Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Wibawa Terlahir dari Sikap Mental, Bukan dari "Action"

27 Juni 2017   19:26 Diperbarui: 28 Juni 2017   07:22 7000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Wibawa Terlahir Dari Sikap Mental
Penampilan yang dibuat buat, agar terkesan berwibawa, dihadapan orang lain, justru dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri. Meniru niru gaya pejabat, memasang tampang angker dan dengan wajah yang agak mendongak keatas, tidak akan mampu mendongkrak wibawa diri. Karena  wibawa itu terlahir dari sikap mental yang ada di dalam diri seseorang. Kalau hal ini berlanjut terus, tanpa ada yang mengingatkan,maka secara perlahan, tapi pasti akan ditinggalkan oleh sahabat sahabat baik.

Akibat adanya upaya  untuk  memblow up wibawa diri, maka akan terbawa ketika sedang berbicara. Baik cara menerima telpon, tutur kata dan nada yang disampaikan, bila terhadap bawahan, mungkin dianggap biasa. Maklum Boss. Tapi bilamana hal ini terjadi pada sahabat, maka sikap demikian,merupakan petanda,akan terjadi pemutusan hubungan pertemanan.

Pengalaman Pribadi
Dihari hari pertama kami pindah ke Jakarta, maka yang saya lakukan adalah mendata ulang teman teman lama, yang sudah lebih lama pindah kesini. Maksudnya karena sudah sama sama tinggal di satu kota,maka akan lebih banyak kesempatan untuk bisa sesekali bertemu.
Pada umumnya sambutan teman teman lama, sangat antusias dan tetap dengan nada bercanda. Yang diakhiri dengan pertanyaan :" Kapan ada waktu kita makan bareng?"

Nah,yang menggembirakan hati, tentu bukan karena diundang makan, melainkan dapat merasakan bahwa walaupun jarak dan waktu memisahkan kami selama bertahun tahun,namun hubungan baik tetap terjalin. Akan tetapi ada teman lama dan sekaligus tetagga sebelah rumah,sewaktu masih di Padang.  Ketika saya telpon,yang menjawab Sekretarisnya. Saya jelaskan, nama saya Effendi, teman lama  Pak Sofyan sewaktu masih di Padang. 

"Tunggu sebentar ya pak,saya hubungkan" kata Sekretarisnya. Dan begitu tersambung,maka dengan suara antusias,saya salami,sambil bercanda:" Selamat pagi Boss,masih ingat saya?"Tapi suara jawaban  yang saya dengarkan, menyebabkan antusias saya bagaikan buih coca cola, begitu dibuka meluap luap dan sesaat kemudian meredup.Karena suaranya dibuat keren dan datar:"Maaf siapa yaa?" 

Kembali saya jelaskan,bahwa saya Effendi,teman lama dan sekaligus tetangga,sejak masih kecil.Tapi kembali jawabannya membuat saya bagaikan terkena sodokan:"Ooo hmm Apa kabar nih?"Kembali jawaban dingin dan datar. "kabar baik ,kami baru pindah ke Jakarta nih"  Jawab saya.
" Apa nggak salah nih,diusia gini pindah ke Jakarta. Nggak gampang lho hidup disini. Oya maaf Effendi, saya ada meeting penting nih. Udah ya. Salam buat keluarga" dan telpon ditutup

Terpana saya memikirkan pembicaraan singkat yang tidak sampai 2 menit, tapi telah menyadarkan dan mengingatkan diri saya, bahwa uang dapat mengubah hati orang. Sahabat semasa kecil dan sekaligus tetangga, yang konon sudah sukses sebagai pengusaha, menjaga jarak dengan saya. Mungkin ada kekuatiran, bahwa saya menelpon untuk minta bantuan ini dan itu. Sejak saat itu, saya sudah memutuskan untuk tidak pernah lagi menelpon teman saya yang bernama Sofyan. 

Pelajaran Berharga
Pengalaman yang tidak mengenakkan ini, menjadi pelajaran hidup yang amat berharga bagi diri saya. Karena saya merasakan betapa sedihnya diperlakukan oleh teman lama,seperti itu,maka saya harus selalu mawas diri,agar jangan pernah melakukannya terhadap orang lain. Menjalin hubungan baik,butuh waktu bertahun tahun,tapi memutuskannya hanya dalam waktu kurang dari 2 menit. Padahal persahabatan itu sesungguhnya amat indah dan menyenangkan. Sayang sekali bila sikap dan tutur kata kita ,menyebabkan hubungan terputus

Mungkin saja saat ini ,posisi kita sedang berada diatas. Entah menjadi Kepala Bagian atau mungkin menjadi sosok  yang dalam kapasitas sebagai orang penting, tetaplah bersahaja. ,janganlah mengumbar sikap jumawa. Baik dalam sikap,maupun tutur kata. Karena tidak selamanya kita berada diatas. Kalau kita bersikap bersahaja dan rendah hati, maka seandainya suatu waktu, kita tidak lagi menjabat apapun, orang masih tetap menghargai diri kita. Karena pesan dan kesan, lewat sikap dan tutur kata kita akan terekam dalam hati orang dan menjadi abadi disana.

Boss Besar,Akhirnya Jadi Pemulung

Mungkin saya sudah pernah menuliskan, tentang seorang Boss besar, yang tentu tidak etis bila ditulis namanya. Kaya raya,namun sikap yang dipertontonkan membuat orang tidak menyukainya. Secara logika  matematika,harta kekayaannya tidak akan habis dimakan hingga 7 turunan, Tapi hidup tidak dapat dipatok berdasarkan rumusan matematika. Belum sempat menikmati kekayaannya hingga menua, ia sudah menjadi pemulung di jakarta. Saya menengok dengan mata kepala sendiri dan berusaha untuk mengejarnya. Bukan bermaksud mempermalukannya, melainkan mungkin dapat membantu ala kadarnya. Namun sayang sekali,mungkin malu menengok saya, yang pernah menjadi karyawan partimer di kantornya, mantan Boss saya menghilang dikeramaian .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun