Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ini Era Perempuan Menulis, Tak Hanya di Kompasiana

9 Agustus 2015   08:56 Diperbarui: 9 Agustus 2015   08:56 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompas.com

Bila perempuan Mau Menulis. Judul tulisan yang pernah ku tulis dulu, tetapi tidak selesai. Sebuah judul yang mungkin mengusik rasa ingin tahu banyak orang. Ya, ketika membaca judul tulisan ini, para pembaca mungkin akan menafsirkan bahwa selama ini perempuan tidak mau menulis. Atau bisa pula dengan tafsiran yang lebih extreme, bahwa perempuan memang malas menulis. Bisa saja ditafsirkan demikian. Yang namanya tafsiran memang berbeda, karena cara pandang atau perspektif juga tidak sama. Maka, kedua-duanya bisa benar atau sebaliknya, sama-sama tidak benar. Oleh sebab itu, agar kita tidak salah tafsir, sebaiknya kita coba gali dan mengulasnya secara bijak.

Ide tulisan ini muncul setelah sekian lama mengamati media surat kabar yang ada di tanah air. Realitas menunujukan bahwa sangat jarang perempuan menulis di media massa seperti surat kabar bahkan juga majalah. Padahal, setiap media cetak menyediakan ruang publik yang bisa diisi oleh siapa saja. Sebut saja rubrik Opini, perspektif dan lainnya di surat kabar atau majalah yang disediakan untuk publik. Semua rubrik ini sangat jarang dimanfaatkan oleh perempuan. pembaca tidak percaya, coba saja amati media massa yang ada. Coba hitung, berapa banyak tulisan para perempuan yang muncul dalam satu bulan?

Jawabnya,pasti sangat jarang. Kalau pun ada hanya satu atau dua. Sementara penulis laki-laki, setiap hari bisa mengisi ruang publik itu. Lalu dimana posisi perempuan? Mengapa para perempuan kita tidak memanfaatkan ruang publik itu? Padahal, ruang publik itu disediakan untuk semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Bisa jadi ada banyak pertanyaan yang bisa kita lemparkan kala membicarakan hal ini, walau sebenarnya mungkin hanya sedikit orang yang mempertanyakan hal ini. Ruang publik yang bernilai ekonomi dan popularitas ini seakan menjadi milik penulis para laki-laki. Apakah memang media surat kabar atau majalah memang memprioritaskan tulisannya para laki-laki?

Tentu saja tidak. Karena media publik yang berorientasi bisnis tidak melihat jenis kelamin si penulis, tetapi melihat kualitas tulisan si penulisnya. Oleh sebab itu, wajar kalau muncul pertanyaan yang bertanya mengapa sangat jarang tulisan perempuan tersebut ada di media masa. Sementara cerita-cerita tentang kehidupan kaum perempuan yang ditulis oleh kaum laki-laki, cukup banyak.Bahkan kaum perempuan sendiri menjadi objek bahkan dieksploitasi oleh sebuah media tersebut selama ini. Misalnya saja menjadi model iklan dan lain-lain.

Idealnya, perempuan bukan saja menjadi objek bagi media massa, tetapi mereka harus didorong menjadi subjek dari sebuah media massa di negeri ini. Namun realitasnya, sangat sedikit perempuan yang memiliki akses dan kontrol terhadap media massa. Perempuan tidak banyak terlibat dan melibatkan diri memanfaatkan media massa sebagai media belajar, media pengembangan postensi diri.

Tentu saja, kondisi semacam ini memprihatinkan kita ketika semakin banyak media massa diterbitkan di negeri ini, masih saja sangat jarang keterlibatan perempuan di dalamnya sebagai pihak yang secara pro aktif sebagai pelaku. Realitas masih saja berkata, ya “ kita memang jarang menemukan tulisan para perempuan”. Oleh sebab itu, selayaknya kita bertanya mengapa sangat jarang kita menemukan tulisan para perempuan?.

Padahal, diakui atau tidak, perempuan memiliki potensi besar untuk menulis. Hanya saja potensi itu selama ini tidak atau sangat jarang untuk diasah dan dikembangkan lewat kegiatan-kegiatan produktif. Perempuan juga memiliki banyak hal yang bisa mereka tulis. Sebagai contoh, persoalan-persoalan di sekitar kehidupan perempuan adalah sumber tulisan yang bisa dikembangkan dengan berbagai cara. Karena sulit serta pahit getir kehidupan perempuan selama ini adalah sumber inspirasi untuk menulis. Tentu saja bukan soal pahit getir yang bisa ditulis, masih banyak hal-hal yang suka cita dan pengalaman-pengalaman menarik dan yang menyakitkan ada di dalam kehidupan. Bukan pula hanya itu, para perempuan bisa mengekspresikan sifat kritis dan kreatif dalam berbagai rubrik yang tersedia di media massa, mulai dari hal-hal yang bersifat hobby, hingga pada hal-hal yang spesialisasi.

Sedikitnya perempuan menulis di media massa, terjadi pada semua kelompok perempuan. Kelompok yang terdidik (educated) dan activist perempuan juga tampak jarang menulis. Kalaupun ada, seperti bisa dihitung dengan jari. Padahal, jumlah perempuan dalam data kependudukan di Indonesia, sangatlah besar. Ketika dari kalangan perempuan yang berpendidikan dan kademis saja sangat kurang, apalagi di kelompok masyarakat akar rumpu? Pastilah semakin sulit.

Kondisi inilah yang menginspirasi saya di tahun 2001 untuk membangun gerakan menulis di kalangan perempuan di Aceh saat itu. Melalui kenderaan organisasi masyarakat sipil, Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, gerakan menulis itu dimulai dengan membuat program dan kegiatan pelatihan menulis dan menerbitkan majalah POTRET di bulan Januari 2003.

Dalam beberapa rangkaian pelatihan menulis di kalangan perempuan yang dilaksanakan oleh Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, saya menemukan beberapa jawaban. Beberapa jawaban yang muncul misalnya, karena factor kesempatan yang terbatas. Perempuan, terutama yang sudah berkeluarga tidak memiliki waktu yang cukup untuk menulis. Kesempatan menulis hilang karena waktu yang dimiliki habis tersita untuk urusan domestic yang dibebankan kepada perempuan. Perempuan harus mengurus rumah tangga, mulai dari terbit matahari sampai terbenamnya mata suami. Sudah begitu berat, selama ini dikarenakan factor ekonomi dalam keluarga, memaksa perempuan harus menjalankan beban ganda sebagai pencari nafkah tambahan untuk menutup kekurangan kebutuhan keluarga. Maka, waktu yang tersisa semakin sedikit. Faktor ini selama ini sering disebut sebagai factor ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun