunyi kalimat An aqimudin tersebut ? Silahkan cari sendiri.

Nanti kalau kehidupan masyarakat muslim ini sudah betul-betul Islami, pengumumannya tentu berbunyi begini : “ Khusus malam Jum’at saja, 1 x 24 jam, tamu wajib lapor kepada Khotib setempat !” bukan kepada Ketua Rt atau Rw, Bung ! kepada Khotib!!!.

Selanjutnya, kalau kita perhatikan kebiasaan di Indonesia sekarang ini, Masjid yang suka menyelenggarakan sholat Jum’at, pasti sudah mencantumkan jadwal nama-nama kyai yang akan bertindfak sebagai Khotib pada tiap hari Jum’at, bahkan biasanya untuk 1 tahun sudah tercantum. Hari Jum’at tanggal sekian bulan anu, kyai haji anu dari Tanah Abang. Hari Jum’at berikutnya, Habib anu dari Tanjung Priok. Berikutnya lagi Ustad anu dari Ponpes anu, Jatinegara. Berikutnya lagi Al Mukarom KH anu dari Pasar Rebo dst,dsr,dst.

Kalau administrasinya begini, apakah mungkin Khotib dari Tanah Abang ( misalnya ) diberi tugas harus memantau kesejahteraan umat di Radio Dalam yang bukan tanggung jawabnya dan nama-namapun tentu tidak akan tahu. Ngapain ? dia juga punya tanggung jawab memantau kesejahteraan umatnya di Tanah Abang tiap hari Jum’at . Begitu juga Khotib di Tanjung priok, urusin, pantau tuh kesejahteraan umatnya di sana tiap hari Jum’at, dan dialah yang harus bertanggung jawab nanti di akhirat. Buat apa ngurusin umat yang jadi tanggung jawab orang lain ?

Lain halnya kalau dalam acara tabligh, umat muslim di Lebak Bulus boleh saja mau mengundang Ulama dari dari Saudi Arabia.

Disinilah salah kaprahnya kita muslim Indonesia yang mempelajari Islam ini hanya kulitnya doing dan secara taklid buta, tidak pernah punya rasa penasaran ingin meneliti, kenapa begini kenapa begitu. Yang ramai diperdebatkan paling-paling Cuma soal khilafiah dari jaman tahi kotok dilebuan, dari jaman cacing dua seduit. Orang non muslim sudah terbang ke bulan kita masih merayap saja kayak ular bedul. Kalau ibu-ibu pengajian di Majelis Ta’lim, tidak aneh yang dikumandangkan melalui loud speaker bacaan rawi dan mengirim hadiah bacaan Alfatihah atau Surat Yasin kepada almarhum/almarhumah. Padahal kalau yang mengirim hadiah bacaan ayat itu bukan orang yang soleh, berdasar hadits Rasul, tak bakal sampai kepada ahli kubur sebagaimana hadits Rasul berikut : Ida matabnu Adam qoto’a amaluhu illa min salasin. 1. Sodaqotun jariah, 2. Aw ilmin yuntafaubih, 3. Aw waladun solihun yad ‘ulahu, artinya : Apabila mati anak Adam, maka putus amalannya kecuali yang 3 hal. 1. Sodakoh jariah, maksudnya, kalau semasa hidupnya dia pernah mengeluarkan sodaqoh jariah, apakah buat memperbaiki rumah janda tua, perbaikan jembatan, perbaikan jalan dan lain-lain, maka pahalanya akan terus mengalir, walaupun dia sudah mati. 2. Atau ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Misalnya seorang wanita pandai membuat kue serabi. Ilmu pengetahuannya tentang membuat kue serabi ini diajarkan kepada tetangganya, sehingga tetangganya itu jadi tukang kue serabi yang sukses dan laris, maka pahala dari ilmunya yang bermanfaat bagi tetangganya itu, akan terus mengalir kepadanya walaupun dia sudah mati. 3. Anaknya yang soleh yang selalu mendo’akannya. Maksudnya, kalau dia punya anak yang soleh terus mengirimkan bacaan ayat Al Quran maka pahala bacaan ayat tersebut yang dikirimkan oleh anak yang soleh itu, pasti disampaikan oleh Allah. Sebaliknya, kalau yang mengirim itu bukan anak yang soleh, tidak bakalan disampaikan oleh Allah.

Ibu-ibu pengajian di Majelis Ta’lim, dari tahun satu sampai abad internet ini, begitu saja tak ada kemajuannya, yaitu hanya membacakan rawi atau mengirim-ngirim hadiah bacaan ayat-ayat Al Quran kepada almarhum/almarhumah, yang belum tentu sampai ke sana kalau yang mengirim itu bukan orang yang soleh.

Kemudian, bangaimana cara : “memantau kesejahteraan umat dalam kurun waktu bulanan atau tengahan tahun dan mencakup skoup umat yang lebih banyak dari satu Rw, misalnya umat satu Kelurahan ?”.

Maka Allah mengadakan sholat atau sholawat atau sholu Idul Fitri dan Idul Adha, karena dalam sholat-sholat ini bisa-bias umat se-Kelurahan tumplek di suatu lapangan. Disinipun, Khotib yang biasa khotbah di tempat itu untuk umat se-Kleurahan tadi, tidak boleh dan tidak mungkin ganti-ganti dari daerah lain. Dan sebelum dilaksanakan sholat dan khotbah, tentu Khotib sudah dapat laporan dari tiap Ketua Rw tentang siapa-siapa saja yang tidak bisa hadir pada sholat Ied tersebut, lengkap dengan keterangan ketidakhadirannya.

Sekarang bagaimana “memantau kesejahteraan umat dalam kurun waktu tahunan dan mencakup skoup umat secara Internasional ?” Maka oleh Allah diadakan kewajiban “sholu ibadah haji” setahun sekali pada bulan Zulhijah.

Jadi “ibadah haji itu ialah sholat, atau sholawat atau sholu berjamaahnya umat muslim seantero dunia, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umat” itu tadi.

Camkan ini saudara-saudara ! Untuk apa ? supaya mantap niat dan tujuan anda menunaikan ibadah haji anda, hingga nanti anda yakin, mabrurkah atau tidak haji anda itu. Kalau tidak tahu tujuan dan kehendak Allah mewajibkan ibadah haji ini, nanti anda akan ragu, mabrur atau tidakkah haji anda itu. Atau niatnya memang Cuma agar dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Hajjah” saja ? Padahal Rasulullah pun yang menjadi suri tauladan bagi umatnya, dan mungkin sudah berkali-kali naik haji, tidak pernah dipanggil “Haji Muhammad”. Begitupun Abu Bakar Siddiq, Umar, Ustman dan Ali tak pernah dipanggil “Haji”.

Maka sekarang saya tegaskan sekali lagi, bahwa : “Ibadah haji itu ialah sholat, sholawat atau sholu berjamaahnya umat muslim dari seantero dunia, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umat”.

Makanya, menurut hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan dari Abdurrahman bin Ya’mur, bersabda Rasulullah : Anna Rasulullah saw, amaro munadiyan yunadi : “ALHAJU AROFAT”. Manja’a laelata jam’in qobla tuluil fajri, faqod adroka. Artinya : Rasulullah menyuruh seseorang memberitahukan, bahwa ibadah haji itu ialah “RAPAT” atau “KONFRENSI”.( Al haju arofat = ibadah haji itu rapat ). Barangsiapa yang datang pada malam tanggal 10 Zulhijah sebelum terbit fajar, maka dia telah syah berstatus sebagai anggota delegasi rapat atau konfrensi akbar umat muslim tersebut.

Kalau begitu, sekarang jelas sekali bagi kita, bahwa “SUNAH RASULNYA” atau “CONTOH RASULNYA” tentang ibadah haji itu ialah : “TENTANG PENYELENGGARAAN KONFERENSI UMAT ISLAM SELURUH DUNIA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN UMAT”.

Pada jaman Rasulullah konferensi akbar ini dipimpin langsung oleh Rasulullah. Dan setelah beliau wafat, dipimpin oleh para penerus ke-Rasulan beliau, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan para Tabi’in serta para penerus kemudiannya, dimana seharusnya pada detik inipun yaitu pada abad internet dan abad millennium tiga ini, seharusnya ada yang bertindak sebagai “PENERUS KERASULAN” Muhammad saw, seperti halnya juga umat nasrani punya pemimpin umatnya, yaitu Paus. Sedangkan kita umat Islam, siapa sekarang yang menjadi pemimpin umatnya, penerus Kerasulan Muhammad saw ? Sedangkan pada jaman Rasulullah, ditiap daerah beliau menempatkan Gubernur, sebagai pimpinan umat daerah tersebut. Seperti halnya juga Paus sekarang, menempatkan pimpinan umatnya ditiap daerah, dari yang setaraf Gubernur sampai ke Pendeta-pendeta di tiap Gereja. Maka sebenarnya umat muslimpun seharusnya seperti demikian.

Konferensi yang dipimpin langsung oleh Rasulullah terakhir sebelum beliau wafat, ialah pada waktu Haji Wada. Pada waktu itu pula beliau berkhotbah terakhir dan menyampaikan wahyu terakhir, yaitu ayat 3 Surat Al Maidah yang berbunyi : Al yauma akmaltu lakumdinakum, wa admamtu alaikum ni’mati wa roditu lakumul Islama dinan, artinya : Pada hari ini Aku sempurnakan hukumKu ( Undang-undangKu, peraturan-peraturanKu, morma-normaKu ) bagimu dan Aku cukupkan ni’matKu untukmu dan Aku ridhoi ( wa roditu ) Islam sebagai hokum ( undang-undang, peraturan, norma ) bagimu.

Menyimak ayat ini dan sabda Rasul di atas, serta dengan keyakinan bahwa ibadah kepada Allah yang paling benar itu hanya yang dilakukan persis sama dengan apa yang dicontohkan ( di-Sunahkan ) oleh Rasulullah saw, timbul pertanyaan :

“Apakah selama ini pel;aksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia itu, sudah persis mencontoh yang dilaksanakan oleh Rasulullah ?”, yakni : “MENYELENGGARAKAN KONFRENSI UMAT ISLAM SELURUH DUNIA, DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN UMAT ?” .

Kesimpulan bagi seorang muslim yang cerdas, seandainya pelaksanaan ibadah haji sekarang ini tidak persis mencontoh Rasulullah, tidak ayal lagi hukumnya “BID’AH”. Sedangkan sabda Rasul : Qullu bid’atun dolalah, artinya : Setiap bid’ah itu sesat, ditolak atau tidak diterima oleh Allah.

Konsekwensi berikutnya, kalau ibadah haji itu ialah : “KONFRENSI AKBARNYA UMAT ISLAM SEDUNIA”, maka tentu waktu wukuf di Padang Arofah itu harus ada yang bertindak sebagai pimpinan konferensi, seperti jaman Rasul dulu, Rasulullah sendiri yang memimpinnya.

Tapi karena umatnya berjuta-juta, bisa saja dijadikan 10 atau 15 grup pimpinan konferensi dimana tiap pimpinan konferensi membawahi 15 atau 20 negara. Misalkan jemaah haji Indonesia terkelompokkan dengan : muslim Amerika, RRc, Jepang, Jerman, Rusi, Arab Saudi, Philipina, Kanada dan lain-lain. Adapun yang menjadi pimpinan konferensi pada tahun yang bersangkutan, bisa saja dari Indonesia, Jepang, RRC dan lain-lain, karena tentu diadakan rapat darurat dulu, untuk menentukan dari Negara mana yang akan ditunjuk sebagai pemimpin konferensi tahun tersebut.

Nanti waktu wukuf di Padang Arofat, ( waktu penyelenggaraan konferensi ), pimpinan konferensi akan bertanya, misalkan kepada jemaah haji Indonesia : Saudara-saudara kaum muslimin/muslimat dari Indonesia ! sedang ada permasalahan apa di negar saudara makanya tahun ini mengirimkan sekian puluh atau ratus ribu jemaah dari sana ?

Ketua delegasi Indonesia : Begini bapak pimpinan ! di Negara kami hasil panen padi tahun ini nihil, karena habis dirusak hama wereng, sedangkan yang selamat dari hama wereng, habis dilanda banjir. Tambahan pula palawija pun habis dimakan belalang, sehingga tahun-tahun mendatang kami dimungkinkan menghadapi bahaya kelaparan. Lalu hampir di 15 propinsi sedang di landa epidemic demam berdarah dan flu burung, dan sudah ratusan orang warga Negara kami meninggal dunia. Kemudian di Irian Jaya ada GPK ( Gerombolan Pengacau Keamanan ) yang melawan pemerintah yang syah. Lalu di SituBondo terjadi bencana alam semburan lumpur Lapindo Brantas, sehingga pemerintah harus mengganti kerugian rakyat yang akan memakan dana trilyunan rupiah. Karena itu, dari Negara mana yang dapat : “mensejahterakan, mensholatkan, mensholawatkan, mensholukan” kami dalam menanggulangi bencana-bencana ini ?!”.

Ketua delegasi muslim Amerika angkat tangan : Kami muslim Amerika sanggup menolong 1 juta ton beras. Muslim RRC mau mengirim 100 ribu bala tentara. Muslim Jerman akan mengirim bermacam-macam obat-obatan sekaligus dengan dokter-dokternya. Muslim Rusia siap mengirim bantuan 500 ribu senjata api berbagai jenis dan kemampuan. Muslim Jepang akan memberi bantuan berupa dana ( financial ) 1 juta us dollar untuk korban lumpur Lapindo Brantas ( bukan pinjaman, tapi memberi ! ).

Tuh kan saudara-saudara, melalui “sholat ibadah haji, sholawat ibadah haji, sholu ibadah haji” ini, kita “disejahterakan, disholatkan, disholawatkan, disholukan” oleh sesama saudara kita muslim dari Negara lain. Kalau waktu Indonesia menderita krismon pelaksanaan ibadah haji sudah seperti yang saya uraikan di sini ini, sebenarnya tidak perlu kita mengemis-ngemis pinjam ke IMF atau Bank Dunia dengan bunga selangit. Dikasih ! saudara ! oleh sesama saudara kita muslim Negara lain, bukan lagi dipinjami ! karena keuangan muslim itu bertrilyun-trilyun US Dollar hasil zakat, infak dan sodaqoh yang disimpan di Baitul Mal masing-masing Negara. Kalau manajemen ZIS ( Zakat, infak Sodaqoh ) ini benar-benar di kelola secara professional sesuai menurut ketentuan Allah, maka umat muslim itu adalah umat yang terkaya di muka bumi ini ! Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini, tidak akan mengenal umat yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Caranya bagaimana ? Fakir miskin yang menerima zakat itu, dikala menerima uang zakat, bukan 100 atau 200 ribu rupiah, tapi sekali diberikan 3 sampai 5 juta rupiah sebagai modal usaha yang harus dikembalikan dengan cara mengangsur dari hasil usahanya nanti. Maka dalam jangka waktu 2 samapai 3 tahun, insya allah dia bukan lagi sebagai fakir miskin yang berhak menerima zakat, tapi menjadi yang berhak mengeluarkan zakat, mudah-mudahan ! Begitu pula yang namanya zakat fitrah tanggal 1 Syawal, berikanlah kepada yang berhak menerimanya berupa modal usaha seperti diatas. Maka setelah 3 sampai 4 tahun kemudian, dia akan menjadi orang yang sudah mampu memberi zakat fitrah kepada orang lain. Cara-cara seperti ini malah sudah lebih dipraktekkan oleh orang Nasrani, dengan memberi modal untuk usaha tambal ban misalnya dan lain-lain.

Mengenai ZIS, sekarang ini pegawai negri juga gajinya dipotong ZIS, tapi dimana duitnya yah, saya sebagai pegawai negripun tidak tahu, barangkali saja ada sisa yang dibagikan kepada fakir miskin. Awas ya : Fakir miskin! Bukan Kafir miskin !

Nanti, setibanya jemaah haji kita dari tanah suci, ketua delegasi itu lapor kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lapooooor …! Pak!!! Kita tak perlu takut bahaya kelaparan ! tak usah takut diganyang oleh GPK dari Irian Jaya ! Tak perlu khawatir akan mengubur mayat rakyat setiap hari akibat demam berdarah dan flu burung ! karena….. ! Begitu….! Begitu….! Begitu….!

Setelah saya jelaskan kepada anda tentang ibadah haji, mungkin ada diantara anda yang bertanya didalam hati begini : “APA YANG BEGINIKAH HAJI YANG BERHAK MENYANDANG GELAR HAJI MABRUR” itu ?

Kalau saya sendiri, benar demikian. Karena saya pernah diceramahi oleh guru ngaji saya sekitar tahun 90-an begini ; pada suatu musim haji di jaman Rasulullah, jemaah haji yang sudah mendaftar dari seluruh Madinah itu ada 6000 orang. Seorang diantaranya ialah tukang sol sepatu, yang menabung dari hasil usahanya, sampai tahun itu sudah cukup untuk biayanya naik haji. Tapi dikala dia mau berangkat, tetangganya mendapat musibah yang membutuhkan biaya besar, sedangkan dia orang miskin. Si Tukang sol sepatu itu tak sampai hati melihat tetangganya sesama muslim kena musibah. Maka dipinjamkannya uang untuk biaya naik haji itu sambil berucap dalam hatinya, Ah…., kapan-kapan lagi saja bikin haji sih, masa sih Allah tidak memberi lagi aku rizki kelak ?

Ba’da musim haji para sahabat bertanya pada Rasulullah : Ya Rasul dari 6000 jamaah haji tahun ini, berapa orang yang hajinya mabrur ? Jawab Rasul, hanya seorang, Tukang sol sepatu ! tapi sebenarnya berangkatnya saja dia itu tidak jadi !

Dari riwayat ini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa yang menentukan mabrur atau tidaknya seseorang yang menunaikan ibadah haji, bukan semata-mata karena terlaksananya keberangkatan dia ke tanah suci, tapi : “KENA ATAU TIDAKNYA NIAT DIA KEPADA SASARAN YANG DIKEHENDAKI ALLAH, YAITU : UNTUK MENSEJAHTERAKAN SESAMA SAUDARA KITA MUSLIMIN/MUSLIMAT”.

Disini, si Tukang sol sepatu, berangkatnya saja tidak jadi, “TAPI NIATNYA” kena tepat kepada sasaran yang dikehendaki Allah, yaitu untuk mensejahterakan sesame saudaranya muslim, maka dialah yang beroleh gelar “HAJI MABRUR”.

Saya sangat yakin, bahwa muslimin/muslimat di jaman Rasulullah tiu adalah muslimin/muslimat sejati. Tapi walaupun begitu, alangkah sulitnya untuk memperoleh haji mabrur itu. Lebih lagi kalau tidak memiliki pengetahuan keagamaan yang mantap. Kalau begitu, apalagi kita sekarang yang muslimnya saja barangkali muslim amburadul. Makanya, kalau kita merasa, bahwa pemahaman kita tentang Din Islam ini Cuma sekulit bawangpun tidak, baru hapal satu ayat : Lainsakartum la ajidanakum, wa la inkafartum inna ajabi la sadid, tak usahlah menepuk dada, aku yang paling taqwa, hajiku pasti mabrur, kata pujangga pun : Iman tanpa ilmu, buta. Ilmu tanpa iman, lumpuh.

Sekarang kita telaah tujuan akhir dari ibadah mengeluarkan zakat/infak. Apalagi ini saudara-saudara, jelas-jelas mengeluarkan duit untuk mensejahterakan fakir miskin, maka ibadah ini pun status derajatnya sama dengan ibadah sholat tadi. Yaitu untuk mensejahterakan umat, Cuma namanya saja yang berbeda.

Kalau ibadah puasa bagaimana ? Ya sama juuuuuga…! Tujuan akhirnya untuk mensejahterkan umat, karena pada tanggal 1 Syawal paling lambat kita diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuk mensejahterakan fakir miskin. Dus ibadah puasa ini pun status derajatnya sama dengan ibadah sholat, Cuma diberi nama lain, karena memang dalam pelaksanaannya pun berbeda. Kalau dalam fakta perealisasiannya berbeda, masa diberi nama sama, walaupun punya tujuan yang sama. Seperti contohnya “kendaraan”, tujuannya untuk alat transportasi, tapi nama alatnya kan berbeda. Ada sepeda, ada motor, ada mobil, kereta api, kapal laut, pesawat terbang.

Saking urgentnya zakat fitrah, sampai-sampai Rasulullah bersabda : Seorang muslim yang menunaikan ibadah puasa tidak batal sebulan penuh, tapi tidak ditutup dengan mengeluarkan zakat fitrah, maka puasanya tidak diterima ( ditolak oleh Allah )

Sekarang setelah kita analisa bersama, nyata bahwa tujuan akhir dari : “ibadah sholat ritual 5 kali sehari semalam, ibadah mengeluarkan zakat/infak, ibadah puasa dan ibadah haji : TUJUAN AKHIRNYA SEMUANYA UNTUK MENSEJAHTERAKAN UMAT “. Maka ke 4 ibadah tersebut hakekatnya bisa disebut “IBADAH SHOLAT”.

Maka pantas dan jangan heran kalau Rasulullah berani dengan lantang dan tegas berhadits : “NANTI PADA HARI QIAMAT DI PADANG MAHSAR, YANG PALING DULU DIHISAB OLEH ALLAH IALAH IBADAH SHOLAT. KALAU IBADAH SHOLATNYA BERES, IBADAH YANG LAINNYA TIDAK MENJADI MASALAH”.

Jelas pula kepada kita sekarang, yang disebut : “Ibadah-ibadah yang lainnya” dalam hadits Rasul ini ialah ibadah : “ibadah sholat ritual 5 kali sehari semalam, ibadah mengeluarkan zakat/infak, ibadah puasa dan ibadah haji”.

Karena itu didepan saya katakan, kalau sampai kita terkecoh mengartikan kata “sholat” dalam hadits Rasul ini, Cuma kita artikan sholat ritual yang 5 kali sehari semalam, ya Allah ya Kariim ! Mampus ! Ke laut kita ! nanti kata Allah, dasar kamu otaku dang, otak harusnya disimpan di batok kepala, ini disimpan di lutut. Kemana saja kamu selama ini, hah ? Nih, kan mengaji Al Quran itu ada 4 tahap. 1. “tadarus”, Cuma sampai dibaca. 2.”tadabur”, setelah kau baca, pahami sampai kau mengerti ke dalam bahasamu, apa dan bagaimana maksud dari ayat tersebut. 3. “tafakur”, pikirkan apakah ayat itu muhkamat, mengenai hukumKu atau mutasabihat, berupa perumpaan atau amsal yang harus kau teliti dan telaah/kaji apa maksud sebenarnya. 4. “tabayun”, artinya harus kau cari “bayinahnya” atau bukti nyatanya kalau ayat tersebut menyebutkan perihal yang nyata. Contohnya ada kata “samawati”, langit. Oh, itu langit diatas. ”Ardi”, bumi, ya ini bumi gua pijak. “an Am”, binatang ternak. Ya juga itu sapi, kerbau, kambing, onta, biri-biri, “kamu”!. Dengan cara begini kita yakin benar, bahwa Allah nihil dari nilai dusta seperti kita manusia.

Kembali kepada “mabrurnya” haji si Tukang sol sepatu, seolah-olah Allah memberitahukan kita, bahwa tujuan akhir yang dikehendaki dengan mewajibkan ibadah haji ini, ialah harus dengan niat mau mewujudkan kesejahteraan umat muslim ( saudara seakidah ). Buktinya, walaupun si Tukang sol sepatu tidak jadi berangkat, karena niatnya memberi kesejahteraan kepada sesame saudaranya muslim, maka dialah yang beroleh gelar : “HAJI MABRUR”

Sebaliknya, kalau yang menunaikan ibadah haji itu niatnya supaya dipandang sebagai orang berada, ke-Islamannya sudah persegi keilmuan agamanya, dianggap keimanannya sudah mantap, itu sih bukan haji mabrur, tapi barangkali “haji mardud”.

Untuk lebih memantapkan lagi keyakinan kita, bahwa arti dari kata : “sholat, sholawat atau “sholu” adalah “sejahtera”, kita sering dengar di awal-awal orang berpidato : tidak lupa kita sampaikan “salam” dan “sholawat” ( = salam dan sejahtera ) kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Selain itu sayapun teringat akan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hiban, Abu Ya’la dan Tabrani dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, bersabda Rasulullah : Niscaya akan datang kepada kamu Penguasa ( Pimpinan Negara/Raja/Presiden ) yang mengumpulkan orang-orang jahat dan “menunda sholat sampai lewat waktu”. Jangan sekali-kali kamu mau menjadi : “penasihat ahlinya, polisinya, penarik pajaknya dan bendaharanya”.

Apa maksud menunda sholat sampai lewat waktu disini ?

Sekarang mari kit kembali dulu kepada arti dari kata sholat dalam Surat Al Ankabut ( nomor 29 ) ayat 45 : Inna sholata tanha anil fahsa’i wal munkar, artinya : Sesungguhnya, yang dinamakan sholat itu ialah perilaku manusia sehari-hari dalam rangka mencegah berbuat keji dan munkar. Saya tegaskan lagi : Sesugguhnya, sholat itu : “MENCEGAH PERBUATAN KEJI DAN MUNKAR”. Terjemahan ini sudah benar kalau ditambah dengan kata “ialah” dibelakang kata itu, sehingga menjadi sesungguhnya, sholat itu “ialah” : mencegah perbuatan keji dan munkar”

Kalimat ini mempunyai arti, kalau seseorang belum bisa mencegah ( meninggalkan ) perbuatan keji dan munkar, “walaupun” sholat ritual yang 5 kali sehari semalam tidak pernah ditinggal, ini berarti ia “belum” mendirikan sholat sedikitpun.

Sebaliknya, kalau tidak ada kata “ialah”, akan rawan diselipi kata “bisa”, hingga terjemahannya menjadi : sesungguhnya, sholat itu “bisa” mencegah perbuatan keji dan munkar. Terjemahan seperti ini, mendorong kea rah pengertian sebagai berikut : Kalau anda rajin melaksanakan sholat ritual yang 5 kali sehari semalam…….., “BISA” mencegah perbuatan keji dan munkar.

Tapi, apakah dijamin 100%, kalau seseorang rajin sholat ritual, tak akan berbuat keji dan munkar ? Tidak !!! Apa buktinya ? Mentri agama saja yang 99% kita pastikan rajin sholat ritual, kok bisa melakukan korupsi ? Artinya berbuat keji dan munkar juga ? Ini salah satu penyebabnya barangkali karena terjemahannya memakai kata “bisa”. Dan karena terjemahannya memakai kata “bisa” juga barangkali, saya sendiri pernah menyaksikan pengajian waktu subuh di SCTV, pengajian ibu-ibu dengan Dr. H. Aswin Rose, seorang ibu bertanya begini : Kalau begitu, “sholat yang bagaimanakah” yang bisa mencegah perbuatan keji dan munkar ?

Keruan saja, Pak Dokter sendiripun tampak bingung memberikan jawabannya, karena justru “aktivitas manusia meninggalkan perbuatan keji dan munkar itulah yang disebut sholat itu” .

Kenapa si Ibu tadi bertanya seperti itu ? Mungkin terjemahannya memakai kata bisa, tapi dalam kenyataannya si Ibu melihat dengan mata kepala sendiri yang sholat ritualnya rajin, tapi berbuat keji dan munkar juga doyan !

Karena itu saya tegaskan sekali lagi terjemahan yang benar dari Inna sholata tanha anil fahsa’i wal munkar ialah : “sesungguhnya, yang dinamakan sholat itu ialah, perilaku manusia tiap hari seumur hidupnya, dalam rangka meninggalkan perbuatan keji dan munkar”.

Arti secara singkat ialah : sholat artinya “tidak melakukan perbuatan keji dan munkar” alias : “berbuat yang baik-baik saja”.

Kalau begitu : menunda sholat ialah : “menunda berbuat yang baik-baik” alias : “melakukan perbuatan yang jahat-jahat saja”.

Hal begini umumya dilakukan oleh orang-orang yang jalan pikirannya begini : sholat itu kan urusan orang-orang yang sudah tua, yang sudah bau tanah makam. Sekarang aku masih muda, karena itu, nanti sajalah ngurusin sholat sih ! “Tunda saja dulu ngurusin sholat sih !” . Nah, yang begitulah hakekatnya yang disebut : “menunda sholat”.

Kalau urusan sholat dihubung-hubungkan dengan kematian seseorang, memangnya sudah tahu kapan dia mati ? atau yang mesti mati duluan itu hanya orang yang sudah tua Bangka saja ?.

Arti sholat yang lainnya yaitu apa yang telah kita telaah dengan panjang lebar tadi, yaitu : “mewujudkan kesejahteraan umat”.

Hal seperti ini tentu erat hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan oleh pimpinan umat atau oleh kepala Negara suatu pemerintahan. Dengan kata lain, kalau ada kepala Negara yang : “menunda-nunda untuk mewujudkan kesejahteraan umatnya ( rakyatnya ), itulah dia menunda sholat”.

Yang dia lakukan ialah “mensejahterakan” keluarganya dulu, menumpuk-numpuk harta sampai cukup untuk 7 turunan dengan cara mengkorup uang rakyat.

Jika di abad millennium 3 ini, atau abad internet ini ada kepala Negara yang berbuat seperti ini, maka sungguh jitu dan tepat apa yang telah disinyalir oleh Rasulullah sekitar 15 abad yang lalu melalui haditsnya diatas.

Walaupun saya sudah merasa gamblang menjelaskan kepada saudara-saudara saya seakidah tentang : “Apa sebenarnya sholat” itu, tapi rasanya masih ada hal yang terasa masih mengganjal di hati ini, yaitu hal-hal yang dilakukan oleh saudara-saudara saya seiman ( muslim ), tapi pemahamannya tentang ibadah kepada Allah itu hanya dia anggap “cuma sholat ritual 5 kali sehari semalam”. Karena pemahamannya baru sampai disitu, dia merasa sudah “jihad di jalan Allah” bila :

1.Walaupun mengganggu kenyamanan orang lain ( non muslim ), jam 4 pagi masih sekitar 45 menit lagi tiba waktu sholat subuh, sudah teriak-teriak dengan loud speaker dari Masjid membangunkan orang yang sedang memberikan hak untuk istirahat kepada tubuhnya dari kelelahan kerjanya di siang hari.

Saya sanrankan saudara-saudara, janganlah anda merasa sebagai pahlawan/mujahid dengan tindakan anda demikian, karena ada juga umat Allah yang non muslim yang sudah pasti merasa tidak akan senang. Akibatnya, bukan menarik hasrat mereka ingin jadi muslim, tapi malah membikin mereka menjadi antipati, membenci Islam.

2.Hanya muslim yang ibadahnya dengan rasa “riya” dan “ tak pernah membaca Al Quran saja yang suka membaca wiridan ba’da sholat dikeraskan memakai loud speaker. Kenapa saya katakan demikian, karena kalau suka membaca Quran, tentu dia tahu teguran Allah di Surat Al A’raf ayat 55 atau Surat Al Anfal ayat 205, yang berbunyi : Ud’u robbakum tadoruaw wahu fiyatan, innahu layuhibul mu’tadin, artinya ; mintalah ( berdo’alah kepada Tuhanmu dengan “berendah diri dan suara yang lemah lembut ( suara tersembunyi )”, bukan teriak-teriak pakai loud speaker, Allah itu tidak tuli. Sesungguhnya Allah tidak mengasihi orang-orang yang melampaui batas ( 7/55 ). Silahkan baca sendiri ayat 205 Surat Al Anfal (8/205).

Ibadah dengan riya itu artinya : supaya “kedengaran” ( terlihat ) oleh orang lain, bahwa dia ahli ibadah kepada Allah, dipandang orang yang taqwa. Di surat apa ayat apakah definisi orang yang taqwa menurut Allah ? Apa saja 5 faktor yang menjadi syarat orang taqwa tersebut ? Silahkan cari dalam Al Quran.

Kalau tidak tahu definisi orang taqwa beserta 5 faktor yang menjadi syaratnya, itu artinya tidak pernah baca Al Quran, padahal Al Quran itu adalah GBHM = Garis-garis Besar Haluan Hidup Muslim.

3.Perbedaan antara muslim awam dengan muslim yang sudah mantap pemahamannya sangat jelas. Muslim yang awam, mengangagp ibadah kepada Allah yang paling puncak itu hanyalah : “sholat ritual 5 kali sehari semalam”. Sampai-sampai dia membuat definisi sendiri : “kalau ada orang yang mengaku muslim, tapi jarang atau bahkan tak pernah melakukan sholat ritual yang 5 kali sehari semalam”, itu sih sama saja bohong !. Dia tidak tahu bahwa target hidup manusia yang harus dicapai/diraih dikala nanti dia dipanggil oleh Allah SWT, difirmankannya dalam Surat Ali Imran ayat 102, yang berbunyi : Ya ayuhal ladina amanut taqullaha haqqo tukotih, wa la tamutunna illa wa antum muslimun, artinya : hai orang-orang yang telah beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan taqwa yang benar, dan dikala kamu mati harus dalam kondisi sebagai muslim. Di sini tampak jelas, kata Allah : Dikala kamu mati, harus dalam kondisi sebagai muslim, tidak dikatakan : Dikala kamu mati harus sedang taat melakukan sholat. Jadi di sini jelas, bahwa yang menjadi pokok tugas kita setelah lahir ke dunia ini, harus menjadikan diri kita “SEBAGAI MUSLIM

Sebagai ciri yang menandakan muslim awam, diantaranya lagi : dewasa ini kan animo masyarakat untuk membangun Masjid itu sangat tinggi, sehingga di suatu wilayah yang luasnya kira-kira 1 kilometer persegi saja, bisa ditemukan 6 sampai 8 buah Masjid yang besarnya sedang, ( tidak menyelenggarakan sholat Jum’at ), hingga jaraknya satu sama lain cukup rapat.

Nah, di waktu tiba saatnya adzan, di semua Masjid ini ada Muadzin yang mengumandangkan adzan memakai loud speaker saling keras, sehingga terjadilah sepertinyang sedang kontes ( lomba ) adzan, Ya Allah, kok norak banget ! Padahal untuk wilayah seluas 1 kilometer persegi itu, 1 Masjid saja yang mengumandangkan adzan dengan loud speaker sudah cukup ! Tentukan deh secara musyawarah, Masjid mana yang Muadzinnya suaranya terbagus.

Kemudian kalau kita telaah, fungsi adzan itu kan sama persis dengan aba-aba atau perintah dari seorang komandan pasukan untuk bertindak. Apakah tidak lucu, perintah dari seorang komandan pada prajurit untuk bertempur ( istilahnya ), tapi memakai lagu yang melas-melis. Saya jadi teringat dagelan Kasino Warkop, yang menggambarkan perintah komandan yang kelahiran Solo, yang kalau bicaranya lemah gemulai untuk menembak musuh : Siap-siaaaap…...yo maaaas…., tak tembak…… Makanya saya pikir ada benarnya juga tuh, adzan yang dikumandangkan di Pesantren Al Zaytun, Indramayu, tak pernah dilaguin seperti yang umum kita dengar dari dulu sampai saat ini. Setiap kalimat diucapkan dengan tegas, lurus dan lantang, persis seperti perintah komandan kepada prajurit itu :

Allahu Akbar ! ( 2 x ). Allahu Akbar ! ( 2 X )

Ashadu an laa ilaha illallah ! ( 2 x )

Ashadu anna Muhammadar Rosulullah ! ( 2 x ). Dat

Inilah saja barangkali apa yang dapat saya sampaikan kepada saudara-saudara seaqidah, dalam rangka : Watawa saobil haq, watawa saobis sobri, yaitu saling wasiat taqwa, dengan harapan ada manfaatnya. Amin !.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun