Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lurah Tua dan Lurah Paris

24 Februari 2017   12:53 Diperbarui: 24 Februari 2017   13:10 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Telah beberapa hari orang tua itu duduk di kursi teras rumahnya. Kemejanya rapi, batik yang berkelas berwarna coklat tua. Peci hitam tegak di kepalanya. Sedangkan celana panjang hitam, cemerlang di antara rotan-rotan yang membungkus tempat duduknya. Matanya menerawang tajam, berwibawa. Ia diam saja. Ia terus berdiam diri. Cangkir di mejanya tidak juga disentuhnya. Dari lagaknya, ia tak melihatnya. Ia hanya peduli dengan pandangan matanya yang tajam itu saja, meskipun sedari tadi hanya pohon sawo kecik di kiri halamannya yang tampak dipandanginya. Ia betah dengan pandangan itu, dan cangkir itu tampak sia-sia berada di sana. Begitulah kebiasaan Pak Jogo, setelah kalah di pemilihan.

Begitu juga ketika Daryu gadis semampai, yang tak kalah rapi datang menghampirinya. Dari cara berjalannya, tampak ia menjaga kesopanan, keanggunan meskipun juga terlihat santai. Atau ia sudah terbiasa dan sopan anggun itu sudah menjadi adat kesehariannya. Langkahnya teratur dengan jingkat sandal yang berirama. Wajahnya bersih, meskipun tampak ada sebersit gangguan.

“Bapak, tehnya dianggurkan saja?” tanyanya sambil mendudukkan diri, di kursi di samping kiri si bapak. Si bapak diam saja. Ia masih saja asyik dengan sawo kecik itu.

Daryu sedikit menundukkan pandangannya, dengan wajah yang mengarah pada si Bapak. Ia mengikuti lagak si bapak yang diam. Sesekali ia melirik wajah si bapak, mencuri pandang. Dan si bapak dengan enaknya terus menikmati pandangan pada sawo kecik di halaman.

“Pisang goreng dari Mbok Rah, tadi diantar Lik Domo. Kata Lik Domo, Mbok Rah mengirim salam.” Kata Daryu, tetapi tak mendapat tanggapan yang berarti.

“Juga getuk kelapa, lengkap dengan juruh. Kalau Bapak mau, di meja makan juga masih ada. Ini sebagian saya bawa,” lanjut Daryu.

Tetapi tetap tak mengubah keadaan.

Seseorang yang bertelanjang dada, menuntun sepeda dengan muatan karung yang penuh tampak memberatkannya. Kulit tubuhnya hitam, berkilat-kilat oleh sinar matahari yang menghantam keringat.

“Selamat pagi Pak Lurah!” serunya dari jalan di seberang pagar bambu di dekat sawo kecik.

“Iya, Pak Wo. Pagi-pagi, kok, ya, sudah mandi keringat lho!” balas si bapak tak kalah teriak.

“Iya! buat sebaran benih,” kata Pak Wo yang sudah hilang dari jalan di samping rumah Pak Lurah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun