Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Nature

Lombok, Surga Perdagangan Sirip Hiu Ilegal

9 April 2013   00:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:29 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1365442297991019305

Sekali tebas pejagal itu memotong sirip hiu di hadapannya. Goloknya mengkilap berlumuran darah. Ia meletakkan kreteknya di pinggir meja dan mengambil gergaji. Cekatan, ikan hiu itu ia bagi menjadi tiga bagian. Darah segar mengalir dari potongan daging ikan dan merembes ke tanah. Pemandangan ini sudah lazim pada pukul tujuh pagi di Tanjung Luar, Lombok Timur. Matahari baru terbit kemerahan di ufuk langit Selat Alas.

[caption id="attachment_253668" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: news.nationalgeographic.com"][/caption]

Ibu-ibu menjual cumi-cumi dan kepiting di pinggir pelelangan ikan Tanjung Luar. Mereka sudah biasa dikelilingi kadafer tuna, pari manta, belut laut dan berbagai jenis hiu. Ikan-ikan tergeletak itu tak lagi mempesona seperti di akuarium atau wahana Seaworld. Pak Sudianti, mandor di pelelangan itu, mengamati dari kejauhan sembari menyeruput teh dan menghisap rokok. “Saya bukan pengawas kok. Semacam perantara saja,” ujarnya.

“Saya borong ikan-ikan hiu itu, keringkan siripnya, dan membawanya ke pelabuhan di Surabaya. Dari Surabaya sirip-sirip itu diekspor ke Hongkong dan Cina,” lanjutnya. Pak Sudianti—atau Amak Sudianti dalam bahasa Sasak—seolah merendah. Tapi, ia sebetulnya merupakan salah satu mata rantai penting perdagangan sirip hiu internasional. Tiap tahun, dilaporkan sekitar 100 juta ikan hiu diburu untuk kepentingan konsumtif.

Menurut TRAFFIC, organisasi perlindungan satwa langka, Indonesia menempati posisi teratas terkait penangkapan ikan hiu, yaitu sekitar 13 juta per tahun. Sebagian besar hasil tangkapan itu diekspor ke Cina. Padahal, Cina dan Jepang dulu sempat ‘merajai’ penangkapan ikan hiu di dunia. Dua negara ini pula yang sering ditengarai mempersulit kebijakan seputar perburuan ikan hiu. Kompasianers mungkin pernah mencicipi hidangan populer sup hisit dari Negeri Tirai Bambu?

Di Bangkok, Maret 2013 lalu, negara-negara anggota CITES—termasuk Indonesia—sepakat menandatangani kuota perburuan ikan hiu dalam jangka waktu 18 bulan. CITES adalah pakta satwa langka yang dilindungi dan terancam punah. Hanya dengan izin dan ketentuan tertentu, lima jenis hiu boleh ditangkap dan diperjualbelikan. Kembali ke Tanjung Luar, patroli Angkatan Laut sejauh ini cuma mengontrol penggunaan dinamit di perairan Lombok.

Abdul Haffidz, supir merangkap pemandu kami sewaktu plesiran ke Lombok awal tahun ini, menerangkan, “Mereka lebih khawatir terumbu karang di bawah laut diganggu atau dijarah!” Ucapan Haffidz ada benarnya. Tumpukan ikan hiu, kerapkali masih muda dan berukuran kurang dari 50 senti, menggunung di pinggir pelabuhan. Polisi mondar-mandir tak acuh. Haffidz sendiri pernah melaut dan antusias menceritakan pengalamannya.

“Pernah dalam satu malam kita menjaring 30 ikan hiu. Lumayan lah. Hanya lumba-lumba dan penyu kita lepas lagi ke laut!” paparnya. Menurut Haffidz, lumba-lumba itu penolong nelayan jika tercebur ke laut, sedangkan hiu sama dengan musuh bebuyutan pencari ikan. “Sekarang makin susah menangkap hiu. Akibatnya, banyak nelayan lokal Lombok nekat memasuki perairan internasional di perbatasan Australia,” lanjut Haffidz.

Menyitir TRAFFIC, populasi hiu secara global menurun sekitar 8% setiap tahun. Penduduk Lombok sendiri sepertinya punya prinsip ‘tahu sama tahu’. “Kalau tak ada permintaan membanjir dari Cina, kami pun tak mau usaha seperti ini,” tampik Pak Sudianti, ‘cukong’ disegani di Tanjung Luar. “Daging hiu enak disate, kulitnya buat krupuk, tulangnya bahan kosmetik. Enggak ada yang dibuang percuma,” tambahnya meyakinkan hampir mendelik.

“Sate hiu?” batin saya penasaran. Tiga hari keliling Lombok, cuma ketemu spanduk bakso hiu racikan Budi Dwinarno. Menurut salah seorang pramusaji, resepnya masih rahasia kendati mulai bermunculan kedai-kedai lain yang menyediakan shark meatball. Sementara itu, Pak Sudianti baru saja membayar 13 hiu yang ditaksirnya. “Empat juta (rupiah). Delapan tahun lalu masih delapan juta. Kalah bersaing kita sama India dan Srilanka!” keluhnya.

Restoran Cina di Belanda masih banyak pula yang menjual sup hisit, kendati imitasi dari kepiting. Ada sih yang asli, tapi musti underground. Sohib keturunan Tionghoa biasanya berdalih, “Hiu juga ikan, cuma aja besar!” Hehe… Balik ke Lombok, Pak Sudianti memeriksa salah satu jerat nelayan. “Mampir ke sini bulan-bulan Agustus. Lebih ramai pasarnya. Nanti sekali-kali saya ajak melaut!” teriak Pak Sudianti melambaikan tangan menutup perbincangan.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun