Mohon tunggu...
Warok Demitologian
Warok Demitologian Mohon Tunggu... -

Mendalami mitos dan mite

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mitos Matahari dan Bulan

9 Juli 2014   10:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:54 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MITOS MATAHARI DAN BULAN

Prabowo vs Jokowi

Mitos selalu bersumber dari gejala alamiah, namun cara penafsiran akan merujuk pada hal lain diluar itu. (Anggar Erdhina 2014)

Panggung politik negeri kita hari ini tengah riuh menuju sebuah penentuan vital, yaitu pemilihan presiden untuk periode 5 tahun mendatang. Namun ini tidak serta merta akhir dari perjalanan bangsa ini, karena kedepannya masih akan menempuh perjalanan sangat panjang. Maka dari itu kita semua harus sepakat bahwa yang paling utama adalah bagaimana kita tetap menjaga negara kita tercinta Indonesia aman, damai dan sejahtera dan tentunya maju. Seperti pesan yang disampaikan film “Cahaya dari Timur”(2014) tidak ada yang lebih penting dari persaudaraan dan perdamaian. Bukan saatnya ngotot atau adu otot, toh kita sendiri yang akan rugi, percayalah. Tulisan ini merupakan tafsir dan analogi mitos saya untuk memberi ruang pemahaman dengan cara yang lebih akademis menurut basis keilmuan saya.

Kontestasi

Merapatnya Demokrat dan restu dari ketua umumnya –yang notabene Presiden RI- telah meyakinkan kita bahwa persaingan kedua kubu ini semakin tidak seimbang. Arus besar yang berada dalam gerbong Prabowo memberi bukti kongkrit kekuatan dan dukungan yang diberikan kepadanya secara kalkulasi politis tidak dapat terbendung lagi. Kekuatan tersebut begitu nyata dengan bergeraknya mesin-mesin politik partai-partai pendukungnya secara masif. Instruksi terlambat yang dikeluarkan oleh ketua harian partai berlambang mercy ini, terkesan seolah-olah tidak mau ketinggalan gerbong untuk bagi-bagi kekuasaan, sehingga mau tidak mau seluruh pengurus harus ikut memenangkan koalisi dengan cara apapun. Partai ini memang dilahirkan untuk tidak pernah siap berada di jalur oposisi, jalur yang dikucilkan dari jatah kekuasaan yang nyaman.

Dengan kenyataan ini kubu Jokowi-Jusuf Kalla semakin terpojok dengan menterengnya koalisi lawan. Sejak awal Jokowi memang menyatakan koalisi tanpa syarat, artinya siapapun partai yang masuk dalam koalisinya tidak ada jatah untuk menteri dan lain sebagainya dengan dasar pemikiran right man on the right place (orang yang tepat, berada di posisi yang tepat). Tentu pernyataan ini membuat ketar-ketir siapapun yang mau bergabung, karena “sumber-sumber” bisa hilang. Kita tentu masih ingat pernyataan Priyo Budi salah satu elit Golkar yang menyatakan ”jika pasrah bongkok’an capres dan cawapres terserah anda, maka “no way” bagi kami, jawabnya ketus. (Kompas, 14/5/2014).

Kontestasi koalisi merah putih dan koalisi rakyat menunjukkan tanda-tanda yang makin nampak dan jelas berbeda. Pihak Prabowo dengan didukung segala kekuatan politiknya bergerak medulang konstituen dengan masif. Semua elemen partai terlibat untuk pemenangan, sementara kubu Jokowi bergerak dengan mayoritas dukungan rakyat. Hal ini bisa terlihat dari foto-foto saat kampanye, maupun gerakan kampanye yang dimotori beberapa elemen dan komunitas yang mensyaratkan tanpa embel-embel partai. Pada titik ini mereka ingin menegaskan posisi dukungan mereka murni dari rakyat. Jika melihat dari kenyataan dalam masa kampanye, jelas terlihat perbedaan yang mencolok. Misalnya saat kampanye, massa Prabowo dihiasi meriahnya kelebatan bendera dan embel-embel partai, sedangkan kampanye yang mendukung Jokowi cenderung tanpa embel-embel partai dan hanya mengandalkan salam dua jari (lihat beberapa sumber Kompas, Jawa Pos, Detik, Tempo sebagai sumber yang terpercaya).

Secara nyata keduanya nampak jauh berbeda, kubu Prabowo begitu mentereng dan cenderung menyilaukan dengan koalisi partai-partainya, sedangkan kubu Jokowi nampak sebaliknya. Dalam kondisi ini keduanya nampak seperti matahari dan bulan, selalu berebut untuk menyinari kita namun bukankah keduanya hanya berdiam di langit?

Mitologi Matahari dan Bulan

Dalam pertarungan politik yang begitu panas, ketat dan tegang ini saya mencoba menganalogikan keduanya dengan dua sumber cahaya yang berbeda, yaitu matahari dan bulan. Seperti yang kita ketahui planet bumi kita berada dalam gugusan galaksi Bimasakti. Bumi sebagai tempat kita tinggal mengelilingi matahari sebagai sumber cahaya, sementara itu bulan selalu setia berputar mengikuti bumi yang berotasi. Namun yang menjadi dasar paling utama, pusat disini adalah Tuhan.

Menyaksikan konstelasi politik hari ini tibalah akhirnya kita pada sebuah kenyataan bahwa kubu yang terbagi dua mewakili dua kekuatan yang berbeda, Prabowo didukung koalisi besar (merah putih) dan Jokowi diusung oleh koalisi rakyat. Jika merujuk pada kontestasi tersebut kubu Prabowo bisa diartikan besar, kuat, menyilaukan. Dalam analogi mitos saya, kubu Prabowo adalah matahari. Sedangkan di kubu Jokowi bisa didefinisikan kecil, ramping, sinarnya tidak semegah matahari maka bisa diwakilkan oleh bulan. Kehadiran keduanya dalam ruang politik kita, -matahari dan bulan- adalah sama, keduanya menjadi sebuah harapan, setidaknya bagi masing-masing pendukung.

Konon dalam mitologi mesir, dewa Matahari disebut dewa Ra. Namun dalam perjalanannya namanya kemudian berubah menjadi Re-Horakhty setelah melebur menjadi satu dengan dewa Horus. Horus merupakan dewa langit, dimana mata kirinya merupakan bulan sementara mata kanannya adalah matahari. Mata dari dewa Horus dikenal dengan sebutan Mata Horus atau Wedjat (whole one) lebih sering muncul dalam berbagai bentuk seni di Mesir dan gerakan illuminati (anti agama). Saat mencapai posisi penting sebagai pemimpin langit, bumi dan bawah tanah, dewa Re-Horakhty menjadi dewa tertinggi dalam kebudayaan Mesir. (Rosenberg, 2001). Dengan kekuasaanya tersebut dewa Re-Horakhty bertugas menjadi pelindung utama Fir’aun.

Sebagai dewa utama, kekuasaannya sangat menyilaukan sehingga manusia tidak mampu menatapnya dengan mata telanjang, karena itulah masyarakat begitu ketakutan dan harus tunduk terhadap dewa tersebut. Konon hanya Fir’aun yang mampu melihatnya, oleh karena itu rakyat harus menyembah kepadanya. Dalam pandangan kosmik, matahari menjadi sumber utama yang tidak bisa dihindari sehingga mau tidak mau mereka dicuci otaknya untuk memuja. Menjalani aktifitas hidup dibawah kekuasaan matahari semuanya harus berjalan wajar, meskipun mengeluh kepanasan. Panas yang ditimbulkannya cenderung menyiksa meskipun memberi hidup, kadang menyengat meskipun menghangatkan. Ketika matahari muncul dari peraduan seolah ada harapan baru ketika memulai hari. Saat siang hari kebanyakan orang tidak ingin terkena langsung sinar matahari, karena kulitnya bisa terbakar. Namun bagi tumbuhan, panas matahari adalah proses fotosintesis yang berarti makan dan tumbuh.

Sedangkan bulan cenderung memberi kita makna ketenangan. Mengutip lirik lagu Cahaya Bulan ciptaan Eros yang berbunyi ;

“terangi dengan cinta di gelapku,

ketakutan melumpuhkankanku,

terangi dengan cinta di sesatku,

dimana jawaban itu.”

Saat kegelapan malam tak bisa dihindari, maka bulan selalu dinantikan untuk merajuk dan berkeluh kesah karena bermakna peraduan. Malam memiliki makna mitos refleksi, perenungan, mencatat kekurangan di siang hari, kemudian pada saat gelap itulah bulan bersinar untuk memberi arti. Agar menemukan jawaban maka dibutuhkan cinta sebagai pendekatan, sebuah cara yang tak berjarak seperti janji Doel Sumbang pada Nini Karlina yang ingin menggendong rembulan, karena rembulan tak akan bohong.

Dalam mitologi umat Hindu Indonesia misalnya, Rerahinan Tilem dirayakan pada saat bulan tidak bersinar (karena posisi bulan diantara matahari dan bumi). Pada hari suci Rerahinan Tilem inilah para sastrawan, pujangga, meditator melakukan perenungan untuk mendapatkan pencerahan (Suprapto, 2012). Tujuannya adalah untuk memperoleh rasa tenang, damai, bahagia dan inspirasi agar bulan muncul kembali untuk menyinari gelap malam. Selain itu, kerinduan akan munculnya bulan selalu dinantikan karena juga bermakna sebagai sebuah pencerahan bagi umat Budha. Ketika pada hari suci Waisak bertepatan dengan purnama, maka momen ini dianggap meditasi untuk mencapai pencerahan (Nirwana).

Begitu juga dengan matahari, bulan hadir menerangi kita dari kegelapan. Sebagai mata kiri yang terbuang, bulan hadir sebagai oposan. Dalam peta politik demokrasi memang harus ada golongan kiri, kaum oposisi yang bertugas untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Berjalan bersama namun berada diluar kekuasaan. Tugasnya jelas, yaitu mengkritisi kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Jika melihat analogi mitos diatas maka kontestasi ini memang bermakna luas, tergantung bagaimana masing-masing individu memberi makna. Bagi Jasper (dalam Sobur, 2014), mitos bukanlah sesuatu milik masa lampau tapi merupakan ciri manusia sepanjang zaman. Inilah sebuah kisah yang selalu memiliki sesuatu bermakna dramatis kata Ernst Cassirer (1987) karena didalamnya hadir sebuah dunia aksi, kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan.

Bagaimanapun hasilnya pemilihan hari ini, entah matahari atau bulan, ini semua merupakan sebuah pesta demokrasi. Masalah pilihan kita bebas menentukan masing-masing. Tugas berat setelah ini menanti, yaitu mengawal demokrasi dan penguasa yang memimpin dari penyalahgunaan kekuasaan. Seperti yang bung Karno katakan bahwa tugasnya hanyalah ringan, yaitu mengusir penjajah. Namun tugas berat yang sedang menanti adalah musuh saudara sendiri. Jika ternyata yang dipilih dzolim dan rakus akan kekuasaan, maka semua elemen rakyat harus bergerak untuk melawan, tidak ada kata TIDAK!!!.

** Anggar Erdhina Adi
bergiat di Forum Studi Kebudayaan ITB

anggarwarok@gmail.com


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun