Oleh : HM Syarbani Haira, Pengajar Universitas NU Kalsel, Program Studi Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota)
Bersamaan dengan kunjungan Presiden AS ke-44, Barack Husien Obama, ke Indonesia, sejumlah media memberitakan info Presiden RI Jokowi telah mempermalukan ibu-ibu di negeri ini.Â
Betapa tidak ! Karena ternyata tak lama setelah Presiden Jokowi menghimbau agar seluruh rakyat Indonesia hidup sederhana, tak lama berselang Ibu Negara Irine malah petentang petinting menggunakan tas mahal produk luar negeri. Info ini merebak di banyak media, ya di media kuning, hijau, merah dan biru.Â
Respon publik pun beragam. Ada jurnalis dari sebuah lembaga bergengsi menulis, bahwa sang presiden telah memalukan ibu-ibu di negeri ini. Hal ini karena ternyata para ibu katenye dipermalukan oleh berita itu  ...
Beragam berita menyoroti tema yang sama, ramai-ramai memberitakan ketidak-konsistenan seorang presiden beserta isterinya, terkait apa yang mereka ucapkan dan terus mereka lakukan.Â
Kontan ini menarik perhatian seorang jurnalis. Katenye ini semata saking nyinyirnya rakyat kita. Karena menurutnya, ukuran sederhana dengan background seorang presiden, sebelumnya seorang gubernur, sebelumnya seorang walikota, dan sebelumnya seorang pengusaha -- tentu beda konsep soal hidup sederhana. Bagi seorang bakul sayur, hidup sederhana tentu dengan fasilitas serba murah. Beda dengan seorang Jokowi, hidup sederhana tak bisa disetarakan dengan seorang bakul jamu.
***
Saya kira, semuanya sudah sama-sama nyinyir. Negeri ini, yang berpenduduk hampir 260 juta jiwa ini sudah kejangkitan penyakit nyinyir. Bahkan, layak pula dikategorikan sebagai etnik baru di negeri ini, sebagai etnik nyinyir.
Ajaran para filosof dan para guru-guru bijak masa lalu hari ini sama sekali sudah tidak diterapkan. Konsep positive thinking yang pernah menjadi sebuah doktrin untuk menuju masyarakat maju misalnya, kini seperti sudah dibuang jauh-jauh.Â
Melalui sebuah media kuning, saya amati sikap nyinyir para aktivis yang dulu dikenal cerdas, briliant dan idealis. Karena mereka sudah terkonstruksi pola pikir politik, mereka pun selalu beranti-pati dengan mereka yang berbeda wadah politik. Tak ada lagi konsep hikmah, bijak, manifestasi dari positive thinking itu ...
Ini belum lagi jika kita mengamati kelompok yang menamakan diri sebagai "alumni" gerakan para garong itu. Dengan segala cara mereka selalu memusuhi kelompok yang bukan alumninya. Bagi mereka, semua yang dilakukan oleh bukan kelompoknya itu selalu salah, meski hanya persoalan kecil sekali.