Sering sekali, hal-hal semacam ini tidak bisa dipoles oleh persona citra, dan aura seting dari belakang panggung. Bagi para calon pemimpin yang selama ini elitis, berjarak dan kurang mampu memberi apresiasi dan bahkan cenderung kurang menghormati harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang yang dianggap memiliki stratifikasi sosial di bawahnya akan gagal berinteraksi dan berkonsolidasi untuk meraih simpati dan dukungan.
Esensi Kepemimpinan
Hal lain yang esensial dari kepemimpinan yang musti menjadi pegangan bagi para calon pemimpin adalah soal keteladanan. Nurcholish Madjid (2012) pernah menggambarkan sosok Bung Hatta sebagai salah satu pemimpin yang dapat diteladani. Katanya Hatta lebih menekankan kesalehan esensial dari pada kesalehan simbolik-formal. Hatta menangkap ajaran agama sebagai "garam" bukan "gincu".
Garam yang larut dalam air memberikan rasa asin namun tidak nampak nyata. Kesalehan esensial larut sempurna dalam jiwa raga seseorang, mungkin juga sukmanya, dan langsung membentuk kepribadian yang diliputi fitrah kemanusiaan.
Sebaliknya "gincu" memberi warna menarik pada air, namun tidak ada hakikat cita rasanya. Kesalehan formal mewarnai perilaku lahiriah dan ucapan seseorang. Kendati demikian, hal itu tidak menembus kalbu dalam rongga dadanya dan tidak secara sejati membentuk budi pekertinya.
Kini masyarakat pemilih yang semakin cerdas karena pendidikan dan iteraksi yang intens dengan dunia luar. Sebagai konsekuensi logis dari kecerdasan-kecerdasan itu maka masyarakat pemilih tidak lagi terpukau dengan gincu tetapi pada garam yang merupakan esensi dari kepemimpinan.
Kepemimpinan dengan nilai-nilai esensial yang terlihat dari perilaku seorang pemimpin melalui penghormatannya pada harkat dan martabat kemanusiaan, apresiasinya pada orang lain serta keteladanannya bagi orang-orang terdekat dan melatih diri menjadi pemimpin yang esensial yang tidak terjebak pada gincu, gemerlap lampu dan sorot kamera serta publikasi berita semata.
Tetapi pada garam kepemimpinan yang esensial seperti ini adalah pemimpin yang dapat kita pilih karena akan mampu menjawab apa yang menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat.
Latihan kepemimpinan bagi para calon pemimpin semacam ini akan melahirkan pemimpin yang memupuk tradisi penyelesaian konflik lewat kekuatan wacana (discursif handling of confiks).
Pelaziman penyelesaian masalah lewat urun rembuk (sharing), tawar-menawar (bargaining), dan kemenangan bersama (win-win solution), penguatan ketaatan pada aturan main, kerelaan menerima situasi menang dan kalah secara bersahaja dan kejujuran melakukan pertanggungjawaban publik, serta pengasahan ketajaman daya baca (egulfing the power of analysis), dan daya jawab terhadap situasi krisis (the power of responsivenness).
Yang berorientasi pada penyelesaian masalah (the problem solving oriented), bukan memperumit persoalan, disertai kebenaran gagasan dan kecakapan adaptif terhadap perkembangan yang terus berubah.