Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perempuan Masa Kini VS Perempuan Masa Gitu

16 Mei 2015   04:13 Diperbarui: 19 Juli 2015   10:59 3538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_412188" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption] Iya, Kemarin Itu Hari Kartini. Terus Kenapa?

Katanya, kemarin lusa itu harinya Kartini. Hari untuk mengenang perjuangan Ibu Kartini dalam menyuarakan harapan para perempuan demi mendapatkan perlakuan yang seimbang layaknya laki-laki. Seperti yang kita ketahui, sebenarnya tidak ada yang salah dengan terlahir sebagai perempuan. Sayangnya, para perempuan tadi terlahir ke dunia yang kadung diisi oleh kesepakatan konstruksi sosial yang melemahkan posisi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, (sadar atau tidak) perempuan dipaksa maklum untuk turut pada sejumlah cara pandang dan aturan yang tidak mereka sepakati, tetapi wajib dilaksanakan. Konsekuensinya yang ditanggung oleh perempuan karena hal ini, tentunya banyak, bisa dirunut dari ruang publik hingga ke ruang privat. Dari perkara karir sampai isi celana. Dari cara berbusana sampai cara tertawa (ya itu benar. Ada yang pernah menegur perempuan karena tertawa ngakak?) Tetapi kali ini saya tidak berbicara tentang ketimpangan posisi antara perempuan dengan laki-laki (yang mungkin sudah berakar sejak zaman pembagian kerja). Pula enggan mengkritik Pemerintah terkait pemberian hari peringatan khusus kepada Kartini (sejumlah orang beranggapan bahwa Kartini ‘hanya’ menulis surat dan tidak bertaruh nyawa seperti Cut Njak Dien atau Martha Tiahahu). Juga saya tidak akan membahas tentang peringatan Hari Kartini yang kerap dimaknai hanya sampai lomba mengenakan pakaian daerah. Apalagi bicara soal feminisme (jangankan paham definisinya, baca Simone de Beauvoir sejak kuliah saja nggak selesai-selesai).

Kali ini saya ingin mengulas tentang perempuan itu sendiri dan bagaimana mereka berempati pada rekan mereka yang berjenis kelamin sama. Karena saya anker (anak kereta) atau boker (bocah kereta), maka kasusnya mudah saja: perempuan dalam berkereta. Kereta yang dimaksud adalah Commuter Line Jabodetabek. Perempuan Sebagai Bagian dari Populasi Dunia Anda pernah membaca novel Inferno karya Dan Brown? Jika ya, ingatkah Anda dengan seorang tokoh rekaan di dalamnya yang bernama Bertrand Zobrist? Jika Anda lebih suka menonton film, silakan membayangkan tokoh fiksi bernama Richmond Valentine dalam Kingsman: The Secret Service. Nah, baik Zobrist maupun Valentine memiliki keluhan yang sama mengenai ledakan jumlah penduduk bumi. Keduanya beranggapan bahwa dunia akan segera tiba pada Malthusian Catastrophe. Seperti hitungan deret Malthus, bumi yang dihuni oleh populasi manusia yang demikian besar semakin tidak ramah untuk ditinggali karena tingginya kriminalitas dan kian terbatasnya stok pangan. Untuk mencegah situasi Malthusian Catastrophe yang kacau tersebut, maka Zobrist dan Valentine merasa perlu untuk merancang skenario genosida demi menipiskan jumlah populasi manusia. Ide gila? Ya, mungkin saja. Tapi kita sebaiknya tidak buru-buru menilainya gila atau mengada-ada. Paling tidak, sebelum kita bertandang ke Jakarta dan mampir ke Stasiun Tanah Abang.

Bukan. Saya bukan ingin memberikan afirmasi kepada para teroris atau inisiator genosida seperti Zobrist dan Valentine untuk melancarkan aksi membunuh demi ‘keberlangsungan spesies manusia’. Saya hanya ingin mengajak pembaca untuk menyadari bahwa efek negatif dari bonus demografi dapat kita tanggulangi atau bahkan kita arahkan ke hal yang positif. Asakan, kita bisa menghargai manusia lain. Menjadi lebih manusiawi.

Lebih dari tujuh tahun saya menjadi pelanggan Commuter Line (dulu namanya KRL). Dari zaman gerbong KRL masih diberi judul ‘ekonomi’ yang isinya kebanyakan sampah salak dan biji jeruk daripada penumpangnya (lebay), sampai sekarang: era Commuter Line yang tarifnya dibuat progresif. Saya berbangga untuk kemajuan kereta nglaju Jabodetabek. Tapi yang saya sayangkan, kok perkembangan perilaku penggunanya tidak berbanding lurus ya. Dalam waktu satu tahun saja (dari 2013-2014), terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada jumlah pengguna Commuter Line. Persentasenya mencapai 56,6%. Pada Juni 2013, jumlah pengguna Commuter Line tercatat sebanyak 11,87 juta jiwa (per hari +393.884 orang), sementara pada Bulan Juni 2014 pengguna Commuter Line sudah mencapai 18,5 juta orang (per hari 617.014 orang). Untuk sumber data, silakan lihat artikel dari Kompas Megapolitan berikut. Pertambahan jumlah pengguna tidak berhenti sampai situ. PT KAI Commuter Line Jabodetabek (KCJ) menargetkan dapat mengangkut 1,2 juta orang/hari pada tahun 2019. Untuk pernyataan tersebut, silakan tengok artikel ini.

Membaca berita tersebut, saya ngeri sendiri membayangkan pemandangan stasiun di tahun 2019. Saya kemudian merefleksikan situasi Stasiun Tanah Abang, yang selalu sukses membuat saya menghela nafas tatkala menunggu kereta pada jam-jam sibuk. Hingga kini saya masih merasa bahwa Tanah Abang adalah stasiun yang paling padat, bahkan dibandingkan dengan Stasiun Jakarta Kota, Duri dan Manggarai yang notabene adalah stasiun sentral transit yang tak kalah ramainya. Saya sendiri juga heran, kenapa ya? [caption id="attachment_362330" align="aligncenter" width="480" caption="Stasiun Tanah Abang peron 2 dan 3. Foto diambil pada Hari Minggu, tanggal 29 Maret lalu, pukul 14.35. Baru lihat dari tangga saja rasanya sudah putus asa. Mau berdiri di mana coba? Nah gerombolan depan yang menghadap rel biasanya sudah pasang kuda-kuda, siap mengerubung pintu kereta, memaksa naik kereta sebelum penumpang di dalam kereta turun."]

1429779281575141002
1429779281575141002
[/caption]


 

Yah memang pada kenyataannya, kebutuhan angkutan transportasi massal tidak mungkin terelakkan dan mungkin akan terus meningkat. Terlebih dengan fakta bahwa Indonesia kini menjadi negara keempat yang menyumbang jumlah populasi dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk +255 juta (sumber), masih banyak di antaranya yang masih tergiur dengan iming-iming kesejahteraan yang ditawarkan oleh Ibukota Jakarta.

Dari sekian banyak warga yang menggantungkan harapan hidupnya di DKI Jakarta, ada begitu banyak (saya gagal mendapatkan data persisnya, tetapi Anda dapat merujuk ke situs BPS) perempuan pekerja atau pelaku nglaju yang mengandalkan Commuter Line sebagai transportasi pilihan. Nah, berangkat dari asumsi bahwa lingkungan kita telah dibentuk oleh konstruksi sosial yang mengesampingkan hak perempuan dalam beragam aspek, bagaimana ya keseharian para perempuan pengguna Commuter Line ini? Apakah berat? Ah kalau berat sih yang mengalami tidak hanya perempuan, tapi laki-laki juga. Tapi ada satu hal yang selalu rawan dialami oleh para perempuan (meskipun sebenarnya laki-laki juga tidak luput akan ancaman ini), yakni: pelecehan seksual.

Gerbong Perempuan, Solusi atau Masalah Baru?
Untuk menambah kenyamanan pengguna perempuan, ada berbagai strategi yang dilakukan pihak KCJ. Salah satunya adalah dengan menyediakan dua gerbong khusus perempuan dalam satu rangkaian kereta. Dengan demikian, penumpang perempuan akan cenderung terhindar dari ancaman pelecehan seksual, menghindarkan perempuan berhijab dari resiko bersentuhan dengan pria yang bukan muhrimnya,  dan si perempuan memiliki lebih banyak peluang untuk mendapatkan tempat duduk. Tapi apakah fungsi gerbong perempuan hanya itu?

Bagi saya kehadiran gerbong perempuan (dan zona khusus perempuan di bagian depan bis Transjakarta) seperti buah simalakama. Pada satu sisi, jelas perempuan dimanjakan dengan kenyamanan dan jaminan keamanan. Namun pada sisi lain, ini merupakan sebuah pertanda bahwa perempuan kembali dipertemukan dengan jebakan konstruksi sosial yang melemahkan posisi perempuan di dalam masyarakat. Pertama, kebijakan pengadaan gerbong khusus perempuan di Indonesia seperti berlandaskan pada kajian yang tidak tuntas. Kebutuhan perempuan tidak hanya berhenti pada penanggulangan pelecehan seksual, melainkan juga kebutuhan yang didasarkan pada kondisi biologis mereka. Bayangkan seorang ibu yang mempunyai bayi dan harus menyususi anaknya di tengah perjalanan. Gerbong perempuan seharusnya dapat mengakomodasi kebutuhan si ibu untuk nyaman memberi ASI tanpa risih dilihat oleh mata laki-laki di sekitar situ. Tapi apa yang terjadi? Gerbong perempuan malah seringkali dijaga oleh Polsuska berjenis kelamin laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun