Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. --Nelson Mandela.
Pendidikan  adalah senjata terkuat yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia,  begitu kata Nelson Mandela. Sayangnya, senjata terkuat di negeri kita  tercinta ini masih bisa berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Bukan  hanya masalah infrastruktur, buku, ataupun alat-alat penunjang yang  menghambat majunya pendidikan kita, tetapi juga kualitas guru yang  merupakan sumber daya utama dalam membentuk insan yang cerdas dan  berkualitas.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)  mencatat setidaknya ada tujuh masalah pendidikan di Indonesia yang harus  segera diselesaikan untuk mewujudkan Nawacita bidang pendidikan, yaitu  mangkraknya program wajib belajar 12 tahun akibat belum ada payung  hukumnya, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami  peningkatan, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi  dan dibenahi (baik metode pembelajarannya maupun gurunya), masih  lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah  (diniyah), pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang masih  lamban dan tepat sasaran, kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih  merajalela, dan ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.Â
Mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of  change) tentunya tidak boleh diam melihat kondisi seperti ini. Bagaimana  anak muda dapat mengguncang dunia kalau mereka hanya tertunduk diam  melihat carut marutnya wadah pembentuk insan cerdas. Mirisnya lagi,  bagaimana negeri ini bisa maju kalau penduduknya saja tidak mendapat  pendidikan yang bermutu?
Program ini  mempunyai tujuan untuk membantu anak-anak Kampung Lio, Depok, yang  rata-rata masih terkategori kurang mampu untuk dapat maju dalam  pendidikannya. Walau sebagian besar anak-anak disini masih dapat  bersekolah, tidak jarang juga kami temukan anak-anak yang terpaksa  bekerja dan terpaksa membolos.Â
Sejak didirikan tahun 2013,  Acconting Goes To Village (AGTV) telah melakukan banyak perubahan.  Program ini kini diperbolehkan menempatkan masjid setempat untuk tempat  belajar mengajar yang mempunyai area lebih luas, dibanding tempat  sebelumnya. Perpustakaan yang sepi buku, sekarang sudah mulai ramai  karena berbagai sumbangan dari mahasiswa akuntansi, toko buku maupun  masyarakat umum. Dan anak-anak yang dahulu masih bisa dihitung jari,  kini sudah genap berjumlah tujuh puluh!
Di  akhir belajar mengajar, kami juga sering menyelipkan kegiatan kreatif  seperti mengajukan pertanyaan dengan imbalan hadiah ataupun menyanyi  bersama. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan stigma negatif bahwa belajar itu sulit, belajar itu membosankan. Di sini, saya dan teman-teman berusaha membangun pengertian bahwa belajar itu menyenangkan, lho!