Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negeri Ber-etnik Nyinyir

3 Juli 2017   08:08 Diperbarui: 3 Juli 2017   08:49 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : HM Syarbani Haira, Pengajar Universitas NU Kalsel, Program Studi Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota)

Bersamaan dengan kunjungan Presiden AS ke-44, Barack Husien Obama, ke Indonesia, sejumlah media memberitakan info Presiden RI Jokowi telah mempermalukan ibu-ibu di negeri ini. 

Betapa tidak ! Karena ternyata tak lama setelah Presiden Jokowi menghimbau agar seluruh rakyat Indonesia hidup sederhana, tak lama berselang Ibu Negara Irine malah petentang petinting menggunakan tas mahal produk luar negeri. Info ini merebak di banyak media, ya di media kuning, hijau, merah dan biru. 

Respon publik pun beragam. Ada jurnalis dari sebuah lembaga bergengsi menulis, bahwa sang presiden telah memalukan ibu-ibu di negeri ini. Hal ini karena ternyata para ibu katenye dipermalukan oleh berita itu  ...

Beragam berita menyoroti tema yang sama, ramai-ramai memberitakan ketidak-konsistenan seorang presiden beserta isterinya, terkait apa yang mereka ucapkan dan terus mereka lakukan. 

Kontan ini menarik perhatian seorang jurnalis. Katenye ini semata saking nyinyirnya rakyat kita. Karena menurutnya, ukuran sederhana dengan background seorang presiden, sebelumnya seorang gubernur, sebelumnya seorang walikota, dan sebelumnya seorang pengusaha -- tentu beda konsep soal hidup sederhana. Bagi seorang bakul sayur, hidup sederhana tentu dengan fasilitas serba murah. Beda dengan seorang Jokowi, hidup sederhana tak bisa disetarakan dengan seorang bakul jamu.

***

Saya kira, semuanya sudah sama-sama nyinyir. Negeri ini, yang berpenduduk hampir 260 juta jiwa ini sudah kejangkitan penyakit nyinyir. Bahkan, layak pula dikategorikan sebagai etnik baru di negeri ini, sebagai etnik nyinyir.

Ajaran para filosof dan para guru-guru bijak masa lalu hari ini sama sekali sudah tidak diterapkan. Konsep positive thinking yang pernah menjadi sebuah doktrin untuk menuju masyarakat maju misalnya, kini seperti sudah dibuang jauh-jauh. 

Melalui sebuah media kuning, saya amati sikap nyinyir para aktivis yang dulu dikenal cerdas, briliant dan idealis. Karena mereka sudah terkonstruksi pola pikir politik, mereka pun selalu beranti-pati dengan mereka yang berbeda wadah politik. Tak ada lagi konsep hikmah, bijak, manifestasi dari positive thinking itu ...

Ini belum lagi jika kita mengamati kelompok yang menamakan diri sebagai "alumni" gerakan para garong itu. Dengan segala cara mereka selalu memusuhi kelompok yang bukan alumninya. Bagi mereka, semua yang dilakukan oleh bukan kelompoknya itu selalu salah, meski hanya persoalan kecil sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun