Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Drupadi Show

27 Juni 2017   00:26 Diperbarui: 27 Juni 2017   00:45 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Wanita?! Wanita?” dalang itu mengucap dengan nada panjang seolah memanggil seseorang.

“Dosa apa yang menyertai kelahiranmu? Berkah apa yang ada di tubuh molekmu? Bukankah kau terlahir dari doa-doa ayahmu?”

Musik berdentangan bercampur deru efek gitar, ada pula suara gesekan piringan. Ramai sekali.

Dari sisi panggung keluarlah seorang wanita. Ia dibelakang layar. Figur bayangan terbentuk berwarna hitam di layar oleh sorot lampu. Tampaknya ia adalah wanita yang dipanggil-panggil dalang. Ia bergerak ke sana kemari mengitari panggung. Bayangannya membesar mengecil, menggambarkan apa yang digambarkan dalang, kegelisahan, ketakutan, ketidakberdayaan, kelemahan.

Lalu tampak pula di layar itu bayangan-bayangan raksasa, satu, dua, tiga, muncul, makin lama menjadi banyak. Kepalanya membentuk bayangan seperti kepala barongsai atau ogoh-ogoh. Mereka menarikan gerak-gerak menghentak-hentak seolah mereka sedang bersuka. Wanita itu berlari dikejar-kejar, di sudut kiri, di tengah layar, di sudut kanan. Berlarian. Suara tawa menandaskan akhir dari adegan itu. Tawa yang panjang, banyak. Panjang sekali. Dalang diam. Hanya tawa panjang itu. Tak ada musik. Musik yang ramai itu telah berhenti tiba-tiba. Wanita itu masih dikejar-kejar oleh raksasa-raksasa dengan tawanya di dalam senyap.

Penonton terdiam, tercekat seolah ada hawa dingin, seakan-akan di luar hujan turun sedari tadi siang, seolah-olah penonton saling mengingatkan, “Diam! Jangan bergerak sedikitpun, ada raksasa siap menerkam.”

Malam itu, sedang dipertontonkan Drupadi’s Show oleh Sastri, temanku sekaligus pesaingku. Aku  mulai gelisah karena apa yang ia diskusikan tentang pentas yang ia siapkan benar-benar akan berwarna merah. Di antara penonton, aku duduk dengan tenang, tapi kepalaku sepertinya terlalu fokus memperhatikan pentas, seperti ada batu keras di jidatku.

Gambar-gambar itu menghilang. Suara harmonika mulai memainkan nada-nada panjang. Nada-nada kesedihan. Lalu menyusul suara gitar, dipetik membuat nada-nada  yang berat mengikuti ketukan nada yang jarang.

Suasana sepi terbangun. Penonton dibiarkan menikmati dan bertanya, “Apa yang akan muncul di layar?”

Suara dalang mulai mengantar pada adegan berikutnya.

“Jaman itu jaman yang terbolak-balik. Hari ini begini, besok begitu, entah tak menentu. Bahagialah mereka yang tak hidup di jaman itu. Jangan! Jangan! Jangan sekali-kali kau mengkhayalkan hidup ketika itu. Jaman yang dibentuk oleh kuasa-kuasa yang saling berunjuk berebut menang, mengalahkan dan tak mau kalah. Rakyat? Dimana Rakyat? Ia menjadi korban. Oalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun