Mohon tunggu...
Umar Farouk Zuhdi
Umar Farouk Zuhdi Mohon Tunggu... -

Refleksi keberagamaan adalah kemuliaan akhlak. Wujudnya adalah rahmat bagi siapa pun. Menulis sekedar berbagi untuk membuat kehidupan ini lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih beradab. Belajar dari matahari dan kesempurnaan penciptanya barangkali dapat membuat hidup lebih memiliki makna..!

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Membaca Isyarat-Isyarat Pasca Drama Pilkada

23 April 2017   19:54 Diperbarui: 25 April 2017   21:16 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam disiplin ilmu Komunikasi pesan tidak hanya dapat disampaikan secara verbal saja tapi juga non verbal.  Mengingat politik itu dunia penuh kebohongan, intrik, manipulasi, pencitraan dan seterusnya (koq jelek banget ya?) maka seringkali pernyataan verbal berbanding terbalik dengan pesan non verbalnya. 

Disamping itu peristiwa politik yang terjadi juga dapat dibaca sebagai teks politik yang sarat dengan isyarat-isyarat yang perlu diberi penafsiran untuk memprediksi kemungkinan perkembangan politik di masa yang akan datang.

Pilkada DKI memang sudah usai. Pemenangnya hampir pasti (soalnya nunggu pengumuman resmi KPUD DKI dulu khan?) paslon Anies-Sandi.  Namun demikian banyak hal yang dapat kita pelajari sepanjang pesta demokrasi yang diwarnai dengan  demo crazy  (demo gila-gilaan) kelompok-kelompok radikal itu. Salah satunya adalah membaca isyarat-isyarat yang mungkin saja luput dari perhatian kita.  Isyarat-isyarat ini merupakan pesan yang di masa depan harus dijadikan catatan penting dalam mengelola kehidupan kebangsaan  kita agar lebih baik.

Pertama, kekalahan Ahok-Djarot merupakan isyarat akan menguatnya kembali budaya birokrasi yang kurang sehat.  Misalnya budaya  meritokrasi  yang sudah dibangun oleh Jokowi , Ahok, dan Jarot mungkin akan segera kembali ke sistem  nepotisme, perkoncoan dan sejenisnya.  Mengapa?  Lihat siapa pendukung Anies-Sandi !   Hampir dapat dipastikan mereka  adalah kelompok orang yang tidak merasa nyaman dengan sistem  meritokrasi   tadi. Dalam pilkada ini mereka telah  memberikan investasi politik yang susah untuk tidak dibayar kembali oleh Anies-Sandi.   Singkatnya kemenangan Anies-Sandi jelas menjadi kemenangan kelompok birokrat yang tidak siap bekerja secara profesional.  Pendekatan Anies-Sandi adalah merangkul semua golongan.  Maksudnya termasuk juga membiarkan sistem birokrasi lama tumbuh kembang kembali dalam pemerintahan. Lihat saja, kinerja para pelayan rakyat di pemprov DKI akan segera menurun.  (tapi saya berharap prediksi saya ini salah!)

Kedua,  hadirnya Daeng Aziz di kampanye Anies-Sandi  mengindikasikan adanya  atmosfir  politik  yang nyaman  bagi penguasa Kalijodo itu yang kini ditawarkan oleh kelompok Anies-Sandi.  Artinya orang seperti  Daeng Aziz dalam pemerintahan Anies-Sandi mungkin akan diberi  kebebasan berusaha atau berbisnis.  Hal ini juga berlaku bagi Lulung, yang katanya menguasai  wilayah perparkiran di Tanah Abang.  Jadilah nanti tanah Abang kembali lagi macet dan para preman akan kembali  lagi beraksi, (tapi saya juga berharap prediksi saya ini totally wrong!,  kalau prediksi ini benar, kasihan warga Jakarta khan...!)

Ketiga, para koruptor yang mendekam di balik jeruji KPK secara demonstratif memberi dukungan kepada Anies-Sandi, ini menjadi isyarat bahwa ke depan tampaknya mereka yakin bahwa pemerintahan Anies-Sandi akan lebih lunak terhadap koruptor.  Jargon merangkul semua golongan dapat dimaknai sebagai isyarat semua warga baik yang baik  maupun yang jahat dapat diakomodasi oleh Anies-Sandi. Maka merangkul semua golongan menjadi kata sakti dan kata kunci yang diyakini bahwa Anies-Sandi tidak terlalu hirau dengan baik-buruk.  Yang penting hidup bersama .  Biarkan Jakarta liar sebagaimana adanya.  Tak perlu diatur-atur. Tak perlu relokasi, tak perlu penggusuran Kalijodo untuk revitasilasi , tak perlu reklamasi, tak perlu ditertibkan sistem transportasinya dan sebagainya.  Pokoknya biarkan warganya hidup bahagia dengan caranya sendiri. Pemimpin tak perlu mengedukasi warga.  Biarkan mereka bahagia dalam kebodohannya sebab ini yang membuat Anies-Sandi diterima warga. Jika dianalogikan sebagai orang tua, maka Ahok-Djarot adalah orang tua yang dengan keras mendidik anak-anaknya agar kelak mereka menjadi warga Jakarta yang cerdas, sejahtera, dan beradab.  Sebaliknya Anies-Sandi adalah figur orang tua yang memanjakan anak-anaknya, tanpa mendidiknya sama sekali.  Yang penting mereka happy.  Di masa depan mereka pasti akan menjadi  warga yang bodoh, miskin, dan kualitas hidupnya sangat rendah.

Keempat, hadirnya kelompok Islam radikal di barisan Anies-Sandi  memberi isyarat bahwa kehidupan bergama di DKI akan mengalami kemunduran secara substantif.  FPI, HTI, PKS dan kelompok radikal lainnya akan mendapatkan ruang gerak yang lebih luas untuk melakukan penyebaran faham radikalisme wahabi yang sudah memberikan saham sangat besar bagi kemenangan Anies-Sandi.  Saya rasa siapa pun paham bahwa yang membuat Ahok –Djarot kalah bukanlah karena mereka  tidak lebih pantas untuk memimpin DKI melainkan karena politisasi agama dalam pilkada DKI.  Faktanya tingkat kepuasan warga Jakarta terhadap kinerja gubernur dan wagub petahana lebih besar dari 75%.  Ini angka yang sungguh fantastik.   Luar biasa.  Tapi anehnya tingkat elektabilitasnya hanya berkisar di angka 40%. Jika dibaca dengan logika biasa, tentu ini kontradiktif.    Akan tetapi jika dibaca dengan logika politik dan melihat konteks situasi kontestasi pilkada yang sudah berjalan maka hal ini dapat diartikan bahwa warga Jakarta mengakui bahwa Ahok-Djarot dari aspek profesionalisme kerja pemimpin daerah,  sangat hebat.  Alasan yang melatarbelakangi mereka tidak memilih petahana adalah kekhawatiran tidak akan masuk surga jika mereka memilih orang Cina yang non muslim.  Bahkan di dunia mereka sudah ditakut-takuti  tidak  akan disholati mayatnya jika kelak mereka meningggal.  Kejam bukan?  Memang kejam para tokoh agama  dan tim sukses Anies-Sandi  yang telah merancang skenario mengalahkan rival politik dengan cara seperti ini. Tidak manusiawi .  Dengan menebarkan isu primordial SARA memang kemenangan  dalam pilkada DKI akan dapat dicapai dengan mudah.  Jika ini test case terhadap model strategi  pemenangan sebuah kontestasi politik, maka hampir dapat ditebak model ini akan banyak digunakan pada kontestasi politik yang berikutnya.  Premanisme politik dengan mengerahkan masa radikal ke jalan-jalan akan makin marak.  Masjid-masjid akan diisi dengan khotbah-khotbah yang penuh hujatan dan caci maki.  Trend sholat shubuh berjamaah akan jadi ajang politik  teriakan takbir untuk memerangi pihak-pihak lain yang berseberangan pilihan politiknya.  Jangan-jangan kita sedang menuju pada  kehancuran seperti Suriah.  Semoga tidak !  Bahkan sekarang pun sudah muncul pernyataaan tokoh Muhamadiyah, Dien Syamsudin, bahwa masjid K.H Hasyim Asy’ari  di Daan Mogot itu adalah masjid dhirar.  Jadi jangan digunakan untuk sholat dan dihancurkan saja sebab masjid seperti itu dibangun hanya untuk mengelabui umat muslim. Keterlaluan!  Jika sudah seperti ini tokoh agama telah berubah menjadi tokoh politik. Agama dipolitisasi.  Sebelumnya Amien Rais pun sering memanfaatkan mimbar khotbah sholat jum’at untuk melakukan kegiatan politik praktis.  Barangkali kita masih ingat pernyataan kontroversial Amien yang menganalogikan situasi  politik waktu pilpres 2014 sebagai  perang Badar.  Amien mencoba membuat opini bahwa ada kelompok Islam dan kafir dalam kontestasi pilpres 2014 padahal jelas-jelas Jokowi dan Prabowo adalah muslim dan didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia yang muslim.  Baik Dien maupun Amien, keduanya  kena semprotpara tokoh Nahdhiyyin.

Kelima, kedekatan Hary Tanoe dengan Prabowo dan Anies sangat mudah dilihat pada layar televisi dan bidikan kamera para jurnalis.  Tentu membingungkan.  Pada satu sisi timses Anies-Sandi menggembar-gemborkan anti  warga keturunan (Cina) dan orang kafir (non muslim) yang mereka sebut sebagai  Sembilan Naga namun kehadiran Tanoe diterima dengan hangat. Bahkan bahasa tubuhnya seperti menyatakan Tanoe sebagai salah satu bos mereka.  Fakta ini dapat ditafsirkan bahwa kepemimpinan Anies-Sandi ke depan akan sangat pragmatis.  Dalam kultur perpolitikan kontemporer  Indonesia secara simpel  sami mawon  dengan bagi-bagi proyek.  Siapa dapat apa: tergantuing dari transaksi politik yang terjadi.  Kepemimpinan Anies-Sandi akan ditelikung oleh kepentingan para politikus yang tamak, pengusaha nakal, dan juga kelompok keagamaan radikal yang telah menanam saham politik yang tidak kecil bagi kemenangan Anies-Sandi.  Mereka  bukan tidak  menyadari akan hal ini.  Sangat sadar sejak awal.  Sebab untuk mengalahkan Ahok-Djarot ,  Anies- Sandi tidak memiliki amunisi yang dapat diandalkan. Soal profesionalisme kerja sudah terang Ahok-Djarot lebih unggul.  Orang pun tahu Ahok –Djarot itu  ‘ A man of works’   sedangkan Anies-Sandi itu  ‘A Man of Words’. Dengan kata lain Anies-Sandi itu  tipe orang yang jualan omongan sebaliknya Ahok-Djarot itu tipe orang yang banyak bekerja dan berkarya.  Kondisi ini mengharuskan Anies-Sandi bergabung dengan kekuatan besar yang melawan Ahok-Djarot, yakni kelompok politikus, pengusaha, dan kelompok-kelompok radikal yang tersebut  di atas.  No other alternatives!  Sejak Anies-Sandi mencalonkan diri sebagai paslon DKI untuk menantang Ahok-Jarot saat itu juga Anies-Sandi telah mendeklarasikan diri sebagai calon pemimpin yang akan mendukung sistem pemerintahan yang saat ini sedang ‘dilawan’  oleh  Ahok-Jarot.  Maksud saya, Anies-Sandi harus hadir sebagai antitesis Ahok-Djarot.  Dan itulah yang kita lihat terjadi pada debat-debat pilkada yang sudah digelar.  Akibatnya Anies ‘kehilangan dirinya’ bukan lagi Anies yang concern dengan cita-cita merajut tenun kebangsaan dan melunasi hutang kemerdekaan, Anies telah menjadi orang yang merusak tenun kebangsaan itu sendiri dan mengisi kemerdekaan dengan menebar benih kotor permainan politik yang tidak beradab.

Keenam,  Dibalik kemenangan Anies ada juga wajah –wajah yang sangat dikenal publik sebagai politikus yang menyebalkan:  siapa lagi kalau bukan  ‘manusia kembar’  Fadli Zon dan Fahri Hamzah.  Ada juga M.Taufik, kakak koruptor reklamasi teluk Jakarta, Sanusi.  Melihat ini orang sudah paham kemana arah kepemimpinan Anies-Sandi nanti.  Wajah kepemimpinannya nanti seperti apa.  Jadi tidak banyak harapan.  Ketika Ahok-Jarot akan membawa kita ke masa depan Jakarta yang lebih sejahtera, beradab, dan setara dengan kota-kota besar dunia lainnya, Anies-Sandi menarik  kita balik ke belakang.  Tapi lihat saja, stabilitas politik di Ibukota akan lebih kondusif di bawah gubernur  Anies dan wagub  Sandi sebab bagi warga Jakarta sekarang yang penting  gubernurnya muslim dan bukan Cina kafir.  So, Anies-Sandi akan aman-aman saja. Tidak akan pernah ada orang protes, demo, atau nagih janji kampanye. Mereka akan happy sama seperti warga Jawa Barat yang happydengan Pak Aher.  Sungguh baik nasib Pak Anies dan Pak Aher!    Anies bisa mengklaim:  ’Lihat di bawah kepemimpinan saya Jakarta jadi aman kan........; gak ada yang demo, gak ada yang protes karena saya bisa merangkul semua golongan!  Beda dengan waktu Ahok  Jadi gubernur lho....! (Dalam pikiran saya: ‘Sebegini bodohkah warga Jakarta?’)

Ketujuh,  Ketika Anies didesak apakah akan segera menutup hotel Alexis yang selalu ia gunakan untuk memojokkan Ahok pada saat debat Pilkada, Anies mulai ngeles.  Katanya; ‘Akan saya ikuti Perda-nya’.  Padahal  ia tahu kenapa Ahok tidak menutup hotel Alexis sebagaimana Kalijodo adalah karena belum memungkinkan untuk menutup Alexis berdasarkan kajian dari  aspek legalitasnya.  Jadi Anies berpura-pura tidak mengerti persoalan itu untuk memprovokasi  warga Jakarta seakan-akan Ahok pro pengusaha kakap dan hanya berani pada pengusaha dan rakyat kecil.  Alangkah kotornya berpolitik dengan kemunafikan seperti ini.  Kini saatnya dicari alasan untuk tidak jadi menutup Alexis dan mempersuasi  warga Jakarta bahwa Anies tidak salah tidak menutup Alexis sebab ada alasan yang nanti dicari pembenarannya .  Bukankah gaya komunikasi Anies dapat menghipnotis para pendukungnya yang  fanatik di Jakarta?  Pasti juga kelompok garis keras di berbagai daerah akan siap membantu.  Bagi mereka alasannya jelas: yang penting gubernurnya muslim dan harus dibela mati-matian kayak apapun nanti hasil kerjanya. (Hati saya berbisik sedih.: ”kapan ya saudara-saudara muslim saya menjadi cerdas dalam beragama?’).

Kedelapan,  Saya terkejut membaca berita bahwa Anies menyambangi Ahok di Balaikota pemprov DKI satu hari seteleh kemenangannya dengan menumpang heli.   Wah, ini gaya borjuis nich...  Memang susah ditutup-tutupi  the real personality seorang Anies.  Beda dengan Ahok, beda dengan Jokowi, beda dengan Djarot. Sama juga gaya hidup Prabowo dan Sandi pun tak akan bisa diubah.  Mereka hidup dalam kemewahan harta. Anies kini sedang belajar menyesuaikan diri dengan keduanya. Jadi isyarat yang dapat kita baca adalah gaya kepemimpinan lama yang elitis telah lahir kembali setelah beberapa tahun kita menikmati gaya kepemimpinan yang populis-egalitarian Ahok-Djarot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun