Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menularkan Keresahan Demi Bumi

5 September 2017   11:39 Diperbarui: 6 September 2017   11:54 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Sudah, resign saja...," bisik saya tadi malam pada seorang teman saat kami tengah menonton sebuah film di bioskop. Ia tertawa kecil. Saya tahu ia memaksa tertawa untuk menutupi rasa resah dalam hati.

Ia patut merasa resah. Selama hampir 1 dekade, ia mencari nafkah dalam sebuah perusahaan yang fokus bisnisnya bahan bakar fosil, yang sudah berperan besar menyesaki atmosfer bumi dengan jutaan ton karbondioksida. Lebih baik berwirausaha saja, saran saya dengan nada lebih mendesak.

Film yang kami sedang tonton ini memang bukan film biasa. Bukan jenis film box office Hollywood atau Bollywood yang sehabis ditonton bisa menghibur, melegakan, menggembirakan atau menginspirasi. Alih-alih, film ini malah membuat kami semua pulang dan meninggalkan gedung bisokop dengan benak yang penuh pikiran dan beban. Pokoknya, sangat amat tidak nyaman (inconvenient). Sesuai betul dengan judulnya "The Inconvenient Sequel: Truth to Power". Tetapi itulah memang tujuan paling mendasar dari Al Gore dalam membuat dan merilis film dokumenter bertema krisis perubahan iklim global tersebut. Mantan wapres AS itu memang ingin membuka mata lebih banyak orang di dunia mengenai gentingnya isu perubahan iklim.

Saya bersama beberapa ratus orang lainnya yang hadir dalam pemutaran perdana film yang diproduksi Paramount Pictures itu merasakan kegelisahan yang sama:bagaimanakah masa depan bumi ini?

Film ini sebetulnya kelanjutan dari "An Inconvenient Truth" yang sudah dirilis tahun 2006. Saya sudah pernah beberapa kali menyaksikan film itu dan harus diakui pesannya amat kuat dan hingga kini masih melekat dalam benak saya.

Al Gore yang dahulu menjabat sebagai wapres di masa Bill Clinton patut diakui memiliki kemampuan public speaking, komunikasi, negosiasi, kegigihan dan persuasi yang luar biasa. Staminanya untuk berkampanye secara konsisten tentang isu perubahan iklim memang tiada tanding. Dan hebatnya kepeduliannya pada kelestarian bumi itu sudah ia tunjukkan sejak sebelum berkiprah di politik. Saat ia menjadi politisi dan pejabat publik pun, ia tidak berhenti memperjuangkan isu itu. Lalu saat ia terjungkal dari pencalonan presiden AS, ia tampaknya tidak begitu kecewa karena ia tahu ia malah bisa berjuang lebih leluasa dalam menyadarkan dan mengajak segenap pemimpin bangsa dan warga dunia untuk lebih peduli pada pencegahan memburuknya perubahan iklim. Alih-alih terus berkutat pada dunia politik dan upaya melanggengkan kekuasaan yang sementara (seperti yang banyak kita saksikan di Indonesia), ia menekuni bidang perubahan iklim ini dengan lebih serius. Sehingga hasil kerja kerasnya nanti tidak cuma bisa dinikmati warga AS semata (seperti saat ia menjabat sebagai orang nomor dua di Gedung Putih) tetapi juga semua manusia tanpa kecuali, termasuk para generasi pengganti.

Dalam sekuel ini, Al Gore menyajikan drama yang menyayat hati. Di satu sisi, ia saksikan perubahan yang positif. Makin banyak pihak yang mengadopsi pemikirannya dalam produksi energi yang mestinya jauh lebih bersih dengan mengutamakan energi terbarukan agar emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas serta batubara terus ditekan. Di Chili, pemerintah dan masyarakatnya beramai-ramai beralih ke penghasil energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga angin dan surya. Lajunya eksponensial sehingga sangat membanggakan.

Akan tetapi, di sisi lain, banyak tantangan juga yang makin besar di depan. Salah satunya ialah saat India menampik ajakan untuk memangkas emisi karbonnya di masa depan. Sebuah adegan di film dokumenter itu menunjukkan perdebatan sengit antara Al Gore dan delegasi India, yang berargumen bahwa ajakan itu cuma akal-akalan Barat untuk meredam pertumbuhan ekonomi India yang lebih melejit saat ini. Resistensi India memuncak tatkala Perdana Menteri Narendra Mohdi menyatakan penolakan pada pengurangan konsumsi batubara dalam negerinya di hadapan khalayak Kesepakatan Paris 2015 yang tetap dihelat meski ibukota mode dunia itu dilanda teror beberapa pekan sebelumnya. Delegasi India tercekat begitu Al Gore menanggapi dengan kalimat sederhana:"Tunjukkan di mana matahari terbit hari ini." Langit kota-kota besar India memang makin penuh polusi karena penggunaan batubara dan BBM yang liberal dan tak terkendali.

Al Gore sebagai negarawan dan pelobi ulung tidak menyerah begitu saja. Ia bujuk India untuk meninggalkan batubara. Caranya memang tidak mudah tetapi Al Gore akhirnya berhasil memberikan jalan bagi India agar dapat memperoleh pinjaman yang lebih ringan untuk pengembangan energi terbarukan. Semua ini berkat koneksinya yang luas dengan beragam pelaku industri dan kolega di pemerintahan AS dan negara-negara besar. Drama itu berakhir dengan kelegaan karena India akhirnya mau menjadi bagian dari Kesepakatan Paris 2015.

Tetapi kelegaan itu tidak berlangsung lama. Al Gore was-was dengan pemilihan presiden AS yang ternyata hasilnya membuat kondisi dalam negeri menjadi jauh lebih buruk dari bayangannya. Terpilihnya Donald Trump pada pemilihan presiden 2016 lalu tidak hanya menjadi mimpi buruk bagi Partai Demokrat (yang menjadi partai pengusung Al Gore semasa berpolitik praktis) tetapi juga bagi para pejuang lingkungan seperti dirinya. Presiden baru ini malah mengangkat sosok-sosok yang dikenal abai terhadap kelestarian bumi karena lekat dengan industri minyak dan gas bumi.

Mimpi buruk Al Gore belum berakhir sampai di situ. Presiden Trump kemudian memang terbukti menarik AS dari Kesepakatan Paris 2015 yang sudah disepakati Pemerintahan Presiden Barack Obama dan Menteri Luar Negeri John Kerry. AS yang ia harap menjadi teladan bagi semua negara dalam memangkas emisi karbon dan beralih ke sumber energi bersih dan terbarukan, malah berperilaku sebaliknya. Sebuah pukulan mundur berefek demoralisasi tinggi yang telak bagi Al Gore.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun