Dan pertemuan itu terjadi lagi, di sini. Di tempat yang sama. Dengan seorang wanita yang sama: pipi menggembung, bibir bak lukisan simetris dilukis naturalis dan rambut panjang kucir kuda. Bedanya tak kuselipkan kembang liar di telinganya.
“Aku pengin naik gunung itu lagi ....”
“Masih kuat, Ta?”
“Kalau berdua denganmu.”
“Aaah ...”
“Pabila aku tak kuat, kaubisa menggandengku.”
“Ndak sebaliknya?”
Aku tersenyum. Kakinya kusenggol dengan jempolku yang selalu telanjang. Tak pernah bersepatu. Ah, bukankah ini seperti dulu-dulu? Sepatu gunung. Saat kami berdua ke sana, tak jauh dari pandangan mata kami.
“Rangagem sepatu, to?”
Ia tersenyum. Pipi gembungnya memerah.
“Mbuh yo. Aku ndak sengaja, tadi baru turun dari mobil ...ke sini dan kenapa bisa ketemu awakmu di sini, Ta.”