Mohon tunggu...
Syaiful Radya
Syaiful Radya Mohon Tunggu... -

Saya seorang Ghost Writer, menekuni berbagai riset psikologi Klinis, Sosial, Politik dan Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Maraknya Siswa-siswa yang Melacur

5 Mei 2013   11:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:04 3262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Prostitusi anak-anak terutama pelajar merupakan masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian dunia karena dampaknya terhadap pertumbuhan anak-anak. Anak-anak yang dijadikan pelacur rentan terhadap hinaan, eksploitasi, penipuan dan marjinalisasi, dan banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk berkembang secara sehat (Paiva, Ayres, and França, 2004). Demikian juga di Indonesia, menurut hasil penelitian Mutiara, Komariah, dan Karwati (2009), bahwa pemerintah telah mengesahkan UU perlindungan perempuan dan anak dengan memberikan dukungan pada masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan berkaitan dengan perdagangan manusia termasuk perdagangan anak dan prostitusi  anak-anak. Namun sayangnya jumlah anak-anak yang terlibat dalam kegiatan prostitusi  tidak berkurang; bahkan cenderung meningkat seiring dengan perkembangan industri seks yang pesat di negeri ini.

Permintaan pelayanan seksual dengan objek seks anak-anak di bawah umur terus meningkat setiap tahunnya. Menurut penelitian Djuwita (2008) dan Suyatna (2010) kondisi tersebut dipengaruhi oleh adanya beberapa mitos, bahwa melakukan hubungan seksual dengan anak-anak menambah kebugaran, vitalitas dan awet muda bagi pria, sehingga kasus prostitusi dan trafiking mengalami peningkatan pesat, demikian pula yang terjadi di indonesia.

Praktek-praktek  eksploitasi seksual anak yang kerap kali dijumpai di Indonesia adalah prostitusi  anak. Anak-anak yang dijadikan objek seks ini tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut laporan UNICEF tahun 2010, jumlahnya mencapai 70.000 orang anak. ECPAT Indonesia tahun 2011 memperkirakan jumlahnya lebih dari 100.000 orang anak. Selanjutnya di Jawa Timur, berdasarkan data lapangan yang berhasil dikumpulkan, daerah yang ditengarai sebagai pemasok prostitusi, adalah daerah, di antaranya Kabupaten Ponorogo, Banyuwangi, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Jombang, Blitar, Malang, Nganjuk, Sampang, Bangkalan, Jember, Situbondo dan Surabaya (Suyatna, 2010).

Rendahnya pengawasan dan berkurangnya perhatian orangtua maupun guru di sekolah dapat dikatakan menjadi bagian dari penyimpangan perilaku anti sosial, sebagaimana perilaku seks yang dilakukan siswa sekolah pelajar SMP dalam ruang kelas sebagaimana gambar berikut.

Hasil penelitian Yulia (2008) menjelaskan bahwa pada tahun 2002-2006 di Indonesia pekerja seks komersial, dari 500 ribu PSK 30% adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Kemudian ditinjau dari latar belakang anak-anak pekerja seks tersebut, menurut data-data yang diperoleh Djuwita (2008) bahwa sebagian besar pekerja seks anak-anak adalah perempuan jalanan yang sehari-harinya menganggur, pengamen jalanan, dan pedagang asongan atau koran di traffic light yang dapat dijumpai di Malang, Surabaya, dan beberapa kota lain di Jawa Timur. Jumlah tersebut terus meningkat, yang menurut hasil survey Yayasan Dian Nanda Nusantara (2012), bahwa dalam satu tahun di Kalbar telah menangani 251 kasus, dan jumlah tersebut 14% lebih tinggi dibanding jumlah kasus pada tahun-tahun sebelumnya.

Beberapa laporan dari LSM perlindungan anak dan UNICEF, sebagaimana dijelaskan Suyatno (2012) bahwa ratusan ribu anak Indonesia setiap tahunnya  dijebak dalam bisnis seksual. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Willis dan Levy (2002) bahwa Indonesia menempati urutan ke-8 untuk kasus eksploitasi sesksual anak-anak. Anak-anak yang dilacurkan sudah kehilangan motivasi untuk bisa menjalankan hari-hari yang indah, kehilangan orientasi dan cita-cita, mengalami stress berkepanjangan, dan bahkan depresi yang pada akhirnya mereka merasa pasrah dan menerima kehidupan mereka berada di dunia prostitusi. Selain itu fakor ekonomi dan ketertekanan atau di bawah kendali dan paksaan dari pihak tertentu, misalkan suami atau orangtuanya menjadi bagian dari motif perdagangan seks anak-anak. Hal ini dapat dujumpai di Surabaya yang merupakan kota transit seksual.

Selanjutnya hasil survey awal dengan sepuluh subjek pada tanggal 9 dan 24 Maret 2013 dapat diketahui sebagaimana dua contoh wawancara berikut.

Awalnya saya hubungan gitu sama cowok saya Kak, saat kelas 1 SMA, terus kita putus, aku dapet cowok lagi juga gitu lagi... kupikir semua cowok kalo pacaran juga maunya cuman itu, rugi kita, mereka macarin cuma mau cari gratisan, kecewa sekali aku, kupikir sekalian aja dijual (Ria, 17 tahun/ kelas 3 SMA)

Saya di suruh bapak Mbak, saya kan anak pertama, harus bantu-bantu keluarga, buat sekolah adik,  buat bayar listrik, buat beli rokok bapak dan buat masak. Saya ya sedih tapi gimana, gak berani sama bapak (Aida, 14 tahun/ putus sekolah)

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari subjek sebagaimana pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa subjek pertama, Ria (bukan nama sebenarnya) merasa dirinya sangat kecewa setelah putus hubungan dengan pacarnya dalam keadaan dirinya telah berhubungan seksual dengan pacarnya. Demikian pula saat mendapatkan pacar lagi juga melakukan hubungan seks, sehingga Ria menyimpulkan bahwa semua laki-laki yang memacari perempuan hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual. Artinya bahwa Ria telah membuat kesimpulan secara general terhadap pengalaman berpacaran dan niat laki-laki yang memacari dirinya. Selanjutnya pada kasus Aida (bukan nama sebenarnya) dapat diketahui bahwa dorongan untuk menjual dirinya adalah memenuhi permintaan ayahnya dan takut untuk menolak karena dirinya menjadi bagian dari tulang punggung keluarga. Berdasarkan informasi dari dua subjek tersebut, juga dapat diketahui bahwa pada Ria, dorongan untuk menjual diri atau terjun ke dunia prostitusi  selain terdapat motif ekonomi juga motif kekecewaan. Sedangkan pada Aida, dorongan menjual dirinya selain motif ekonomi yaitu untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga terdapat motif paksaan orangtua.

Selanjutnya dari hasil survey awal tanggal 24 Maret 2013 dengan 4 subjek berusia antara 14-15 tahun dan 12 subjek berusia antara 16-17 tahun diketahui beberapa motif prostitusi sebagai berikut.

Tabel 1

Alasan menjual diri

Alasan

Usia 14-15 (N=4)

Usia 16-17 (N=12)

f

%

f

%

Senang

2

50%

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun