Mohon tunggu...
Dudi Saputra
Dudi Saputra Mohon Tunggu... -

Kota Kesultanan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi Kita, untuk siapa?!

20 Mei 2013   20:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:17 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra

Pemerintahan Presiden SBY dalam strategi pembangunan ekonominya terkenal dengan 3 pilar utama, yaitu Pro-Growth, Pro-Poor dan Pro-Job, yang kemudian dikenal dengan istilah pembangunan ekonomi berkelanjutan dan merata (sustainable growth with equity), walau kemudian timbul pertanyaan mengapa Pro-Poor ditempatkan dibelakang. Dalam pelaksanaannya pemerintahan SBY-Boediono menganggap ke tiga pilar ini berhasil diwujudkan, antara lain dengan indikator pertumbuhan ekonomi yang meningkat pada tahun 2012 pada angka 6,23%, yang sebenarnya terjadi penurunan jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 pada angka 6,5%.

Dari Pro-Job juga sejauh ini menunjukkan hasil yang cukup positif, dimana pada tahun 2012 angka pengangguran di Indonesia menurun sedikit dari 6,56% pada tahun 2011 menjadi 6,14%. Begitu pula untuk Pro-Poor, setidaknya kemiskinan di Indonesia menurut data BPS pada tahun 2012 berkisar pada angka 11%-12%, dalam artian terjadi penurunan angka kemiskinan yang jika dibandingkan dari tahun 2004 sebesar 16%, terlihat signifikan namun sebenarnya penurunan angka kemiskinan di Indonesia hanya turun sekitar 0,5% pertahunnya. Tentu penurunan angka kemiskinan yang lambat dan rendah ini bukan merupakan sebuah prestasi bagi Pemerintahan SBY, apalagi jika ditinjau dari Perpres nomor 7 tahun 2005 terkait rencana rencana pembangunan jangka menengah nasional untuk menurunkan persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, yang ternyata sampai tahun 2012 pun belum tercapai.

Dan angka kemiskinan ini menjadi semakin ironis jika menggunakan data dari sumber institusi internasional, menurut data Global Hungry Index selama rentang pemerintahan SBY dari tahun 2004-2012 angka kemiskinan berkutat pada angka yang sama yaitu 11%-13%, sedangkan menurut data UNDP (United Nations Development Program) terkait Human Development Index/indeks pembangunan manusia maka angka kemiskinan di Indonesia jika dipatok dari pendapatan perorang sebanyak US$ 1,25/Rp. 11,250 perhari maka kemiskinan di Indonesia mencapai angka 18%, yang jika kita bandingkan dengan negara seperti Iran saja sudah sangat jauh, karena Iran hanya memiliki angka kemiskinan sebesar 1,5%, padahal negara tersebut mendapat sanksi ekonomi dari AS dan Uni Eropa.

Selain itu, arah kebijakan ekonomi Pemerintahan SBY juga bisa ditinjau dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013 yang telah disahkan oleh DPR RI sehingga menjadi Undang-undang APBN 2013, yang dapat disimpulkan tidaklah Pro-Poor sama sekali melainkan Pro-Pusat (tidak Pro-Pemerataan), Pro-Birokrasi dan Pro-Menengah Atas.

Pertama adalah Pro-Pusat, dalam APBN 2013 dengan total sebanyak Rp 1.683 triliun, sebesar Rp 1.154,4 triliun dialokasikan untuk Pemerintah Pusat sedangkan yang di transfer ke daerah hanya sebesar Rp 528,6 triliun (Kompas, 2012), padahal kita ketahui dalam komitmen desentralisasi serta pemerataan ekonomi seharusnya alokasi anggaran ke daerah-daerah menjadi sangat vital, terutama untuk daerah-daerah yang tertinggal.

Kedua adalah Pro-Birokrasi dari Rp 1.154,4 triliun dana untuk pemerintah pusat tersebut sebesar 241.606,3 (21%) digunakan untuk belanja pegawai.

Ketiga adalah Pro-Menengah Atas, Pemerintah Pusat sebenarnya ingin melakukan kebijakan Pro-Poor melalui anggaran subsidi yang besar diangka Rp. 317.218,6 Triliun (27,5%) dan sebagian besar angka subsidi tersebut dialokasikan untuk subsidi energi (BBM dan Listrik) yaitu 274,7 Triliun (86%), hanya sayangnya subsidi energi ini tidak tepat sasaran, karena yang disubsidi adalah barang bukan orang, sehingga penyaluran subsidi tidak berdampak besar bagi masyarakat miskin melainkan menengah-atas, dengan kisaran prosentase yaitu 53% untuk mobil pribadi, 40% untuk motor, 4% mobil barang, dan kendaraan umum hanya 3%.

Dan sayangnya subsidi untuk mobil barang dan kendaraan umum hanya mendapatkan porsi yang kecil, padahal 2 sektor ini langsung bersentuhan dan berdampak besar bagi kepentingan rakyat menengah-bawah, kebijakan Pemerintah pun terlihat kontra-produktif dengan hanya menambah fasilitas jalan umum tanpa menahan laju penjualan kendaraan pribadi yang banyak mengkonsumsi BBM bersubsidi sedangkan transportasi umum tidak diperhatikan malahan harganya mengalami kenaikan sehingga masyarakat enggan pindah dari transportasi pribadi ke transportasi umum, yang sebenarnya lebih menghemat konsumsi BBM. Ironisnya lagi sebagian besar subsidi Energi yaitu 59% digunakan untuk masyarakat Jawa-Bali saja (kementrian ESDM, 2010).

Kebijakan energi Pemerintah yang tidak tanggap dan tepat sasaran memang menjadi masalah bagi tata kelola fiskal yang baik, bahkan diduga besar pada tahun 2013 subsidi di sektor BBM akan semakin meningkat , mengingat terus bertambahnya konsumen BBM terutama dari kendaraan pribadi (mobil dan motor) sebesar 8% per tahun, naiknya harga minyak dunia dari asumsi dasar pemerintah sebesar 100 dollar AS per barrel menjadi 110 dollar AS per barrel dan menurunnya produksi minyak dari 900.000 barrel sehari menjadi 830.000 barrel per hari sehingga meningkatkan jumlah impor minyak yang berakibat tergerus nya APBN dan cadangan devisa Negara (Kompas, 2013). Padahal sudah jelas sebagian besar dana tadi hanya dinikmati kalangan menengah-atas.

Kualitas Demokrasi Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun