Mohon tunggu...
Tina Hardiansyah
Tina Hardiansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswi PBA UIN Malang, Santri Pesantren Global, Fans STF al-Farabi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Standardisasi Kemiskinan yang Kian Membingungkan

18 April 2013   00:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:01 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemiskinan selalu menjadi problematika kehidupan yang tak kunjung usai. Ibarat penyakit lama yang saking lamanya hingga kebal dengan segala macam obat yang ada. Penyakit yang ingin dihindari oleh setiap individu karena menyebabkan derita tiada tara.

Berdasarkan BPS, di tahun 2012 prosentase kemiskinan Indonesia mencapai 16.58%. Masih dalam analisis BPS, menyatakan bahwa prosentase kemiskinan Indonesia terus menurun sejak 2006 hingga 2012. Di tahun 2008 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa atau sekitar 15,42% dari total penduduk, sementara di 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33%.

Faktanya, masih ditemukan banyaknya anak jalanan yang tidur di bawah kolong jembatan, pemulung yang berumahkan kardus-kardus bekas, dan para pengemis bergeletakan di depan ruko-ruko setiap malamnya.
Masih banyak juga penduduk desa terpencil yang cukup sulit untuk sekedar memperoleh sesuap nasi. Jika demikian, benarkah kuantitas si miskin kian surut? Atau ini hanya sebatas permainan angka-angka yang penuh manipulasi dan sabotase? Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan, karena dari data Asian Development Bank (ADB), kemiskinan di Indonesia justru kian meningkat. Di mana pada Agustus 2011 ADB menghasilkan analisis bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 43,07 juta jiwa jika menggunakan garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar PPP, atau meningkat sebesar 3,31 juta jiwa jika dibandingkan dengan kondisi 2008.

Terlepas dari pasang atau surutnya tingkat kemiskinan warga Negara Indonesia, hari ini yang membingungkan adalah standardisasi seseorang dikatakan miskin. Karena tak jarang kita temui, pengemis yang kehidupan sehari-harinya justru lebih mewah dari para petani atau nelayan yang nyata-nyata memiliki profesi tetap dan cukup mapan. Sehingga profesi belum bisa merepresentasikan miskin dan tidaknya seseorang.

Kehidupan yang layak (well being) yang menjadi standar Bank Dunia dalam mengukur kemiskinan pun kian samar, mana seseorang yang dikatakan telah menjalani hidup yang layak dan mana yang belum. Padahal, Negara menjamin keberlangsungan kelayakan hidup warga negaranya, lha ini yang terjadi justru pejabat Negara hidup terhormat, bergelimang harta, sedang warga kian melarat dan hidup sengsara. Lantas di mana letak implementasi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2)?”

Jurang antara si kaya dan si miskin kian menganga. Dan sebagai rakyat biasa kita hanya mampu saling berjabat tangan, bahu-membahu sebesar kemampuan yang dimiliki. Akhirnya, semoga si miskin tidak pernah berputus asa karena kemiskinan materinya. Dan si kaya lekas sadar bahwa dalam kekayaannya terdapat hak-hak kaum fakir, miskin, yatim dan anak terlantar. Karena hakikat kaya dan miskin adalah sama, ketika manusia mampu mengolah hati, dan hidup untuk mengabdi. Kaya dan miskin terletak di hati. Mereka tercipta untuk saling melengkapi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun