Mandiri adalah sebuah keadaan hidup yang barang tentu menjadi target kehidupan tiap manusia. Memiliki pekerjaan sesuai minat bakat, berkeluarga, dan menggapai tiap cita-cita adalah hal yang lazim ditempuh setiap generasi manusia.Â
Namun, entah mengapa kondisi mandiri ini agaknya terjal sekali prosesnya bagi generasi Z. Begitu pula gen z yang menyandang disabilitas. Bukan hanya terjal, tapi kadang bagai mimpi belaka.
Secara pemahaman dasar, kemandirian dapat dipahami dengan suatu perilaku yang dapat ditunjukan dengan kemampuan untuk berinisiatif, mengatasi masalah yang terjadi, dan dapat menjalankan berbagai kegiatan dengan baik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pribadi ataupun kepentingan umum. Dengan hal itu, manusia dapat lebih merdeka dalam memutuskan, melakukan, dan mengaktualisasi hidupnya .
Bila meninjau dari Sophie Bethune dalam risetnya yang diterbitkan American Psychological Association pada Januari 2019 di Amerika, menyatakan generasi Z sangat rentan terkena gangguan kesehatan mental.Â
Beberapa persentase yang dipaparkan menunjukkan permasalahan yang kompleks. Mulai dari permasalahan kejahatan, diskriminasi, pekerjaan, pengaruh media sosial, dan sejenisnya. Hal ini tentunya berdampak besar pada proses menggapai hidup mandiri generasi ini, tidak terkecuali para penyandang disabilitas.
Masalah dan Tantangan Mental Disabilitas Gen Z yang Lebih Kompleks
Bila cita-cita itu dikaitkan dengan tujuan masa depan, bagi para penyandang disabilitas keadaan mandiri pun menjadi cita-cita. Bahkan generasi Z yang non-disabilitas pun mengalami masalah kompleks, seperti: krisis mental, tekanan, hegemoni media sosial, depresi, dan permasalahan lainnya, membuat generasi Z sering terbentur pada keadaan yang rumit.Â
Hal tadi juga terjadi pada kaum disabilitas. Hanya porsi tadi masih ditambah dengan masalah penerimaan diri, minder, dan minimnya pendampingan disabilitas yang bisa didapat secara mudah.
Belum lagi gen Z disabilitas harus melewati masalah klasik, seperti diskriminasi, kurangnya penerimaan sosial, stigma negatif, dan aksesibilitas, yang sampai kini masih menghajar tanpa ampun.Â
Kadang benturan itu masih ditambah dengan orang tua yang tidak bisa mengarahkan dan tidak mau pusing mencari alternatif solusi masalah bagi anggota keluarga yang menyandang disabilitas. Mereka terkadang hanya melarang, menjaga, dan membatasi, seperti keadaan seekor burung yang dipenjara di sangkar emas.