Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan, Tonggak Kemajuan Bangsa

17 Agustus 2017   19:54 Diperbarui: 2 September 2017   17:22 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Accounting Goes To Village

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. --Nelson Mandela.

Pendidikan  adalah senjata terkuat yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia,  begitu kata Nelson Mandela. Sayangnya, senjata terkuat di negeri kita  tercinta ini masih bisa berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Bukan  hanya masalah infrastruktur, buku, ataupun alat-alat penunjang yang  menghambat majunya pendidikan kita, tetapi juga kualitas guru yang  merupakan sumber daya utama dalam membentuk insan yang cerdas dan  berkualitas.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)  mencatat setidaknya ada tujuh masalah pendidikan di Indonesia yang harus  segera diselesaikan untuk mewujudkan Nawacita bidang pendidikan, yaitu  mangkraknya program wajib belajar 12 tahun akibat belum ada payung  hukumnya, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami  peningkatan, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi  dan dibenahi (baik metode pembelajarannya maupun gurunya), masih  lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah  (diniyah), pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang masih  lamban dan tepat sasaran, kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih  merajalela, dan ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. 

Mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of  change) tentunya tidak boleh diam melihat kondisi seperti ini. Bagaimana  anak muda dapat mengguncang dunia kalau mereka hanya tertunduk diam  melihat carut marutnya wadah pembentuk insan cerdas. Mirisnya lagi,  bagaimana negeri ini bisa maju kalau penduduknya saja tidak mendapat  pendidikan yang bermutu?

img-20161209-wa0005-5995934fa6f46a6e70052092.jpg
img-20161209-wa0005-5995934fa6f46a6e70052092.jpg
Tanggung  jawab ini akhirnya dilihat oleh sekelompok mahasiswa dari Himpunan  Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Jakarta. Mereka membuat  suatu kelompok belajar bernama "Accounting Goes To Village" yang berisi  murid taman kanak-kanak hingga Sekolah Dasar.

Program ini  mempunyai tujuan untuk membantu anak-anak Kampung Lio, Depok, yang  rata-rata masih terkategori kurang mampu untuk dapat maju dalam  pendidikannya. Walau sebagian besar anak-anak disini masih dapat  bersekolah, tidak jarang juga kami temukan anak-anak yang terpaksa  bekerja dan terpaksa membolos. 

Sejak didirikan tahun 2013,  Acconting Goes To Village (AGTV) telah melakukan banyak perubahan.  Program ini kini diperbolehkan menempatkan masjid setempat untuk tempat  belajar mengajar yang mempunyai area lebih luas, dibanding tempat  sebelumnya. Perpustakaan yang sepi buku, sekarang sudah mulai ramai  karena berbagai sumbangan dari mahasiswa akuntansi, toko buku maupun  masyarakat umum. Dan anak-anak yang dahulu masih bisa dihitung jari,  kini sudah genap berjumlah tujuh puluh!

kreasi di minggu kreatif
kreasi di minggu kreatif
Saya  yang baru masuk kuliah di tahun 2015 merasa amat bersyukur mengenal  program sosial yang rutin dilaksanakan setiap hari sabtu di Kampung Lio,  Depok ini. Tidak hanya memberi pelajaran-pelajaran sekolah, sekali  dalam sebulan AGTV juga mengadakan minggu kreatif dimana siswa belajar  membuat suatu kreasi dari barang yang sering ditemui di rumah seperti  botol, kain flannel, kertas dan lain-lain.

Minggu kreatif
Minggu kreatif
Selain  memberi pendidikan, kami selaku pengajar juga dituntut untuk menunjukan  perilaku sopan dan santun ketika berbicara dengan anak-anak. Hal ini  diwujudkan dengan diberlakukan denda bagi yang dengan sengaja atau tidak  sengaja mengucap kata-kata kasar ataupun bahasa kurang pantas seperti gue atau elo.

suasana belajar agtv
suasana belajar agtv

Di  akhir belajar mengajar, kami juga sering menyelipkan kegiatan kreatif  seperti mengajukan pertanyaan dengan imbalan hadiah ataupun menyanyi  bersama. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan stigma negatif bahwa belajar itu sulit, belajar itu membosankan. Di sini, saya dan teman-teman berusaha membangun pengertian bahwa belajar itu menyenangkan, lho!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun