Mohon tunggu...
Tuju Tawa
Tuju Tawa Mohon Tunggu... -

Kami mulai dari rasa syukur, dan menyebar mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelita Indawa

28 Februari 2017   23:49 Diperbarui: 1 Maret 2017   00:42 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia berjuang di pelosok dunia. Bercerita, membasuh dan tertawa dengan binar mata keluguan bocah. Membagikan waktu untuk menggerakan mimpi dengan ilmu yang mereka bawa. Bermodalkan pengalaman dan ketulusan, ia menyalakan harapan. Inilah kisah pertemuanku dengan hati pelita Indawa di timur Indonesia.

Beberapa saat setelah megahnya festival budaya di Wamena, saya menyusuri sela-sela keramaian yang menyisakan tawa pada setiap wajah manusia. Waktu itu memang saya memiliki janji untuk bertemu dengan salah seorang teman yang kerap datang ke tempat ini. Tidak memerlukan waktu yang lama, saya bertemu dengan mereka. Temanku dan kawannya di sebelah dia. Kami diperkenalkan, dan saling bertukar pengalaman. Saat itu lah saya tersadar dan mendengar nama distrik Indawa, tempat orang ini bekerja sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Sejenak melepas tawa, dan berbagi cerita manis kehidupan kota Wamena, saya merasa menjadi manusia yang sangat beruntung karena diajak oleh dirinya mengunjungi Indawa, tempat dimana ia menorehkan jasa. Langsung saja, saya iyakan kesempatan besar ini, karena tentu banyak cerita manis yang akan saya temukan di sana.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Keesokan harinya, pagi-pagi betul saya bersiap untuk perjalanan ekspedisi hebat hari ini. Bermodal sebongkah hipere[1] hangat, makanan khas Wamena, dan sederet musik ambient yang sudah saya siapkan untuk mendongkrak rasa tidak sabar ini, motor saya lajukan perlahan menembus sejuknya kota Wamena. Melihat ramahnya kehidupan pagi yang sangat jarang saya temukan di kota, tentu siapa yang dapat menahan senyum kecil yang keluar menjalar secara ikhlas dari benak hati atas perjalanan mengagumkan ini.
3-58b5af676ea8348c048b4568.jpg
3-58b5af676ea8348c048b4568.jpg

Betul saja, 10 menit setelah saya mencari jalan keluar dari kabupaten Wamena, honai-honai teduh yang tersusun rapi di dalam pagar tradisonal telah mengeluarkan asap kehangatan tanda pagi menjelang. Sapaan yang saya lontarkan kepada masyarakat lokal saat mereka berada di pinggir jalan, disambut baik. “Pagi Kaka”, balasnya dengan senyum manis asli dari Wamena.

Semakin kagum, semakin bersemangat. Selang beberapa jam, saya berhenti. Menyandarkan laju motor untuk menyapa matahari yang semakin meninggi. Ditemani oleh perbukitan yang membentang dan tingginya pegunungan, saya menikmati hipere, bekal tadi pagi dari kawan rumah, yang mulai dingin karena suhu di sini. Terasa begitu nikmat di tiap gigitannya, bukan hanya karena pemandangannya, namun juga karena momen tepat ketika saya melahap tiap bagian manisnya.

Setelah mengisi nutrisi, saya kembali menarik gas mengarah pada tujuan semula, yaitu Indawa. Perjalanan di sini cukup mengagetkan karena medan yang berbahaya. Tidak jarang saya berada di sisi tebing dengan jurang di kanan saya dan tanjakan kerikil dengan batu batu besar yang bisa kapan sajamemelesatkan[NA1] kelengahan anda. Oleh karena jarak satu desa dengan yang lainnya cukup jauh, jarang ada orang yang melintas selain angkutan khusus berupa mobil 4 WD yang disebut taksi oleh warga setempat. Kali ini memang saya kurang beruntung, di salah satu turunan, ban roda saya terpeleset masuk kedalam lubang pasir dan membalik badan serta motor saya. 

Untung motor saya tidak mengarah ke jurang, karena jelas tidak ada pagar pengaman sebagai pembatasnya selain ilalang yang tumbuh meninggi. Rasa letih dan kesal mulai menyerang hati saya, karena sudah beberapa jam badan saya digetarkan oleh jalanan dan ditambah dengan motor saya yang tergeletak di jalanan. Namun, sembari menghela nafas, saya teringat akan janji. Lekas lekas saya mengambil motor dan memeriksa keadaanya. Tidak ada kerusakan serius, hanya footstep dan tangki yang melengkung akibat terbentur batu besar di tengah jalan. “Lumayan” pikir saya sambil menyemangati diri. Kembali saya menyalakan motor dan melanjutkan perjalanan. Berharap ini rintangan terakhir dari perjalanan.

Selepas beberapa saat, saya bertemu dengan jalanan aspal. Luar biasa saya bersyukur karena tentu ini sangat mengurangi beban hati saya akibat goncangan beberapa jam yang saya lalui. Namun hanya 10 menit saya nikmati aspal indah, jalanan rusak kembali menghampiri. Tidak sabar rasanya menceritakan pengalaman ini kepada ibu dan bapak saya di rumah. Sambil bergetar, saya tersenyum karena kenekatan blusukan kali ini.
Selang beberapa menit, setelah saya melewati distrik Pirime, papan distrik Indawa sudah terpampang di ujung jalan. Saya begitu senang dan langsung naik seturut penunjuk jalan. 

Menuju atas bukit, sayup terdengar saya mendapati suara kawan saya yang telah menunggu kedatangan di sana. Air putih hangat yang ia sajikan sungguh sangat melegakan dalam mengawali percakapan di waktu berharga ini. Mereka adalah guru-guru sekolah unggulan yang ternyata merupakan guru-guru dengan mental tidak terbatas untuk membagikan ilmunya. Pembuktian mental ini saya dapatkan ketika melihat mereka selalu mandi pagi setiap hari di dataran tinggi Indawa yang memiliki suhu rata-rata 2 derajat celcius.

Pipin adalah salah satu guru yang barasal dari Yogyakarta, Jawa tengah. Di umurnya yang sudah memasuki 34 tahun, ia mengaku enggan mengikuti jejak orang tuanya menjadi Pegawai Negeri Sipil dan memilih jalur sosial menjadi guru kontrak demi mendapatkan pengalaman hidup mengajar di Papua. Sungguh suatu keputusan yang amat mendalam ketika mendegar ucapannya. 

Karena dari sana saya memahami bahwa Pipin bukan merupakan sosok manusia yang mementingkan kebutuhan materiil semata, namun lebih pada bagaimana ia bermanfaat bagi sesamanya. Sejenak terlintas sajak filosofi nilai luhur kehidupan dari kota kelahiranya, Yogyakarta, MEMAYU HAYUMNING BAWONO, yaitu ketika manusia itu diciptakan untuk mengindahkan apa yang sudah indah, dan Pipin mengambil bagiannya dengan tepat. Saya bangga mengenal dia.

4-58b5afd06ea834dc038b456d.jpg
4-58b5afd06ea834dc038b456d.jpg

Pagi-pagi Pipin telah siap mengajar. Setelah menata bukunya masuk ke dalam tas. Ia mengenakan jaket tebal dan beranjak keluar rumah yang tidak lain adalah mess-nya. Dalam perjalanan menuju sekolahnya yang berjarak hanya 300 meter dari kediamannya, ia bercerita bahwa ada suatu ritual rutin yang ia harus lakukan bersama dengan murid-muridnya. Langsung saja saya bertanya-tanya, namun ia hanya membalas dengan senyuman yang menambah penasaran saya.

Setelah berada di depan ruang kelas yang masih sepi akan anak-anak, ia mengambil segalon air dan menempatkan persis di depan pintu masuk. Saya terheran-heran dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Tidak lama kemudian para murid sekolah dasar datang dan langsung berbaris. Sontak terkaget karena ritual yang dimaksudkan oleh Pipin tadi adalah kegiatan membuang ingus bersama sama. Saya tersenyum menahan tawa dan sempat dilirik oleh Pipin yang juga lantang tertawa sambil menuangkan air ke atas tangan para muridnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun