Mohon tunggu...
Wulan Saroso
Wulan Saroso Mohon Tunggu... Lainnya - educator, mompreneur, sosio developer

istri dan ibu, pendidik informal, mompreneur, sosio developer suka membaca, menulis, bikin kue, berbagi ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa Itu Bukan Hakku (1)

30 Maret 2017   05:39 Diperbarui: 30 Maret 2017   16:00 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi menjelang siang ketika aku masih menekuni laporan mengenai data diri anak didik yang harus kuselesaikan akhir bulan ini. Masih ada waktu hitungan tiga pekan, tapi data yang harus diolah sepertinya tiap hari mengejar-ngejar hidupku.

Hampir tiga tahun aku menjalani profesi sebagai guru Bimbingan Konseling di sebuah SMA swasta di sebuah kota kecil cukup modern di Riau. Sejak suamiku mengajak pindah dari padatnya ibukota. Ia yang bekerja di sebuah perusahaan minyak nasional mengijinkan aku bekerja berbekal latar belakang pendidikanku terakhir. Namun ia tidak membolehkan aku menjadi pegawai negeri sipil sehingga aku memilih sekolah swasta sebagai lahanku berkontribusi.

Guru BK sejak masa ku bersekolah dulu, selalu memiliki citra negatif di masyarakat. Bila anak dipanggil oleh guru BK, berarti anak itu memiliki masalah dan orang tua pun siap menanggung malu untuk menghadap guru BK. Ketika mendapat kesempatan berkiprah di sini, aku bertekad untuk mengubah cara pandang itu. Interaksi yang baik kubangun dengan anak didik di sekolah dan orang tua dengan cara membuka komunikasi yang baik sehingga tugasku dapat terlaksana dengan baik. 

Sebuah ketukan pelan di pintu kaca ruang kerja menggugahku dari lamunan sesaat. Dari dalam terlihat sosok pelajar putri berjilbab rapi di depan pintu. Aku beranjak dari kursi dan membuka pintu seraya bertanya padanya,”Ada perlu sama ibu? Apakah kamu sedang tidak ada pelajaran di kelas?”

Matanya membulat dan sedikit melangkah mundur, agak ragu. “Emmm, di kelas gurunya tidak datang bu. Kami disuruh mengerjakan tugas....”

“Lalu?” tanyaku

“Emmm, ada yang saya ingin tanyakan ke ibu......” suaranya menggantung, matanya tak berani melihat ke arahku.

“Baiklah,” jawabku. “Ayo masuk.” Tanganku merengkuh pundaknya untuk masuk ke ruang kerjaku.

            Triana namanya. Kuajak dia duduk di sofa senyaman mungkin agar dia bisa bercerita dengan leluasa. Inilah salah satu caraku agar aku bisa berbincang dengan anak didik seperti layaknya berbicara dengan sahabat. Maka Triana pun tak kikuk mulai meruahkan apa yang dirasakannya.

“Saya tahu ini gak boleh bu... Saya tahu... Tapi saya gak tahu harus bagaimana?” Suaranya tertahan dan bergetar.

Aku masih diam tidak berkomentar. Membiarkan ia bercerita tanpa sela. Gestur tubuhku kujaga supaya ia merasa aku menyimak dengan baik setiap ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun