Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

“Bercanda dengan Diam“

31 Juli 2013   18:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:47 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Mengintip canda Sdr.John Dami Mukese (penyair kelahiran : Manggarai NTT)

Pernahkan Anda melakukan kegiatan “bercanda dengan diam”? Pertanyaan ini , tentu dianggap pertanyaan konyol. Argumennya sederhana saja : Apa mungkin ? Makhluk apa lagi yang disebut diam itu ? Setahu kita, yang namanya bercanda tentu dilakukan oleh insane dhaif ( baca : manusia,-pen). Bukankah begitu ?

Betapa pun kerasnya argument Anda kita mesti tahu bahwa setiap kata pasti memiliki reaksi semantiknya yang sarat makna. Karena itu, sabar dulu. Reaksi seperti di atas, namanya gegabah. “Lho… sabar gimana, pertanyaan di atas sungguh tak masuk akal ?” sambar kita tak sabar.

Judul di atas adalah judul puisi yang diangkat dari salah satu judul puisi karya Saudara John Dami Mukese, yang terkumpul dalam Kumpulan Puisi Relegius “DOA-DOA SEMESTA” terbitan Nusa Indah Ende-Flores, edisi 1989. Nongol di tangan penulis sejak tahun terbitnya.

Sama seperti Anda, mulanya penulis kaget berat dengan judul “Bercanda dengan Diam”. Tetapi karena sering dibaca baru dipahami kalau itu merupakan judul puisi. Agaknya tepat kalau dikaitkan dengan pengertian puisi bahwa puisi itu taka bisa diberikan batasannya bila belum berhadapan dengan wacananya. “Puisi adalah puisi “, jelas kritikus sastra secara singkat. Tetapi bila diberikan wacananya ( baca : rupa bentuk puisi) maka, “ puisi adalah pengucapan dan perasaan”, urai HB.Jassin. Itu pula sebabnya, pembaca diajak agar mencoba mengintip,”Bercanada dengan Diam”, berikut ini :

Padabangku sebuah kapel tua

aku bercanda dengan diam

Diam itu adalah DIAM

Dia diam

Aku pun diam

Tapi diam-ku tak pernah diam

Bahkan Dia tak sanggup mendiamkannya

Namun Dia sabar

Diam-diam bercanda dengan

Diam-ku tak pernah diam

Itulah larik-larik yang penuh misteri yang dihidangkan penyair ( baca : John Dami Mukese) kepada kita. Mengertikah kitasetelah menikmatinya? “ Wouw… amat sulit !

Itu membingungkan !” komentar kita. “Mana mungkin manusia bercanda dengan diam ?” tanggap kita untuk kedua kalinya. “Ini bukan sekedar komentar, bukankah “kata diam” bermakna : tinggal, tidak bergerak , mati ?” sambung kita sebagai pembaca atau penikmat semabri bercanda ,”kita dibawa ke mana oleh John Dami Mukese ?”

Diakui atau tidak, pada galibnya, seorang penyair dalam menyair benda seperti batu, kayu, ombak dapat saja bertingkah laku seperti manusia. Ini dimaklumi, seorang penyair lebih menitikberatkan penggunaan makna konotatif ( = makna tak sebenarnya atau makan kiasan ). Saudara John menyadari bahwa perampungan karya puisinya bukan sekedar bermain kata atau merangkai kata sehingga tercipta yang namanya puisi. Dia sadar, puisi merupakan penghayatan totalitas kehidupan manusia , yang dipantulkan oleh seorang penyair dengan segala pribadinya, pikirannya, perasaannya, kemauannya, dll. Dia pun tahu makna denotatif ( =makna yang sebenarnya ) seperti diungkapkan di atas tadi.

Untuk lebih jelasnya, sekali lagi kita mengintip canda ala Saudara John tadi. Nah, hamper dapat dipastikan, dengan berulang –ulangnya beberapa kata yang mewarnai larik-larik puisi itu, setidaknya mendorong kita untuk senantiasa bertanya , “Siapa aku ? Siapa Diam ? Dan apa makna kata kapel ?

Betapa tidak, perulangan tersebut tidak membuat kita bosan. Malahan sebaliknya, membentuk sermacam alur nada yang lirikan. Kepada kita, penyair mengisahkan pertemuan tokoh aku dengan si cantik Diam. Percandaan keduanya dilukiskan sangat romantis. Berulang-ulang kita mengintip, sepertinya tiba-tiba kita terkesima dan kemudian terjaga dan terus bertanya, “Candanya koq hanya diam saja. Adakah hal itu dalam keseharian kita ?’ Wah, ternyata, diam-diam kita mengkaji . Ini bukan lagi sesuatu percandaan. Sungguhan malah. Ya, dalam keseharian kita memang tidak pernah menemukan hal “bercanda dengan diam””. Tak ada memang,dan buka n itu yang dimaksudkan Saudara John dalam puisinya “Bercanda dengan Diam”.

Sesungguhnya, diam dalam diamnya aku dan diamnya DIAM, bukan sekedar diam. Mereka diam di kapel tua menyirat makna bahwa mereka sebenarnya sedang “berdialog”. Keduanya mempercakapkan sesuatu. Persoalan apa sambung kita sekenanya. Wah, untuk ke sekian kalinya, ternyata dalam kita mengintip, belum mampu meredam diamnya kita.

Okey, mau tak mau kita mesti mengintip lebih dekat lagi. Dari intipankita, nampak jelas, pendeskripsian suasana romantis yang dilukiskan penyair, membantu kita bahwa sebenarnya, penyair mau memaparkan betapa besarnya kerinduannya kepada Sang Ghaib. Lewat “diamnya”, mau meniti hubungan yang komunikatif. Diam dilukiskan serupa dara di balik tirai. Lalu tercipta sebuah percakapan ( percandaan ) mesra, “ Tapi diam-ku tak pernah diam/ Bahkan Dia tak sanggup mendiamkannya//

Pelukisan suasana itu setidaknya menggugahkita unhtuk terhanyut dalam dialog yang kian melekat , “ Namun Dia sabar/ Diam-diam bercanda dengan/ diam-ku tak pernah diam/” “Wah…betapa indahnya, bila kita menemukan kekasih seperti si cantik DIAM itu “?, canda kita dengan gemes.

Rupa-rupanya canda kita tak berarti. Lalu kita bertanya, “Siapa sih tokoh aku pemuda yang lagi kasmaran itu? Gadis manis lagi cantik itu siapa? Dan apa makna kata kapel. Semakin dikejar, malah semakin jauh, sambung kita.

Karena itu kita mengintipnya dari kata kapel. Bagi saudara kita yang beragama katolik, kata kapel sama dengan kapela, merupakan bagian dari kesehariannya yakni sebuah tempat untuk melakukan peribadatan. Bentuknya, lebih kecil dari gereja. Mencermati uraian singkat di atas , tokh akhirnya kita enggan bertanya lebih lanjut. Pasalnya, mana mungkin si tokoh aku yang ysng kita kenal pemuda yang lagi kasmaran tadi melakukan kegiatan bercanda dengan si gadis cantik DIAM di rumah Allah. “Kalau begitu, apa gerangan semua itu ?” sambar kita tak sabar. Ya… siapa lagi tokoh aku yang digambarkan penyair, kalau bukan umat ( baca : umat Katolik sesuai dengan kata kapel ). Sementara itu, “DIAM” yang senantiasa diam itu adalah Sang Khalik yang ghaib. Apa yang dilakukan ? Jawabannya sudah pasti, yakni umat sedang menunaikan ibadah, memuji kebesaran Illahi, memohon ridlanya sang pencipta langit dan bumi.

Sampai di sini, imaji kita terangsang untuk membayangkan ,betapa penyairnya ( baca : John Dami Mukese) memotivasi kita untuk membayangkan gerak langkah , pla sikap, pikiran dan perasaan serta pencuatan deskripsi situasi yang dilakukan tokoh aku untuk kita contohi. Kemudian kita tergugaah sekaligus menggelitik betapa penyairnya melukiskan DIAM ( baca : Allah ) tadi sebagai teman, dan malah jauh merasuk kalbu, hingga kita menganggap-NYA sebagai pacar. Kesemuanya ini paling tidak, penyair berusaha mengajak kita untuk senantiasa berdialog ( baca : berdoa ) tanpa mesti ragu dan bimbang bila berhubungan dengan Allah.

Bagaimana ? “Kalau cumin puisi sih gampang. Lha… koq tak percaya ? Apresiasi pun sudah berlembar-lembar kuhasilkan. Tapi belum kutuangkan dalam bentuk tulisan. “Tau kenapa ?”begitucanda kita setelah mengintip pola canda ala Saudara John tadi. Ya… jelas tak tahu, kalau kita cuma berkhayal. Mana ada tuh orang tahu kalau kita hanya berangan-angan tanpa diwujudnyatakan dalam bentuk tulisan,canda penyairnya bila artikel ini sempat dibacanya.

Akhirnya, canda kita ditutup dengan sebuah pertanyaan, “ Sudahkah kita bercanda dengan DIAM pada hari ini ? Semoga !***)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun