Mohon tunggu...
Nanung Widiyanto
Nanung Widiyanto Mohon Tunggu... -

penggiat olahraga alam bebas, penyuka traveling ke tempat-tempat baru untuk belajar hal baru, budaya baru dari orang baru. saat ini tercatat sebagai mahasiswa s2 antropologi universitas gajah mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak-anak Gunung Api

24 Oktober 2011   03:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:35 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Merapi

Saya dibesarkan di sebuah tempat tak jauh dari Merapi, tepatnya di sisi sebelah barat di kota kecil Muntilan, Kabupaten Magelang. Membuka jendela atau pintu, seketika saya akan memandang pucuk gunung itu. Sejak kecil, kami semua tahu bahwa air yang mengalir lewat sungai di dusun kami, berasal dari hutan-hutan di gunung itu. " Berkah Merapi", kata kakek saya saat itu. Pendeknya, gunung api itu bukan hal yang asing bagi kehidupan kami semua, berikut semua mitos-mitos di dalamnya. Sejak saya kecil, Merapi sudah meletus beberapa kali, 1986, 1992, 1994, 1998, 2001, 2006 dan 2010.  Awalnya, saya belum terlalu paham dengan tentang letusan gunung, kecuali semuanya dimulai saat letusan tahun 1994,  waktu saya masih SMA,  tiba-tiba bumi diguyur oleh hujan abu tipis, putih. Merapi meletus. Awalnya, kami semua malah bersorak gembira, sekolah dipulangkan. Tapi semua berubah, setelah kami berjalan pulang, bertemu  para pengungsi dengan wajah penuh kesedihan, sebagian menangis. Ternyata, hidup di dekat gunung api juga harus diwarnai dengan kegetiran. Lalu orang-orang mulai berbicara tentang letusan, tentang "arak-arak ladu ", bahasa lokal banjir lahar dingin yang katanya tahun 1930 hampir menghancurkan Muntilan, tentang saudara-saudara di Turgo, Sleman yang tewas dihantam "wedus gembel". Ujung dari banyak cerita itu adalah, Kyai Petruk, Nyai Gadhung Melati dan Eyang Sapujagat, para penguasa Merapi sedang punya "gawe" di Laut Selatan dan Kraton Yogyakarta, dan bala tentaranya lewat bersamaan dengan "wedus gembel", juga "arak-arak". Waktu itu, sempat saya mendengar, salah satu tanda "sing mbaurekso" mau lewat adalah saat banyak kijang atau celeng turun gunung, bahkan sampai Muntilan, 25 kilometer dari kawah Merapi.  Merapi memberikan banyak hal, termasuk penanda di pagi hari, kalau pucuknya sudah kelihatan, saya harus segera bangun, memberi makan ikan dan bersiap pergi ke sekolah. Lain lagi tahun 2006, saat itu, Merapi memberikan "hiburan" yang membahayakan, guguran lava pijar, saat malam terlihat seperti pesta kembang api, dan kami semua menikmati saat melihatnya.

Mendaki Gunung

SejakSMApada tahun 1993, saya memulai "karir"pergi ke gunung, dan secara tidak sadar itu semua mengarahkan saya untuk mengenal gunung api, juga kebudayaan yang berkembang bersamanya. Gunung pertama adalah Merapi dan Merbabu, dengan peralatan seadanya, ala anak kampung. Tak ada dome, trangia, raincoat atau carrier namun tikar, jaket biasa bahkan radio tape kecil dengan batu baterai. Hal pertama yang saya dan teman-teman lihat adalah kawah, atau bekas kawah karena disinilah episentrum dari semua mitos, prahara atau dugaan-dugaan tentang letusan ala orang kampung itu dilahirkan.  Tapi jujur, tak banyak "pelajaran" yang saya tangkap tentang gunung api saat itu, selain rasa lelah, dingin dan pegal-pegal.  Setidaknya, di rumah maupun di sekolah, ada kebanggaan yang saya miliki ; saya sudah pegi ke puncak Merapi, sambil sedikit "sok tau" saat menjawab tetangga bertanya ; "ada apa di puncak Merapi sana mas ? Ada batu, belerang dan asap , jawab saya asal-asalan.

Selepas SMA, saya kuliah di Universitas Soedirman, Purwokerto dan awalnya tanpa tahu tujuannya, saya memutuskan bergabung dalam Mapala di Kampus Fisipol. Sejak itu, "karier" naik gunung berkembang pesat, dinulai dari mendaki Gunung Slamet yang tertinggi di Jawa Tengah dari berbagai jalur berbeda kemudian gunung-gung lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Rinjani di Lombok pada tahun 2000. Tanpa saya sadari, selain ambisi seorang anak muda "menaklukan" puncak gunung, saya mulai menyenangi mengenal kehidupan masyarakat desa di kaki gunung, bahkan bersahabat dengan mereka. Mungkin karena saya juga anak dusun, dibesarkan di kaki gunung, menjadi mudah untuk bertukar cerita dengan penduduk, termasuk "menggombal" soal Merapi yang saya tahu. Seringkali, setiap akhir pekan saya pergi ke Kalipagu, dusun kecil di lereng selatan Gunung Slamet, tak jauh dari Lokawisata Baturraden, menginap di sana. Meski puncak gunung, saat itu masih jadi prioritas, mendengarkan cerita orang tentang berbagai mitos di gunung, tentang "pulung" harimau, tentang batu-batu keramat di hutan juga tentang perseteruan penduduk dengan "penguasa" hutan atas nama negara : Perhutani. Berawal dari Kalipagu, setiap naik gunung ke manapun, mendengar penduduk setempat bercerita tentang hal-hal seperti di atas, seakan menjadi "menu wajib" dan membuat konsep saya tentang gunung bukan hanya sekedar "puncak".

Selepas kuliah, saya bekerja berpindah dan masih pergi ke gunung. Tahun 2002 saya sempat pergi ke area puncak Papandayan, hanya beberapa hari setelah meletus. Tak semua harus ke puncak, berkunjung di kaki gunung bagi saya sudah seperti pergi ke gunung itu sendiri. Gunung Salak, Guntur, Gunung Lamongan, Raung, Seulawah, Agung saya hanya sampai di "pinggirnya", meskipun masih menyempatkan diri ke puncak gunung Gede Pangrango, Sibayak, Sinabung serta pendakian gagal ke Leuser. Pun demikian saat tahun 2005 saya mengunjungi Danau Toba, bahkan saya waktu itu belum tahu kalau itu adalah "super volcano".  Selanjutnya saat berada di Papua sejak tahun 2006-2007, ketertarikan tentang gunung api memudar, karena memang tak ada di sana, digantikan dengan kegemaran baru pergi ke laut di Raja Ampat, Teluk Cendrawasih atau Biak , juga hutan-hutan menyeramkan di pedalaman. Namun kegemaran untuk "bercerita" dengan banyak orang di sana tetap berlanjut, termasuk saat berkesempatan mengunjungi Kalapattar di SoluKhumbu, Himalaya tahun 2007. Kehidupan Sherpa yang tergilas oleh bisnis besar pendakian Everest, perubahan identitas warga setempat sampai bercerita panjang lebar dengan pujang Maois yang kala itu sedang bermimpi merubuhkan monarkhi di Nepal yang sudah berumur ratusan tahun.Tak ada gunung api di Papua dan Himalaya, jadi tak ada cerita tentang letusan saat itu.

Gunung Api Sebagai Pusat Kebudayaan

Pada tahun 2008, tak beberapa lama setelah pulang dari mengunjungi puncak Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh di Jambi, saya memutuskan untuk "kembali" ke bangku kuliah, kali ini antropologi budaya. Di Jambi sendiri saya sempat menginap 4 malam di perumahan penduduk di Kersik Tuo setelah turun gunung, mendengar cerita tentang orang pendek berkaki terbalik, harimau sumatra serta sejarah migrasi paksa orang-orang Jawa ke Kayu Aro pada jaman VOC. Pelan-pelan, puncak gunung tak lagi sentrum, pusat. Bertemu dengan wacana antropologi budaya di kampus UGM, orientasi saya mulai bergeser pada mempelajari banyak hal di sekitar gunung, berguru anak-anak gunung api. Setelah itu, saya sempat mengunjungi kaki  Gunung Awu di Kepulauan Sangihe, Karangetang di Kepulauan Siau, Lokon di Minahasa, Klabat dan yang terakhir di tahun 2011 ; Tambora, kembali Rinjani dan "pulang" ke Merapi. Salah satunya memang untuk keperluan akademis, kebetulan thesis saya berkisar soal bagaimana adaptasi masyarakat sekitar gunung api yang rentan terhadap letusan.

Mitos , Theodise dan Ekologi Budaya

Hal penting  yang saya dapat selama aktifitas berada dan bercerita dengan penduduk yang hidup di kaki gunung berapi adalah hampir semuanya memiliki "mitos" tertentu terkait dengan gunung tersebut. Pertama, biasanya di puncak gunung itulah diyakini "bersemayam" para penguasa alam ghaib, atau setidaknya figur roh gaib yang dihormati. Kyai Petruk di Merapi, Kyai Krincing Wesi di Lawu, Ade Tinggi di Gunung Awu, Dewi Anjani di Rinjani, Sangaji di Tambora serta banyak figur lain. Ini ternyata selaras dengan bagaiamana suku asli Aytas di lereng Pinatubo, Philipina meyakini bahwa di puncak gunung tersebut bersemayam Apo Nayamari, penguasa alam ghaib sekaligus tempat kembali bila seorang Ayta meninggal. Kedua di sebagian tempat  keyakinan bahwa setiap letusan, atau bencana diakibatkan oleh kesalahan penduduk di sekitar gunung itu sendiri. Contoh riil dari hal ini adalah keyakinan penduduk di Siau yang meyakini kalau ada seseorang yang melakukan perzinahan, maka Karangetang bisa meletus. Demikian pula di daerah Kendahe, Kepulauan Sangihe yang meyakini bahwa letusan besar tahun 1711 yang memusnahkan Kerajaan Kendahe adalah akibat Raja Samensialang melakukan incest dengan putrinya sendiri, Doroweli dan dihukum dengan berbagai bentuk bencana alam, salah staunya letusan gunung api. Ketiga, tata ruang dan kebudayaan pertanian yang adaptif terhadap letusan. Seperti halnya masyarakat Indian di Gunung Arenal, Costarica, budaya umbi-umbian menjadi "primadona" di beberapa masyarakat tradisional di lereng gunung api seperti Gunung Awu, Pinatubo dan Lokon. Hal ini ternyata bermanfaat saat terjadi letusan, tanaman bawah permukaan masih bisa dikonsumsi sebagai cadangan pangan saat tanaman "permukaan" mati terkena hujan abu. Tata ruang pemukiman penduduk di Kendahe, Sangihe juga berpantang menghadap gunung, dan memberi akses pada pelabuhan, tempat terdekat untuk melarikan diri melalui laut saat Gunung Awu tiba-tiba meletus.

Susanna Hoffman (1999) menyebut gunung api bagi penduduk sekitar bak "mother and monster", pemberi berkah sekaligus penghukum. Berbeda dengan masyarakat modern, penduduk tradisional tidak menggunakan pendekatan ilmiah dalam beradaptasi dengan gunung, melainkan secara kultural dengan mengembangkannya dalam bentuk mitos yang beragam. Menurut Julian Steward bentuk adaptasi penduduk tradisional dengan lingkungan adalah melalui perantara nilai-nilai, pengetahuan dan kepercayaan yang membentuk sistem budaya. Steward memberi istilah "ekologi budaya" untuk proses adaptasi secara kultural ini. Sebagian kalangan menyebut ini sebagai "kearifan lokal" Salah satu bentuk dari ekologi budaya ini dalam ruang teologi di sebut sebagai theodise, yang dipelopori oleh William Leibniz (1710) dengan  konsep dasarnya  ;  attempt to reconcile Gods love, justice and omnipotence in one hand and human suffering in other hand". Melalui theodise ini, masyarakat akan cenderung akan mengevaluasi diri, karena merekalah yang salah sehingga Tuhan menghukum dengan bencana alam. Dengan demikian, nilai-nilai dan keteraturan sosial menjadi terjaga, tidak boleh ada yang melanggar. Lebih jauh lagi, bila secara sosial masyarakat di lingkungan yang rentan terkena letusan gunung api ini kuat, rukun dan harmonis proses untuk tetap resilience, lebih kuat karena akan saling membantu saat terjadi letusan, atau bangkit setelah itu. Meski demikian, modal sosial dan kebudayaan yang jarang disentuh, dianggap atau diperhitungkan ini saat sekarang "sedang" terancam oleh dunia yang bergerak menuju lebih modern, scientific namun potensial untuk menghancurkan sendi-sendi kebudayaan anak-anak gunung api yang justru memiliki potensi sendiri sebagai salah satu modal untuk terus hidup bersama "ibunya" ; guung berapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun