Phil Perry meliuk-meliukan lehernya. Sambil memejamkan mata. Sementara tubuh tambunnya mencoba mengikuti suara yang melenting-lenting.
Aku masih gelisah dari kejauhan melihat penyanyi yang diiringi GRP dengan motornya gitaris Lee Ritenour berwajah flamboyan.
Bob James maju, dan memencet-mencet tuts piano. Ah, lelaki yang tak kalah elegan dibandingkan pelantun Wonderful Tonight: Eric Clapton yang sering mengiringi perjalanku ke luar kota. Malam-malam sendirian seperti melontarkan ke masa-masa tak jelas. Namun kemarin aku membawa Kiara menjelajah Jogja, dan menikmati malam yang ajaib. Ia, sesiangan mendekap perutku saat meliuk-liuk di keramaian Malioboro dengan sepeda motor matik yang jarang kunaiki, dan sempat minum es dawet item khas Puworejo ketika berhenti tak jauh dari Pasar Beringharjo yang terik begitu menyengat.
“Bang, aku datang ....” tepuknya ketika Bob James menyelesaikan sebuah lagu tanpa lirik.
Aku menoleh, dan membiarkan ia mengecup pipiku.
“Lop u ....”
“Tu ....”
Ia melanjutkan dengan melendot di punggungku yang mulai hangat dengan dadanya. Selesai sudah penantianku. Kiara memenuhi harapannya bisa berada di kawasan festival jazz malam ini. Sebuah keinginan kuat, lama dan bak impian panjang.
Kiara berceloteh seperti burung baru lepas dari sangkar, di telingaku. Apa saja. Terutama tentang suasana jazz yang hanya dia baca dan ikuti dari kaset, radio atau youtube. Tak mencerna langsung Mezzoforte atau Incognito mungkin Level 42 dari Jepang yang rancak dalam jazz tak murni. Dan itu tidak penting benar. Kecuali masih nada-nada yang kadang liar, berimprovisasi lalu kembali mendatar: menikmati jazz itu seperti kita sedang dalam perjalan dan lapar. Lalu tiba-tiba di depan kita ada cafe atau resto, kata Harry Roesli.
Kiara seperti itu. Aku seperti itu, tadi ketika menantinya dengan deg-degan. Apakah ia datang diizinkan orangtuanya untuk malam-malam ngeluyur dan menikmati jazz standar Indra Lesmana ketika melambungkan Bulan di Atas Asia.
“Aku jadi ngerti ....”
“Apa?”